RAIN : 3

270 25 0
                                    

"Pagi-pagi kenapa wajahmu seperti itu? Ada sesuatu yang mengganggumu?"

Seokjin yang baru saja datang dengan tas masih tersampir di salah satu sisi bahunya lantas menumpukan bokongnya di meja sejenak, menghampiri Yoongi yang melemparkan tatapan kosong tanpa ekspresi.

Yoongi memutar kepalanya setelah lelaki tinggi tampan yang selalu mencetuskan diri sebagai calon mahasiswa kedokteran itu duduk dengan benar. Ia tersenyum kecil sebelum mengembalikan air mukanya yang membuat Seokjin menurunkan bahu lebarnya.

Yoongi selalu terlihat sedih meski dia gemar tersenyum.

"Ceritakan padaku. Apa ada sesuatu yang terjadi? Wajahmu terlihat khawatir dan... takut?" Seokjin melanjutkan kalimatnya ragu-ragu. "Biar kutebak," kali ini sambil menggeser kursinya lebih dekat. Gurat hangat alami yang ia dapatkan sejak lahir menjadi hiburan tersendiri bagi Yoongi.

Menurutnya, sosok Seokjin benar-benar seperti anugerah. Dia merasa terlindungi terlepas dari Jungkook yang selalu siap kapan saja untuknya.

Tapi untuk Seokjin, Yoongi mempunyai penilaian sendiri sebagai seorang teman yang dekat sejak masa kanak-kanak. Sudah pintar, tampan, tinggi, anak dari keluarga dokter, baik, ramah, hangat, dan pandai memasak. Apalagi yang kurang? Ah, mungkin sifat narsisnya yang keterlaluan.

Belum selesai Yoongi melanjutkan betapa sempurnanya seorang Kim Seokjin, lelaki itu kembali membuka suara. "Gerombolan Jeon keparat itu mengganggumu lagi?"

Satu lagi kekurangan Seokjin yang baru saja Yoongi sadari.

Bicaranya kadang cukup kasar.

Yoongi segera memicingkan matanya yang memang kecil dan sipit. Mencoba memperingatkan sahabat baiknya tersebut.

"Astaga, baiklah. Aku tidak akan bicara begitu lagi." Seokjin menggerutu kecil. Sedetik kemudian senyumnya mengembang.

"Kau sudah sarapan? Masih berangkat dengan Jungkook, bukan?"

Yoongi mengangguk, "Iya," kemudian mengeluarkan buku tebal yang menjadi bacaan rutinnya sebelum bel masuk berbunyi. Kacamata sudah bertengger manis di pangkal hidungnya.

"Dia masih sering berkelahi?"

Yoongi menoleh seraya menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot. Tiba-tiba saja ia ingat luka yang baru saja Jungkook dapatkan. Adiknya itu bahkan belum mengatakan apa pun mengenai siapa yang melakukan itu padanya.

Yoongi hanya tersenyum kecil sebagai balasan.

"Bagaimana dengan adikmu?" Yoongi menimpali. Seokjin sudah tersenyum kecut. Ingat kalau dia juga memiliki adik yang hobinya serupa.

"Anak itu bandel sekali. Aku sampai pusing sendiri," jelas Seokjin. Kini ia tampak merogoh sesuatu dari tasnya. "Dia tahu aku tidak bisa meneriakinya. Makanya dia memanfaatkan kelemahanku." Ia tertawa selepas mengatakan itu. Sedangkan Yoongi hanya mengangguk-angguk saja.

"Jadi, apa yang mengganggumu? Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Seokjin. Seluruh perhatiannya sudah tertumpu pada lelaki Min yang kulitnya selalu tampak pucat. Seharusnya Yoongi tidak melupakan kalau temannya ini sangat tidak suka yang namanya hutang penjelasan.

Bibirnya tertarik simpul, "Aku tidak apa-apa. Sungguh," katanya.

Seokjin berdecak kecil. Menimpuk ringan dahi Yoongi menggunakan sebungkus roti isi cokelat yang baru saja ia ambil dari tasnya. "Selalu saja begitu. Kau sudah seperti perempuan saja," cibirnya.

Yoongi ingin membalas perkataan Seokjin andai guru Kang tidak masuk ke kelas dengan wajah berseri-seri. Semua murid yang ada di kelas buru-buru diam ketika sebelumnya gaduh sendiri. Sementara Seokjin sudah menyodorkan sebungkus roti tadi, juga sekotak susu kepada Yoongi.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang