aku, kamu dan bahagia

65 10 0
                                    

Menjadi manusia yang bertumbuh dalam umur ataupun fisik memang tak terhindar, selama itu pula waktu akan terus bergulir bak kincir yang ditiup angin; tak ada habisnya, tak ada hentinya.

Pemuda yang masih hidup dibawah atap ayah-ibunya, kini telah berusia delapan belas tahun, telah melepas seragam putih abu-abunya secara resmi. Ia tumbuh semakin besar, semakin dewasa, menjadi sosok menawan dengan senyum tipis yang mempesona. Kinata Nismara, namanya.

Tapi mari kita sebut juga Renjun.

Pukul enam pagi, Renjun sudah siap dengan kemeja putih, celana hitam, kantong plastik berisi permen sug*s satu bungkus, roti lapis bermerek sar*roti, satu botol air minera ukuran sedang dan keperluan lainnya yang sudah masuk di ransel seperti note dan pena sebiji.

"Udah dibawa semua?"

Mamanya berdiri di depan kompor sambil mengaduk tongseng daging kesukaan Papa Damar, Renjun sendiri mengunyah dua lapis roti panggang dengan selai strawberry buru-buru. Sang kepala keluarga sendiri belum kelihatan, mungkin sibuk dengan busa sabun dan air.

Pukul tujuh kurang lima belas menit nanti ia sudah harus berada di kampus. Hari pertamanya sebagai mahasiswa tidak boleh buruk—meski lambat laun pasti akan malas pula.

"Udah, Ma." Renjun menyahut asal, jarinya sibuk di layar ponsel, menekan beberapa tombol digital dan memesan ojek online serta bertukar pesan dengan beberapa teman yang ia temukan lewat grup chat mahasiswa baru.

Setelah menghabiskan roti panggangnya, Renjun segera berbenah dan izin berangkat ketika ojek pesanannya sudah menunggu didepan.

"Nata berangkat!"

"Iya, ati-ati." Mama Nita kelabakan, antara ingin mengantar anak ke depan atau menyelesaikan tongseng yang sebentar lagi matang, pun pada akhirnya wanita cantik itu menghela nafas pasrah, anaknya sudah tak kelihatan lagi.

———

Barisan mahasiswa baru mengular sampai keluar gerbang kampus, Renjun sendiri ada bagian tengah-tengah, menunggu barang bawaan barisan depannya diperiksa. Sepuluh menit berdiri mengikuti arus, akhirnya giliran si kecil ini diperiksa. Segera ia menyodorkan kantung plastik yang ia bawa dari rumah.

"Oke, lengkap."

Kakat tingkatnya tersenyum puas kemudian mengembalikan kantong plastik di tangannya pada Renjun, tak lupa sedikit kerlingan genit yang Renjun balas dengan lipatan dahi geli.

'Dih, ganjen', batinnya. Pun begitu, ia tak ambil pusing lantaran yang barusan adalah kekasihnya sendiri, Adelardo Garen.

———

Hari berakhir dengan baik. Mahasiswa baru yang sedang menjalani rangkaian kegiatan seharian berangsung-angsur pulang, menyisakan Renjun yang duduk di dekat warung ayam geprek sambil menunggu jemputan Papa Damar, tak sadar ada yang mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Sayang~"

Renjun menoleh, mengamati lamat-lamat pemuda berkorsa hitam khas kakak tingkat yang memenuhi acara tadi.

"Ngapain panggil-panggil, Kak."

Tidak ada sahutan. Renjun merinding karena Mark sekarang malah menyengir tidak jelas,"Ngapain, sih!"

"Gemes tau! Nggak kerasa, tiba-tiba kamu udah kuliah aja." Mark menjeda,"Aku temenin sampek Papa dateng, ya?"

Ada balasan rotasi mata malas dari Renjun. Lagaknya sok minta izin, batinnya.

"Walaupun aku nolak, kakak tetep bakal duduk disini, kan?"

Retoris, sedikit menusuk, namun Mark tidak tersinggung. Ia paham Renjun tidak punya niat untuk mengusir ataupun melontarkan kata kasar, menang anaknya yang sedikit frontal serta kurang menyaring kata. Ia terbiasa dengan ini dan harus selalu terbiasa agar tidak kaget saat menikah nanti (ew!).

Mark akhiri isi pikirannya dengan melempar kikikan pada yang lebih muda, tak sekalipun membalas kekasihnya verbal.

"Nggak kumpul sama temen kakak yang lain?" Renjun membuka tanya.

"Kalo hari pertama, masih agak santai. Paling beresin tempat dikit terus bisa langsung pulang. Ini juga yang lain masih pada istirahat, makanya kakak bisa nyamperin kamu."

Penjelasannya memang kurang nyambung, tapi Renjun balas saja dengan anggukan paham, tahu jelas maksud Mark menjawab sepanjang itu. Kekasihnya ini bermaksud memberi tahu kalau akan pulang cepat dan bisa segera menghubungi Renjun.

Baru saja Mark ingin menggamit tangan yang lebih muda, Papa Damar datang menggunakan Vespa Matic keluaran terbaru. Tampilannya keren sekali dengan jaket kulit hitam, celana jeans biru dongker, dan sepatu boots hitam mengkilat.

Mark paham sih, bapak-bapak satu ini memang edgy.

"Halo, Garen!"

Mark menyalami yang lebih tua, semetara Renjun berusaha memasang helm dengan benar. Mark menoleh tepat ketika Renjun mengaitkan kunci helm dan berniat duduk di belakang sang ayah.

"Hati-hati, Pah." Kalimat Mark tujukan pada generasi paling tua diantara mereka.

"Oke. Kamu juga cepet pulang, cepet istirahat."

"Siap, Pak!" Lagak Mark seolah memberi hormat ala tentara pada calon ayah mertua, yang dibalas tawa dan tepukan pada bahunya

Mark sempatkan mencubit pipi kekasihnya sebelum motor melaju, yang mana dihadiahi erangan kesakitan.

"Kakak telfon nanti!" Ujarnya kemudian.

"Iya!" Renjun tersenyum sekilas sebelum melambaikan tangan pada yang lebih tua,"See you!"

Motor menjauh, memutus jalinan tatap dua anak adam yang dilanda kasmara tak habis-habis.

Baru beberapa saat, tapi Mark sudah kepalang rindu.




Aku, Kamu dan Bahagia
— Selesai

aksara hati; markrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang