sebatang rokok dan satu kecupan

49 6 0
                                    


Mark menekan rokoknya ke asbak dalam keadaan panik, Renjun berdiri di hadapannya bahkan sebelum jam yang mereka tentukan. Beberapa temannya yang ikut ke Foodcourt dan menemaninya merokok, terang-terangan mengejek ia dan Renjun. Bukan mengejek sih, lebih kearah menggoda saja.

Sebenarnya, alasan banyak orang bisa tahu hubungan keduanya adalah karena Mark tiba-tiba menarik Renjun untuk foto berdua setelah acara MPLS resmi selesai. Mana ada kating yang menarik mahasiswa baru untuk berfoto kalau tidak ada apa-apanya. Mark sendiri bahkan tidak malu merangkul Renjun begitu dekat dan tersenyum jahil, memang niat awalnya berfoto dengan Renjun juga untuk menjauhkan si kesayangan dari ranjau buaya. Si Kecil juga ikut-ikut saja lantaran ia tidak ingin kekasihnya didekati orang lain juga. Anggap saja niat keduanya mirip meski tak sengaja menyamakannya.

Foodcourt sedang dalam keadaan ramai, mungkin juga karena sekarang sedang jam makan siang, apalagi karena letaknya cukup strategis diantara bangunan-bangunan fakultas, jadi ini Foodcourt yang sering jadi tujuan utama mahasiswa kampus mereka.

"Udah selesai kelasnya?" Mark mendorong jauh asbak yang semula ada di hadapannya, takut-takut menatap mimik wajah sang kekasih yang tidak terbaca. Duh, niat hati merokok untuk melepas penat, Mark malah seakan dapat beban baru.

"Iya, barusan banget."

Intonasinya terdengar tenang, jadi Mark mengulas senyum meski terasa setengah kikuk. Pertama karena si manis tidak kelihatan marah dan kedua, karena ia juga sedang mengagumi wajah menuju dewasa sang kekasih. Ingin sekali dia bilang, Renjun ini kalau sedang diam jadi kelihatan dewasa dan cantik. Kalau sedang tertawa dan banyak bicara, cenderung kelihatan seperti anak kecil. Pokoknya pesona kekasihnya ini luar biasa, deh!

"Mau pesen apa? Biar aku pesenin." Tawar Mark.

Renjun menoleh ke deretan stand yang ada di pinggiran foodcourt, ada macam-macam, mulai dari gulai kambing sampai yang jual pasta pun ada. Langganan Renjun biasanya soto ayam dengan kuah panas melepuh dan es teh. Tidak lupa empat sendok sambal dan tempe mendoan. Tapi ia sedang tidak dalam selera makan normal, jadi ia urungkan memesan makan.

"Teh anget, deh kak."

Mark mengernyit curiga,"Makan?"

"Lagi nggak nafsu."

Renjun memang tidak diam saja, tidak juga terlihat merengut atau memberondongi Mark dengan kalimat tanya, tapi Mark—yang sudah kenal Renjun lama—tahu kekasihnya ini pasti kesal dan kecewa melihat Mark kembali menghisap tembakau.

Eh, tapi Mark 'kan sudah dikenal sok mengambil keputusan sendiri sejak sebelum-sebelumnya. Jadi pernyataan ini bisa patah dengan mudah. Renjun juga bukan anak yang gampang dibaca kecuali ia mau.

Mark bangkit dan menghilang sejenak untuk memesan makanan mereka. Meninggalkan Renjun dan dua temannya yang berada di ujung lain bangku panjang yang mereka tempati. Awalnya Renjun fokus dengan ponsel, memeriksa deretan chat yang belum terbuka sejak sejam lalu. Ada beberapa pesan penting yang malah bikin pening, seperti tugas dadakan, tugas kelompok. Ada juga pesan tidak mutu, seperti pesan Haechan yang minta untuk dibelikan sate ayam madura buat nanti malam.

Begitu selesai dengan ponselnya, mata Renjun bergulir pada benda kotak warna putih di meja—bungkus rokok Mark, lengkap dengan pemantik murahan yang Renjun sering jumpai. Ia pandangi lamat-lamat dua benda itu sampai Mark kembali dengan senyum tampan. Di tangannya ada 2 bungkus roti isi coklat, satu susu kotak rasa taro dan keripik kentang dupe chitato.

"Nih, disimpen. Kali aja nanti kamu laper karena nggak makan siang."

"Thanks, Kak."

"Anytime, Nat."

Pesanan makan datang. Ada sepiring penuh nasi ayam balado dan dua gelas minuman, yang satu es jeruk dan satunya teh hangat. Keduanya tidak banyak bicara, Mark makan sambil sesekali menyuapi Renjun makanannya. Sudah biasa terjadi, Renjun juga kadang begitu bila Mark sedang tidak ingin memesan makan. Kadang juga mereka saling serobot makanan kalau tiba-tiba tergiur makanan satu sama lain. Ya begitulah, namanya pasangan lama bersama, sudah tidak kepikiran malu dan sungkan. Tapi siang itu berlalu begitu saja, kembali memisahkan sepasang kekasih yang punya kesibukan sendiri-sendiri.

Lalu malam datang, kali ini lebih dingin dan lebih berangin dari biasanya. Ramalan cuaca bilang, malam ini akan hujan deras dan berangin, jadi waktu pukul delapan malam Renjun berniat menutup jendela kamarnya, ia sempat panik karena melihat Mark turun dari mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Pemuda berjaket kulit itu berlari kecil ke arah pintu rumah, tangan kanannya mencoba menghalau gerimis yang mulai turun.

"Kenapa sih tiba-tiba dateng.", gerutu Renjun, tapi ia tetap beranjak dari kamarnya dengan langkah cepat.

Pintu terbuka persis ketika Renjun sampai dibagian ruang tamu. Orang tua Renjun ada di kamar, menyisakan dua pemuda yang saling lihat dari ujung ruangan.

"Kenapa nggak ngabarin, Kak?" itu Renjun, yang akhirnya berinisiatif mengikis jarak.

Mark meringis lucu,"Dunno, haha. Maybe, i just miss you." kemudian Renjun sadar ia sudah dalam pelukan yang lebih tua. Sedikit info, Renjun kadang masih dibuat terkesima dengan gerakan cepat Mark, terutama masalah reflek si tampan muka bule ini. Renjun just find it really sexy and hot.

Lama diam dalam posisi berpelukan layaknya Teletubies, Renjun mengakhirinya dengan dorongan pelan di dada Mark, memisahkan keduanya meski jarak keduanya tidak banyak berubah. They still attached to each other like "kembar siam".

Renjun berujar lirih,"Sebenernya aku udah ngantuk."

Kalimat itu juga yang membawa dua pemuda ini kelon di kamar yang badannya lebih mungil, berbagi kehangatan selagi hujan diluar masih deras.

"Sebenernya kakak kesini itu mau minta maaf."

Renjun mendongak, mencoba membaca raut si kakak meski yang ia lihat sekarang 80% adalah bagian bawah rahang Mark. Lelah mengangkat kepala, Renjun kembali ke posisinya semula—wajah di ceruk leher dan tangan melingkar di pinggang sang kekasih.

"Maaf apa?"

Ada hening sejenak. Renjun bisa jelas rasakan bagaimana Mark menghela nafas sebelum kemudian berujar lirih,"Rokok."

Renjun awalnya agak kesal, ia tidak suka melihat citra Mark dengan rokok, ada niat hati membuang rokok sang kekasih siang tadi, tapi ia urung lantaran tak ingin menekan Mark terlalu keras. Mark hanya kekasihnya, bukan pula anaknya, tapi ia tetap bagian terpenting dalam hidup Renjun, jadi Renjun ingin orang penting dalam hidupnya ini sehat-kuat sampai tua. Tapi kembali lagi, merokok atau tidak, tetap pilihan Mark, jadi protes dan rasa kecewa itu hanya bersarang di kerongkongannya saja.

"You don't have too, babe," Renjun tersenyum tipis,"It's your choice afterall. Nggak akan aku usik, selama kamu bisa mengontrol diri. "

Diantara rasa nge-fly punya panggilan baru, Mark tetap merasa gundah itu masih menggunung didadanya,"Kamu kecewa, kan?"

Renjun berujar jenaka,"Lebih kecewa waktu kita putus dulu itu."

"Hey~!" Intonasi protes singkat jadi balasan. Meski begitu, isi kepala Mark bercabang ke arah lain.

Renjun tidak terang-terangan bilang kecewa, namun dari cepatnya mereka mengganti topik, Mark paham, Renjun hanya ingin diam saja dengan rasa kecewa itu. Ingin sekali Mark berjanji berhenti merokok, tapi berjanji bukan keahliannya, ia hanya ingin jadi lebih baik sehingga suatu saat nanti, rokok dan pemantiknya tidak lagi ada di dalam list barang bawaannya.

"Babe." Renjun memanggil lirih, terdengar sudah mulai dalam keadaan setengah sadar.

"H-hm?" Mark melongok kebawah, menatap obsidian bening milik sang kekasih. Namun kesadarannya tetap kalah cepat dengan kecup yang hinggap sejenak di atas belah bibirnya.

"I don't mind if you smoke the cigarettes. Yang penting jangan selingkuh dan pake narkoba."

Ya Tuhan, Mark hari ini kalah telak dengan panggilan baru dan kecupan polos Renjun.

sebatang rokok dan satu kecupan
— selesai

aksara hati; markrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang