Masih Senin

2 1 0
                                    

Ah, omong-omong. Togu Pandapotan Simarmara itu teman dekatku dan Tania juga semasa SMP. Kami selalu bertiga kemana-mana. Untungnya saat SMA, Ogu juga pindah ke sekolah negri. Sebenarnya aku mengikuti dia sampai ke sekolahku saat ini. Karena kalau boleh jujur, aku sama sekali enggak mau kalau harus beradaptasi di lingkungan baru sendiri. Setidaknya harus ada satu orang yang menemaniku.

Dan Ogu adalah orang yang terbaik untuk itu. Meskipun dia mengambil jurusan IPS--berbeda denganku yang mengambil jurusan IPA--dia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi kelasku. Dan setiap aku berkunjung ke kelasnya, atau bahkan menempel kemana pun dia pergi, dia tidak pernah marah dan justru dengan senang hati menemaniku.

Sementara itu, Tania, Timmy, Kak Bora, dan Bara masih di Pelita. Bara yang berbeda tiga tahun dariku seharusnya masih kelas dua SMP, tapi karena otak encernya, kini dia sudah duduk di kelas tiga SMP, melongkap satu kelas. Sementara si Timmy yang sempat berhenti sekolah selama dua tahun karena menjadi peserta Sea Games untuk olahraga karate juga masih duduk di bangku SMA, seangkatan dengan adiknya, Tania. Dan Kak Bora berada di tingkat akhir, kelas tiga SMA.

Yah, biasanya kami sering menghabiskan waktu berenam. Namun entah mengapa akhir-akhir ini kami jarang cabut bareng lagi. Kalau tidak salah, terakhir kami cabut berenam itu sebulan yang lalu, saat Kak Bora dan Timmy merayakan anniversary hubungan mereka yang sama dengan ulang tahunku. Kami pergi ke dufan ditraktir oleh Timmy dan Kak Bora, sementara biaya makan aku yang menanggung.

Dipikir-pikir, sudah lama juga kami tidak jalan. Jadi demi jalan bareng lagi dengan mereka, aku menghampiri Ipul di pelajaran terakhir hari ini.

"Pul," panggilku sembari duduk di sampingnya. Kebetulan sedang jam kosong, dan Ibnu teman duduk Ipul sedang main game dengan anak-anak cowok lainnya di bagian belakang kelas.

Ipul yang tadinya sibuk dengan ponselnya menoleh, menatapku. "Eh, kenapa, Chit?"

"Balik sekolah jadi?"

"Oh--"

"Cie elah, Ipul. Bisa banget lo ngajakin Chitra cabut. Nice move, nice move."

Aku menoleh ke asal suara berat yang sok dicempreng-cemprengin itu berasal. Di sana berdiri Abed, jangkung manis anak basket kebanggaan kelasku. Selain jago main basket, Abed juga jago membuat isu dengan mulutnya yang serupa toa masjid itu.

"Dih, goblok. Ini ngomongin presentasi bio!" Ipul menyahut galak.

"Lo 'kan kelompok kita juga, Bed," kataku.

"Lah, iya. Terus? Mau ada kerja kelompok?" tanyanya bingung, lalu langsung memanggil Anya, anggota kelompokku yang lain.

"Jadi ceritanya si Chitra ini masih kurang paham sama materi yang bakal kita presentasiin." Ipul memulai penjelasannya.

"Bukannya udah dijelasin kemaren sama Pak Badru?" Anya bertanya.

Aku meringis pelan. Anya ini tipe orang yang blak-blakan dan kurang peduli dengan pemilihan kata dalam berbicara. Yah, dan syukurnya dia dianugerahi fisik yang bagus juga otak yang encer. Jadi meskipun kata-katanya nyakitin, dia tetap memiliki banyak teman.

"Yah, gue kurang ngerti. Sorry ya," sahutku pelan.

"Eh, santai aja, Chit. Gue juga gak paham si Badrol ngomongin apaan," balas Abed dengan cengirannya. Aku ikut tersenyum tipis.

"Nah, rencananya gue mau ngajakin kalian kerja kelompok kelar sekolah nanti. Selain buat mahamin materinya bareng-bareng, kita omongin juga aja pembagian tugasnya. Gimana, pada bisa nggak?"

"Gak bisa gue," Anya langsung menjawab cepat. "Cheers ada latihan."

"Bukannya cheers Selasa-Kamis, Nya?" tanya Abed.

Jurnal ChitraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang