Garis Tengah.

187 15 4
                                    

"Mau kemana, Kal?"

Haekal menoleh menghadap Yuan sembari memakai jaket hitam miliknya yang sedari tadi tersampir di kursi. "Ada tugas penting!"

"Bah, tugas penting! Mandat apa lagi Kal kali ini?"

"Jemput ibu negara tercinta, Na." jawab Haekal sembari memasukan handphone ke waist bag miliknya. Bibirnya tersenyum manis.

Natan, atau pemuda yang kerap di saa Nana itu langsung tertawa kecil mendengar jawaban dari temannya. Yuan menoleh kearah Haekal tak lupa memukul bahu lelaki itu pelan dengan maksud, yang benar saja!

"Hujan gini?" kini gantian lelaki yang sedari tadi fokus mengerjakan makalah di laptop menatap Haekal. Tangannya membawa sebuah cangkir kosong, hendak menambah kopi pada pemilik warung. "Bawa mantel?"

"Bawa dong. Spesial buat jemput ibu negara beliin juga, warna coklat muda kesukaan dia."

"Dasar bucin!" ejek Sakha, lelaki yang membawa cangkir kosong itu.

"Udahlah ya, gue duluan. Kasihan nanti ibu negara nunggu!" pamit Haekal pada akhirnya.

Dengan langkah pasti, kakinya menerobos hujan rintik-rintik yang sedang jatuh. Tangannya memasukan kunci motor, lalu menyalakan mesin motor sebelum memakai helm miliknya. Bibirnya tersenyum, rintik hujan seperti ini mengingatkannya pada gadis pemilik senyum manis serta mata teduh yang membuat Haekal terpikat. Menggelengkan kepala pelan, Haekal melanjutkan acara memakai helmnya lalu segera meninggalkan warung itu bersama motor besar kesayangannya.

Awal Desember, awal bulan baru, dan awal kisah asmaranya pada tahun kedua putih abu-abu ini.

Beberapa bulan sebelumnya, Haekal bertemu dengan seorang gadis pemilik mata seteduhnya langit, sehangat mentari, seindah senja dan senyaman rumah. Pemilik senyuman setenang ombak laut itu mampu membuat Haekal kecanduan. Hingga membuatnya berani membuka lembaran baru untuk hatinya.

Motor hitam miliknya membelah jalanan Jakarta, menyapa bangunan-bangunan tinggi yang tak pernah lelah semakin tinggi. Rintik hujan yang mengguyurnya tak ia perdulikan, biarpun tubuhnya basah karena hujan, Haekal tetap tak berhenti. Bibirnya itu tersenyum lebar, ia sudah sibuk memikirkan sederet kata yang akan ia ucapkan saat menyapa gadisnya nanti.

Atau mungkin..

Serangkaian kata-kata manis untuk meyakinkan kepada gadisnya agar mau menjadi komandan teratas dirinya setelah sang bunda.

Namun... Senyuman itu tak bertahan lama. Sekitar lima meter dari tujuannya, Haekal berhenti memarkir motor sembari menatap intens dua orang yang terlihat sangat familiar di hadapannya.

Disana, ia melihat gadisnya sedang memegang payung untuk seseorang lelaki yang sedang berjongkok membenahi tali sepatu si gadis. Senyuman sehangat mentari itu terpancar lebar, menatap lelaki di hadapannya dalam yang dibalas dengan gelak tawa dari si lelaki.

Si lelaki bangkit, mengacak puncak kepala si gadis sebelum membawanya dekat motor memakaikan mantel berwarna biru dan sebuah helm coklat muda andalan si gadis. Tangan si gadis menutup payung saat keduanya telah sama-sama memakai mantel, kaki kecil itu berjinjit lalu mengunci helm lelaki dihadapannya sebelum tertawa kecil.

Haekal mencengkram pegangan motor kuat-kuat. Tangannya mengeluarkan handphone dari waist bag miliknya. Menekan satu kontak yang berada pada baris chat ketiga disana. Seorang yang ia kira adalah saingannya awal.

Panggilannya diterima oleh seorang diseberang sana. "Halo!"

"Lapor komandan, saya telah kalah dalam persaingan memenangkan hati Anindyta Gaia. Rekan saya lebih dahulu menyelesaikan misi penting ini. Sekian dari saya, Haekal Garda melaporkan, laporan selesai."

Hening sebentar menciptakan jeda untuk Haekal maupun pihak penerima telepon. Mata Haekal mengamati gadisnya yang sedang naik dalam boncengan motor vespa milik lelaki dihadapannya.

"Laporan di terima. Adakah pesan yang ingin disampaikan lagi saudara Haekal?"

"Ada, komandan." Haekal mengangguk meskipun pihak seberang tak mengetahuinya. Matanya menatap kedua orang tadi yang mulai beranjak pergi. "Saya Haekal Garda melaporkan adanya tanda-tanda keretakan."

"Dimana letaknya?"

Haekal meremas stang motor kian keras, matanya memanas. "Dihati saya."

Sore itu, pada hujan awal Desember, ia dinyatakan kalah di medan perang dalam misi memenangkan hati gadis pujaannya. Haekal menghela nafas berat, lalu mematikan telepon sebelum menyalakan mesin motor memutar motornya berbalik arah. Hari itu, Haekal tak memperdulikan air hujan yang benar-benar mengguyurnya hingga basah.









Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Laporan HaekalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang