Aku menyembunyikan namamu di tengah-tengah puisi yang kutulis, di antara lirik-lirik lagu yang kuputar pukul dua dini hari.
Aku menyebutmu matahari tengah malam. Kau adalah fenomena yang dunia simpan rapat-rapat tetapi beruntungnya aku mengetahui semua itu.
Aku lah yang lebih dulu mengendap-endap mencuri senyummu lalu berpura-pura tidak melakukannya.
Aku lah yang lebih dulu membeli model sepatu, sampul buku, dan motif jaket yang sama dengan yang kau miliki, lalu bertingkah seakan-akan aku tidak sengaja.
Tapi demikian pula aku hanya menyakiti hatiku setiap kali berusaha.
Bagaimana kau adalah dalang di balik lagu-lagu yang kehilangan temponya dan kelopak bunga berguguran bahkan sebelum melangkahi musim semi.
Ibu selalu bilang kalau aku masih muda, aku punya banyak kesempatan dan puluhan musim semi tengah menantiku untuk dilewati.
Tergesa-gesa semestinya tidak ada dalam kamusku. Namun masalahnya, gadis yang menyukai senyummu tidak cuma aku.
Dalam kasus ini, aku perlu tergesa-gesa aku harus jadi yang lebih dulu.
Lagipula meredam perasaanku seperti meredakan deburan ombak--seakan menutup mataku ketika kembang api dilepaskan ke langit--Mustahil dilakukan.
Tapi bagaimana jika kau menolak untuk ditemukan?
Atau yang terburuk, kau tidak berminat pada cintaku yang besar dan buru-buru?
Aku begitu khawatir jika melangkah terlampau cepat, aku justru bakal tersandung oleh harapanku.
Atau penolakanmu.
Jadi,
Jika aku boleh tahu...
Seandainya aku mengetuk lebih dulu,
akankah kau membuka pintu?
July 23rd, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Padam
Non-FictionAda yang ingin kusampaikan sebelum ingatanku mengenaimu, kupadamkan.