"Lo ikut lomba?"
Gadis itu tersentak terkejut kala ia mendapati suara yang tak berwujud. Kepalanya memutar mencari sumber suara itu dan berakhir pada gadis yang memakai celana pendek—sangat pendek, sedang duduk di sofa sembari menatap cat kukunya yang belum juga mengering. Ia baru saja pulang dari sekolah seusai mengerjakan beberapa laporan di ruangan ekstra, PIK-R, dan pulang sebelum adzan magrib berkumandang.
"Sok-sokan ikut lomba, ikut lomba apa lo? Paling juga itu-itu doang dan endingnya jadi peserta aja kan?"
Gaia meremas ujung rok seragamnya, gadis itu paling benci jika usahanya tidak dihargai sama sekali. Ingin sekali dirinya memutar balikan omongan, tapi Gaia sadar bahwa bagaimanapun cara ia memutar balik, ia juga yang selalu kalah pembicaraan. Gadis rambut sebahu dihadapannya bangkit, lalu mendorong bahu Gaia.
"Cepet mandi, ikut gue!"
"Kemana?"
"Nongkrong sama anak Reksa."
Gaia mengerjap, remasan tangannya sedikip melonggar, tiba-tiba saja ia merasa tertekan saat ingin bertemu dengan temannya-temannya sendiri, "aku... mau belajar, tugas aku ba—"
"Belajar mulu lo, nggak belajar sehari nggak bikin goblok kali! Cepet mandi dan ikut gue nggak ada penolakan! Gue nggak mau nyetir mobil malam ini, jadi lo yang harus nyetir!"
"I-iya."
Kepalanya mengangguk kecil lalu pergi ke kamarnya yang berada di lantai tiga, atap. Kamar dengan langit-langit miring itu memang terlihat kecil, tapi Gaia menyukainya. Apalagi saat atas atas itu dapat diganti menjadi transparan. Mayoritas orang selalu memperhitungkan untuk menempati atap, tapi saat pembagian kamar beberapa tahun yang lalu Gaia dengan senang hati menerima kamarnya meskipun sempat ditawari kamar baru oleh Papa.
Bicara tentang keluar bersama teman-temannya, bukannya dia tak mau hanya saja setiap kali Gaia bertemu dengan mereka ada saja pil pahit yang harus ia telan setiap kalinya. Mereka bukan teman sekelas—meskipun beberapa ada yang satu kelas dengan dirinya, mereka tercampur dari berbagai kelas namun masih satu angkatan. Dengan jumlah total 6 perempuan serta 6 laki-laki yang sebelumnya mereka tak saling kenal hingga seperti ini.
Bibirnya mendesah pelan merasakan perasaannya yang terasa sesak, ia merebahkan badan di atas kasur empuknya menatap langit-langit yang langsung tertuju pada bintang-bintang. Gaia tersenyum kecut mengingat perkataan mamanya dulu. Kata mamanya, Gaia harus sekuat Athena seperti namanya. Sekeras apapun cobaan Gaia sadar, bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia dari sebuah perjuangan. Oleh karena itu, Gaia berusaha tabah meskipun orang-orang selalu merendahkannya.
Pintu kamarnya terbuka perlahan tapi membuat kepala Gaia menoleh yang mendapati seseorang sedang mengintipnya dengan hanya mengeluarkan bagian kepalanya saja. Gaia terkekeh.
"Kakak ngapain?" bibirnya tertawa kecil lalu bangkit dari posisinya. Lucas masuk ke kamar adiknya, lelaki tinggi itu berjalan ke arah meja rias Gaia lalu melihat-lihat peralatan wajah milik adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laporan Haekal
Jugendliteratur❝Lapor komandan, saya telah kalah dalam persaingan ketat memenangkan hati Anindyta Gaia. Rekan saya lebih dahulu menyelesaikan misi penting ini. Sekian dari saya, Haekal Garda melaporkan, laporan selesai.❞