6

316 64 3
                                    

Shift pagi, se-Udarati yang sanggup datang pagi tuh siapa sih selain Luci.

Mulai dari menyapu dan mengepel lantai, mengelap meja, mengecek stok sampai testing sisa stok, kalibrasi kopi dan mesin bahkan sampai merapikan meja kursi hingga semua siap dalam waktu setengah jam sebelum jam operasional ya cuma Luci. Yang lainnya sanggup kok, bang Aldi bisa, Panca bisa, Mael bisa, semua bisa. Yang mereka semua tidak bisa adalah datang pagi maksimal 1 jam sebelum jam operasional kafe.

Bu Fre dan pak Danu sampai sudah kehabisan kata-kata untuk bocah-bocah yang tidak bisa datang pagi. Jam operasional awalnya buma jam 9 pagi; terlalu pagi. Dimundurkan jam 10; masih agak kepagian. Dibuat santai jam 11; kalau bukan Luci yang shift pagi, bisa-bisa kafe baru bisa beroperasi jam 1 siang. Itu lah kenapa pak Danu sudah tidak mau ambil pusing, Luci sering ditaruh di shift pagi. Aman sentosa. Tidak ada lagi pelanggan yang protes ke pak Danu karena tulisan di depan kafe masih closed.

Untuk minggu ini, Udarati mau kembali beroperasi pukul 9 pagi, karena banyak pelanggan yang ingin bungkus kopi di tengah perjalanan menuju kantor. Atau ada yang mau duduk santai dulu, sambil mempersiapkan diri menghadapi realita hidup yang kejam. Tak jarang ada yang datang untuk sekadar bersambat ria tentang apa saja yang akan dihadapinya hari itu. Luci boleh berprofesi sebagai barista, tapi kalau ditanya soal dunia agensi, ribetnya tugas HRD, resah rumitnya junior associate, atau sekadar cerita-cerita selebgram biar dapat barang gratisan Luci juga paham. Hasil dari curhatan pelanggan.

Tumben pagi ini hanya beberapa orang datang untuk take away; pertama yang datang pesan latte panas sambil tidak berhenti berbicara via telepon, sampai tidak sempat menyapa Luci saking sibuknya. Yang kedua, mbak-mbak agensi yang pesan 6 gelas kopi susu, katanya mau ditaruh di kulkas kantor untuk dia dan teman-temannya di jam makan siang. Yang ketiga pemuda berkaos kuning terang polos yang pesan hot americano lalu mengambil empat bungkus gula. Semoga dia tidak kena diabetes.

"Halo, saya boleh sambil makan di sini?" entah dari mana, koko-koko berkemeja putih bersih sudah muncul di depan bar. Luci terlalu sibuk menelponi Panca; dan sepertinya customer yang satu ini akan pesan makanan. Gawat. Panca ini juara satu telat masuk kerja, tidak peduli shift kapan dia masuk. Shift jam 9 pagi, dia bisa datang jam 1 siang. Ajaib.

"Boleh kok kak, mau pesan di sini?"

"Oh, nggak. Saya bawa bekal dari rumah."

Dalam hati Luci bernafas lega. Tidak perlu repot-repot dia berbohong kalau anak dapur sedang belanja keluar seperti biasa yang ia lontarkan ke pengunjung yang ingin pesan makanan di saat Panca belum datang.

"Silahkan kak."

"Tapi saya order kopi kok."

"Hehe iya tenang saja kak." Luci menyeringai. Si Koko masih tidak melepaskan pandangan dari menu.

"Gak ada flat white?"

"Bisa saya bikinin tapi masuk harga latte."

"Gak masalah. Panas ya, saya ambil makanan dulu."

Sesegera pula setelah order masuk di kasir, Luci langsung membuatkan pesanan si Koko. Flat white itu mirip latte, tapi foam-nya tipis bahkan hampir tidak ada. Jadi tidak akan ada foam lebih untuk membuat art.

"Loh udah kak? Kok cepet." ujar si Koko bingung, tidak tahu saja ia kalau Luci punya julukan barista geledek; saking cepatnya membuat pesanan. "Kok gak ada gambarnya kak?"

Eh?

Aduh.

Mulai lagi.

Tahan Luci, tahan.

"Kakak kan pesennya flat white, gak ada gambarnya dong kak. Hehehe."

Plis lah, dari segala keluarga white coffee, yang ada gambarnya itu hanya latte dan picolo.

"Oh yaudah kak." si Koko langsung duduk di meja sambil makan dan ngopi dengan anteng.

Luci kembali ke posisi nyamannya, di samping kulkas, sambil menyendok sisa klapetaart yang ada di kulkas. Pokoknya apa pun yang ada di kulkas depan adalah hak milik anak bar. Tidak ada pesan tertentu baik via pesan singkat atau pun kertas yang menempel di benda itu ya wassalam. Akan jadi santapan siapa pun yang ada di bar.

"Kak, pesen satu lagi ya flat white."

"Oke." tanpa ba bi bu Luci kembali membuatkan segelas flat white. Masih tanpa gambar. Luci tidak akan goyah imannya. Kalau mau ada gambarnya, pesan saja latte, pikir Luci.

Sedang asik-asiknya Luci menonton video balapan keong, si Koko tadi sudah berdiri di depan mesin kasir.

"Jadi enam puluh ribu kak."

"Terima kasih ya. Ini flat white terenak yang pernah saya minum. Gak semua barista bisa bikin flat white yang bener, yang bener gak ada gambarnya kan? Hehehe, tadi saya cuma ngetes."

Oalah, dites mulu hidupku astaga.... Batin Luci dalam hati setelah mendapat undangan untuk main ke kafe si Koko; yang ternyata pemilik salah satu kafe teramai di daerah Melawai.

Gini amat sih nyari duit, huuu..

UdaratiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang