Terkadang aku tidak mengerti bagaimana sebagian orang bisa begitu optimis jika sedang mengomentari kecemasan hidup orang lain, padahal kritik pedas bisa saja lebih membangun daripada memintamu untuk tidak khawatir sewaktu sedang merasa cemas-bukan-main.
"Jangan khawatir perihal pasangan, karena masih ada banyak ikan di laut."
Kepada siapa pun yang pernah menyampaikan kalimat itu padaku : aku membenci kalian.
Hal gila apa yang terlintas di benakmu saat mengatakannya? Apakah dewa sumber ketenangan menutup kedua matamu dengan telapak tangannya yang sejuk?
Bagaimana aku dapat tenang jika kau saja sedang menganalogikan pasangan yang tepat bagiku bagai seekor ikan bertubuh licin yang dapat dengan mudahnya kutemukan di laut?
"Jadi kalian ingin aku menyelam ke dalam laut untuk menemukan pacar?"
"Tidak harus menyelam! Kau bisa memancing atau menjala." Sahut mereka sembari tertawa, berasumsi bahwa aku tidak pernah melakukannya.
Aku pernah mencoba ide bodoh itu. Kau tahu, ide bodoh tidak akan disebut bodoh jika berjalan dengan baik. Ide itu bakal disebut Inovasi.
Aku pernah memancing cowok lokal di Instagram, menjala cowok luar negeri melalui Tinder. Apa yang kudapatkan dari inovasi ini? I got a Catfish—secara majas, artinya penipuan berkedok hubungan romantis—secara harfiah, aku mendapat cowok yang mirip ikan lele jumbo.
Dari seluruh kegagalan itu, sebagai nelayan amatiran, aku tidak diperbolehkan kecewa.
Kali ini mereka tertawa lebih keras sembari memegangi perut yang berguncang naik-turun. Raut kesalku adalah bahan bakar yang tumpah ke api lelucon itu—panas dan sama sekali tidak lucu. Mereka bilang, aku menganggapnya terlalu serius.
Biarkan aku memperjelas, mengapa aku perlu serius dalam menanggapi pendapat yang mereka sangka mudah.
Pertama, jumlah belahan jiwamu tidak akan pernah sama dengan ungkapan jumlah ikan di laut. Meskipun belahan jiwamu ada banyak sekalipun, mereka tak akan pernah menyamai jumlah ikan yang hidup dari ujung Amerika hingga tepian Pasifik.
Kedua, calon pasanganku jelas seorang manusia, human being! Jalinan hati manusia jauh lebih rumit daripada konstelasi bintang, lebih kompleks daripada reaksi kimia. Lalu bagaimana manusia dapat sepadan dengan seekor ikan yang tak memiliki perasaan?
"Bagaimana keduanya dapat sepadan, manusia dan ikan?" Ujarku.
"Mereka bisa jadi sepadan, atau justru ikan lebih unggul." Seorang cowok berpenampilan necis dengan secangkir kopi yang uapnya masih mengepul naik ke udara memberi tanggapan dan aku cukup mengenalnya sebagai rekan kerja dari divisi yang berbeda, "tapi tergantung bagaimana kau melihat keduanya. Bagi beberapa orang, hewan tidak semenjengkelkan manusia."
Benar, tapi tidak, bukan komentar semacam ini yang ingin kudengar.
Aku berdeham kemudian bertanya karena penasaran, "Bagaimana pendapatmu pada metafora ini 'Jangan khawatir pada jodoh, karena masih banyak ikan di laut?'"
Ia bersedekap dan sepasang alisnya nyaris bertemu di tengah, "Pertama, ungkapan itu menurutku sangat tidak sesuai. Mencari pasangan tidak sama dengan mencari ikan, tentu bukan hal mudah. Jadi seharusnya kau diperbolehkan khawatir."
BENAR SEKALI.
"Kedua, menurutku untuk mencari ikan, kau tidak perlu pergi ke laut. Kau dapat menemukan satu ikan dengan rona sisik yang indah jika bersedia berjalan lebih jauh menuju pasar ikan."
BENAR SEKALI, tapi tidak, bukan komentar semacam ini yang kuharapkan.
Mereka, orang-orang itu menertawainya, atau menertawaiku, tapi ia tampak acuh dan lebih memilih menyesap pelan-pelan kopi panas dalam genggamannya.
Sebagai seorang nelayan amatiran yang pernah gagal tapi diam-diam belum menyerah, aku mengumpan sebuah pertanyaan, "Apa kau suka hewan?"
"Aku punya dua kucing yang selalu kelaparan, seekor anjing yang lebih sering lapar, dan ikan-ikan yang hidupnya selalu terancam di rumahku. Apa kau juga suka?"
"Tentu. Detik ini aku adalah seorang nelayan yang mencari ikan tapi bukan untuk dimakan."
Cowok itu tampak kaget sampai-sampai nyaris menumpahkan kopinya, "Kalau begitu kau harus lihat akuarium mini di meja kerjaku! Tidak semenakjubkan sea world, tapi kalau kau suka ikan, kau pasti suka yang satu ini."
Aku tertawa kecil saat tahu bahwa kesalahpahaman mungkin sedang berlangsung di antara kami, membiarkan nelayan amatir melempar mata pancingnya secara sembarangan dan seekor ikan bersisik indah yang baru saja memakan umpan.
"Ya, aku mungkin saja suka. Sebelum makan siang, aku pergi ke mejamu."
"Aku tidak akan pergi makan siang sebelum kau datang." Ancamnya manis, disusul senyum tertahan yang menggemaskan.
Detik itu aku menyadari bahwa nelayan tidak melakukan pencarian seorang diri, ikan pun melakukannya dan mereka saling menemukan tidak hanya di lautan, bisa saja di pasar ikan (atau di meja rekan kerja yang wajahnya tampan).
February 22nd, 2022
Notes : Mau upload Ficlet ini pas valentine tapi ketunda terus, ehehehe. thanks for reading <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Padam
Non-FictionAda yang ingin kusampaikan sebelum ingatanku mengenaimu, kupadamkan.