Ini hari Senin, membosankan seperti biasanya. Aku mulai curiga apakah orang-orang berpengaruh di dunia memang sengaja membuat Senin menjadi hari paling menyebalkan di banding enam hari lainnya. Karena sejak dulu, hari Senin selalu berhasil membawa hawa malas dan suasana buruk bagiku. Kayak bawaannya nggak mau ngapa-ngapain aja gitu.
Untungnya hari ini diawali dengan baik. Aku bangun tepat waktu, tidak melakukan kesalahan berarti selama membantu Mama menyiapkan sarapan--yang otomatis membuatku terhindar dari omelannya--dan yang paling terpenting, yang membuatku sedikit lebih bersemangat untuk menjalani hari Seninku, Sam memberikanku sandwich cepat saji rasa kacang yang sejak kemarin sedang aku idam-idamkan.
Namun sayangnya, awal baik itu tidak bertahan lama.
"Wuih, tumben lo baik," kataku sembari menyimpan tiga bungkus sandwich dari Sam ke dalam tas.
Anak bengal itu mendengus sembari menerima uluran piring dari Mama. "Gue tuh emang selalu baik, gak pelit. Emangnya lo."
"Ye, dipuji sekali langsung besar kepala lo ya!"
"Fakta, sih."
Aku hendak membalas, tapi melihat Mama yang hanya diam sembari masih fokus mengaduk susu membuatku urung. Aku mulai bertanya-tanya, ada apa dengan Mama? Tumben, dia hanya diam. Biasanya, jangankan sudah mulai adu mulut seperti tadi, baru mengobrol biasa saja Mama sudah ikut nimbrung. Soalnya Mama tau sih, seringan apapun topiknya, ujungnya aku dan Sam selalu bertengkar.
Mengaduk nasiku sebentar seraya berpikir, aku akhirnya memutuskan menendang kaki Sam. Awalnya dia tidak menggubris--sepertinya dia mengira aku hanya iseng atau justru membalas omongannya yang terakhir. Jadi aku menendang sekali lagi kakinya, kali ini lebih keras, sampai dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan alis berkerut kesal. Kalau saja aku tidak segera memberi perintah untuk diam lewat jari yang menyatu dengan bibirku, pasti dia sudah teriak kesal.
Aku menunjuk Mama dengan pandanganku. "Mama kenapa?" tanyaku tanpa suara.
Sam yang masih agak sebal lebih dulu diam, memperhatikan Mama sebentar, lantas mengangkat bahunya nampak tak peduli. Aku menendang sekali lagi kakinya untuk mendapatkan kembali perhatiannya, tetapi dia tetap acuh. Kesal, aku menendang lagi kakinya, kali ini sepertinya terlalu kencang sehingga bukan hanya kakinya, tetapi kakiku juga kepentok kaki meja dan membuat kita berdua melenguh kesakitan.
"AH! CHIT! NGAPAIN, SIH LO?!"
"Ah, sialan. Elo sih! Budek!"
"Kok jadi gue, sih?"
"Ya lagian elo, dari tadi gue panggilin juga!"
"Manggil apaan kagak ada suara? Lo pikir gue Edward Cullen?"
"Najis! Lo tuh--"
"Chitra bisa gak, kalau ngomong gak usah pakai kata jelek kayak gitu?" Mama akhirnya angkat bicara, menatap tajam padaku.
"Lagian si Sam, Ma! Nyebelin!"
"Dih-"
"Gutten morgen, keluargaku..."
Kami serempak menoleh ke arah Bang Jo yang baru keluar dari kamarnya. Aku hanya berdecak, mengusap jempol kakiku yang masih nyut-nyutan seusai menabrak kaki meja.
"'Kan, Abang jadi bangun. Kalian 'tuh gak bisa ya, sehari aja gak usah ribut? Kasian dong sama Abangnya, lagi pusing nyusun tugas akhir malah keganggu terus sama kalian."
Aku dan Sam memilih diam, cari aman. Sementara Bang Jo malah terkekeh sembari mencium pipi Mama, lalu duduk di sampingku. Mama kemudian mengambil satu lagi piring untuk Bang Jo dari rak di samping wastafel yang memang tak jauh dari meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Chitra
Teen Fiction"Chit, pacaran aja yuk." "Nggak, ah." "Ke... kenapa?" "Ya kali gue pacaran sama gay macem lo." "Anjing, gue serius, Chit." "Ya lagian, masa gue mau pacaran sama orang yang udah punya pacar? Emangnya gue gila." "Gue suka sama lo, Chit." "Oh... HAH?!"...