2. Maliha Frisanti

7.4K 1.1K 77
                                    

Wajah kuyu perempuan itu langsung muncul sementara keempat anaknya masuk ke dalam rumah Bobby tanpa dipersilakan.

"Thank you, guys ...." Perempuan itu memeluk Bobby dan Sherly bergantian. Empat tas besar yang tadi ia angkut sendiri berhamburan di lantai. Bobby langsung mengangkat semua tas tersebut ke dalam.

"Masuk, Mal. Mau teh?"

"Air dingin aja, Sher. Please."

Setelah meletakkan keempat tas di ruang tamu, Bobby memapah sahabat sejak kecil itu ke meja makan sambil bertanya, "Lo udah makan, Lih?"

"Belom."

"Anak-anak?"

"Udah."

Bobby menahan rasa mirisnya lalu, menyapu wajah sahabatnya dengan telapak tangan, "Malih ... Malih ... kalau lo sakit, anak-anak gimana? Bentar gue ambilin makan dulu."

"Setahun terakhir bikin gue sadar kalau semakin kere, semakin kebal kita sama sakit. Sejak Ian meninggal, gue nggak pernah sakit lagi loh," balas sahabat Bobby itu dengan mata sudah setengah tertutup dan suara lemah. Bobby dan sang istri saling pandang, tak tega melihat orang terdekat mereka berada dalam kondisi demikian.

Rumah Bobby yang biasanya terasa lapang dan kosong langsung dipenuhi suara anak-anak yang bermain dan bertengkar.

"Raja, Elang, suaranya pelan-pelan! Nari, gantian hapenya sama Adek."

"Aku lagi chatting-an sama temen, Bu!"

"Kenari." Sahabat Bobby yang awalnya terlihat lemas menegakkan tubuh dan menatap serius anak tertuanya dan berkata dengan nada rendah nan tegas, "Kasih dulu hapenya ke Pipit. Lima menit."

Dengan wajah tak rela, Kenari yang awalnya mempertahankan ponsel sang ibu di genggaman akhirnya memberi ponsel tersebut kepada Pipit, adik termudanya. Raut riang anak berusia enam tahun itu membuat Kenari sedikit tersenyum.

"Maliha, minum dulu." Sherly memberikan minuman dingin bersamaan dengan suaminya yang memberikan sepiring nasi berisi cah kangkung dan ayam balado. Itulah masakan Sherly hari ini.

"Thanks." Maliha segera meneguk habis minumannya dan melahap makanannya. Bobby memberikan isyarat pada Sherly untuk mengurus keempat anak Maliha.

"Nari, ajak adik-adiknya ke ruangan kerja Om Bobby yuk? Di sana kamu bisa pakai laptop untuk lanjut chatting-an sama temen kamu. Gimana?" ujar Sherly. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu langsung semringah. Ia langsung menggiring ketiga adiknya ke tempat yang tidak begitu asing bagi mereka.

Maliha, ibu mereka berempat, memang beberapa kali mengajak menginap ke rumah Om Bobby dan Tante Sherly. Jika para orang dewasa ingin bicara serius, mereka cukup sering disuruh bermain di ruang kerja Om Bobby yang dingin dan memiliki banyak buku cerita anak-anak.

Setelah melihat Sherly kembali ke meja makan, Bobby mulai bertanya pada Maliha yang masih lahap memakan makanannya, "Rencana lo apa habis ini?"

"Well, pinjaman dari lo kasih gue napas sebulan. Gue udah dapat kos-kosan yang lebih murah dari yang kemarin juga. Jadi, sebulan ini gue bisa lanjut nyari kerja dan nabung buat hidup bulan depan," jelas Maliha. Bobby tahu bahwa seterdesak apa pun, Maliha tak pernah kehabisan jalan keluar. Namun, kali ini, Bobby tidak sanggup membayangkan sahabatnya dan keempat anaknya berdesakan dalam satu kamar sempit.

"Lo bisa tinggal di sini dulu, Mal. Kamar kosong ada dua di sini," ucap Sherly. Istri Bobby mati-matian menahan tangis agar Maliha tak ikut sedih. Meskipun terpuruk, semangat Maliha sangat tinggi. Ia tak ingin mengendurkan semangat tersebut.

Maliha tertawa. "Anak gue empat, Sher. Rumah lo ancur kalau kami tinggal di sini terus-terusan."

"Mending gitu daripada lihat lo gini, Mal," balas Sherly.

"Iya ya, hidup gini banget ya?" Maliha menopang dagu dan melihat ke atas, "Rumah nggak ada, tabungan abis, kerjaan nggak dapat-dapat, tahu-tahu gue udah nggak punya apa-apa aja gitu. Duh ... mana tahun ajaran baru udah mau dimulai, pusiiing ...."

Maliha menggaruki kepalanya. Sherly menggenggam satu tangan Maliha. Ia tahu bahwa perempuan itu menderita selama setahun terakhir. Sebagai perempuan, ia tak bisa membayangkan situasi yang Maliha hadapi. Mendadak kehilangan suami, diwarisi utang, lalu luntang-lantung bersama keempat anaknya. Apalagi Maliha adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja.

Bobby dan Sherly menatap Maliha prihatin. Seolah paham dengan kekhawatiran kedua sahabatnya itu, Maliha buru-buru bicara, "Tapi, kemarin gue nyoba jadi kuli cuci di kampung dekat perumahan lama gue itu. Lumayan loh! Sehari bisa dapat delapan puluh ribu. Gue tiga minggu kerja begitu bisa bayar dikit-dikit cicilan utangnya Ian dan masih sempat ngajak anak-anak ke kaefsi."

Mata Bobby terpejam. Seumur hidup, mungkin itu adalah momen yang paling membuatnya menderita. Apalagi setelah itu Maliha berkata, "Harusnya gue nggak ke kaefsi sih, biar bulan depan nggak nyesek-nyesek amat. Tapi, kasihan anak-anak."

Bobby tahu bahwa seumur hidup, Maliha tak pernah serba kekurangan. Meskipun mandiri, ia tak pernah menghadapi masalah ekonomi. Meninggalnya suami Maliha tak hanya memukul batin Maliha, tapi juga kondisi finansial keluarganya.

Meskipun Maliha terlihat tangguh, Bobby yakin bahwa perempuan ini amat butuh bantuan.

"Mal, tinggal di sini ya untuk sementara waktu," ucap Bobby saat pandangan Maliha sudah menerawang. Sekali lihat juga ia tahu bahwa perempuan itu sudah berada di ambang batas. Keresahan mulai menjalar di dadanya.

Orang tua Maliha sudah meninggal dan semua kerabatnya berada di daerah Jawa Timur. Mertua Maliha sudah sangat tua dan perempuan itu tak sanggup membebani mereka lebih jauh. Perlahan, teman dan tetangga juga menarik diri agar tak merasa bersalah saat memutuskan tak peduli. Saat ini, hanya Bobby yang bisa menjadi andalan Maliha dan keempat anaknya.

Maliha menarik napas. Ia mencoba berpikir jernih. Harga diri tak berarti jika dirinya tak bisa memberikan penghidupan yang pantas bagi anak-anak. Tetesan air akhirnya jatuh dari matanya di hadapan Sherly dan Bobby. Kali ini, ia harus menelan semua rasa segan dan tak nyaman pada kedua sahabatnya itu. 

"Sorry harus ngelibatin kalian, guys," ucap Maliha lemah. Ia menunduk. Bobby tahu bahwa saat ini, Maliha merasa malu dan merepotkan. Ia baru mau berkata sesuatu, tapi istrinya sudah lebih dulu bergerak.

Sherly memeluk Maliha, "Gue justru bakal marah kalau lo nggak ngelibatin kita! Lo satu-satunya keluarga Bobby yang kami punya, Mal."

Bobby tersenyum lega menatap persahabatan Maliha dan Sherly. Dari sekian banyak perempuan yang berhubungan dengannya, hanya Sherly yang dapat menerima persahabatan Bobby dan Maliha. Persahabatan yang menurut orang-orang tak mungkin, tapi mereka yakini ketulusannya. 

Maliha selalu membantu Bobby saat pria itu masih sendiri dan dalam keadaan terpuruk. Kini saatnya Bobby membalas budi.

"Akhirnya ada gunanya juga gue jadi tetangga lo dari lahir, Bob!" ucap Maliha sambil menoyor Bobby yang setengah melamun. 

"Yee, dasar Malih." Bobby menoyor balik Maliha. Sherly hanya tertawa melihat pertengkaran khas anak SD yang dilakukan suami dan sahabatnya.

Kelegaan muncul di dada Maliha. Meskipun banyak cobaan yang melanda, setidaknya ia dan keempat anaknya masih dapat bertahan satu hari lagi.

(((Bersambung)))

***

Pernikahan Setengah Settingan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang