Memang sepertinya tawa Aldi kemarin masih harus berlanjut. Si customer-yang-naksir-Luci datang lagi ke kafe hari ini. Takut merasa ada yang terlecehkan dengan tawa Aldi yang berkarakter menghina, Aldi berlari melepas tawanya di dapur. Membiarkan Luci menghadapi si customer, yang belakangan diketahui namanya sebagai Dhea.
"Hai kak Luci!!!" sapa riang membahana dari Dhea, hanya berbalas seringai aneh dari Luci. Sudah pasti Luci sedang merutuk keras di dalam hati. Pada akhirnya kemarin Luci Dhea dan juga Aldi bercakap cukup cekap. Luci bersikeras menganggap itu adalah salah satu service yang harus dilakukan seorang barista kepada pelanggannya.
"Kak Aldi mana kak??"
"Mau pesen apa Dhea?"
"Ih kak Luci kok galak amat. Belom ada pelanggan ya dari tadi?"
Bu Fre, dosa kah aku kalau menyemprotkan uap steamer ke wajah pelanggan?
"Aku pesen gayo V60 aja kak, sama pesen nasi goreng ya. Yang pedes nasi gorengnya, biar aku makin hot."
Bung Aldi, kenapa selama bulan puasa ini yang kerja hanya kita berdua? Kenapa aku jadi ingin merutuki Panca dan Babal yang sedang mengambil cuti lebaran...
"Open bill aja ya kak. Nanti temen aku ada yang mau ke sini soalnya."
Tuhanku dan Allahku, jangan cobai aku untuk hari ini saja bisa, kan?
"Kak rambutnya lebih rapi kemaren deh. Rambut cepak kaya kakak tuh harus sering disisir-"
"V60 gayo kan? Sebentar ya." Luci melesat ke pantry, memasukkan orderan untuk bung Aldi, baru beranjak pada kantong-kantong yang berisi berbagai macam biji kopi.
Oh rupanya Dhea sudah sibuk menerima telpon dan duduk di kursi pojok. Bagus lah. Luci menghela nafas selesa.
Membuat V60 lebih butuh konsentrasi lebih, menurutnya. Terkadang ada pelanggan yang ingin hasil V60-nya mengeluarkan karakter-karakter tertentu. Memenuhi permintaan pelanggan membutuhkan ketepatan waktu dan takaran rasio yang tepat.
Kurang dari 2,5 menit, karaf berisi hasil V60 dan sebuah gelas espresso tersaji di depan Dhea, yang masih sibuk bertelpon ria entah dengan siapa. Bahkan ketika Aldi selesai membuat pesanan nasi goreng pun, Dhea masih asyik dalam obrolannya. Lagi-lagi karena kafe adalah tempat umum, hal apa saja bebas untuk dilakukan. Toh juga tidak ada peraturan tidak boleh bertelpon ria di dalam Kafe Udarati.
"Mbak Cul."
"Hoi."
Aldi dan Luci sama-sama menyenderkan tubuh pada kursi di dalam bar.
"Sebenernya nih mbak, gua gak pengen nguping-"
"Tapi gimana mau gak nguping ya."
Mata mereka berdua sama-sama menuju ke arah Dhea. Ruangan seluas 14x5m penuh dengan suara dan tawa cekikikannya. Pun juga musik yang diputar dengan volume yang sengaja lebih kencang dari biasanya tidak berhasil menutupi suara Dhea. Luci berpikir untuk menyalakan alarm kebakaran saja, supaya makin riuh.
"Oke gua tunggu ya? Oh lu mau ngajak temen lu? Belok juga dia? Oke oke gua tunggu ya!"
Aldi dan Luci saling melirik, tanpa kata terucap pun mereka sama-sama tahu kalau mereka mempermasalahkan kata 'belok' yang diucap Dhea.
Luci selalu merasa beruntung bisa bekerja di Udarati. Semua orang di sini sangat terbuka, menerima setiap perbedaan tanpa pernah menghakimi. Bu Fre dan Pak Danu sudah seperti orang tua sendiri bagi semua karyawan Udarati. Setiap orang di Udarati memiliki ceritanya masing-masing hingga bisa sampai di Udarati. Bu Fre dan Pak Danu memiliki peranan besar ketika Luci sedang berjuang melawan depresinya. Ditolak keluarga, putus cinta dan hilang segala kepercayaan diri bukan lah kombinasi yang baik. Beruntung seorang relasi mengajak Luci nongkrong di Udarati. Pak Danu yang tajam intuisinya secara halus mulai mengulik Luci dengan segala keruwetan kepalanya. Bahkan setelah dijadikan karyawan pun, Luci masih terus diajak untuk mengulik segala keruwetan kepalanya.
"HAI JEN!!!" melihat dari antusiasme Dhea, dipastikan kalau dua orang yang disambutnya adalah yang ditunggu. Setidaknya mereka bertiga langsung ke smoking area, di mana Aldi tengah menikmati rokoknya di sana. Luci menghela nafas. Merasa lega entah karena apa.
Baru saja merasa sedikit merdeka, salah satu teman Dhea; yang berambut sebahu-berkupluk merah dengan banyak sekali kalung di lehernya sudah berdiri di depan bar. Matanya tidak tertuju pada menu, tapi tertuju pada Luci.
Ah ilah.
"Hai." sapa perempuan yang ditaksir masih berumur 20-an.
"Halo kak, mau pesan apa?"
"Kopinya di sini pakai apa? I'm a barista too! And I'd like to drink, hmm....ada rekomendasi?"
Wah tipikal anak Jakarta Selatan sekali, pikir Luci.
"Kami pakai houseblend kak. Mau kopi atau nonkopi?"
"Pakai Toraja bukan? I really love Toraja! Anyway, ice longblack boleh."
"Kami pakai houseblend. Oke kak." setelah dipertegas jenis biji kopi yang dipakai untuk espresso-based, Luci menyadari di jemari perempuan itu tersemat banyak sekali cincin. Macam rapper. Atau mungkin memang begini ya gaya anak Jaksel kebanyakan? Luci sendiri tidak mau membuat steorotip.
"You're cute. What's your name?"
"Hah?"
"I know you're a lesbian. The three of us realize that! Even in the first time we saw you. Am I right? Hahahaha."
Tuhanku dan Allahku, aku sedang diuji lagi ya?
"Anyway, kita buka-bukaan aja. Are you single right now? Cuz I think I kinda like you." Luci memencet tombol mesin, menghentikan proses ekstrasi espresso dan menatap tajam ke arahbsi rapper jadi-jadian yang sedang menyender sok manja ke meja bar.
"Oke pertama nama gua Luci, kedua gua belum tahu nama lu, dan ketiga bukannya agak gak sopan untuk langsung nanya begitu ke orang yang baru pertama kali lu temuin?"
"Nope. At least nope for me."
Seketika Luci merasa segala norma dan sopan santun hanya lah bualan belaka. Atau mungkin, relatif. Apalagi untuk anak-anak semacam ini, yang malah memasang senyum lebar, plus mengedipkan satu mata. Dipikirnya Luci akan luluh.
"Oh yeah, my name is Renja if you want to know. Uhm Luci, can you add two shots of sugar on my coffee?"
"Two shots? Lu mau diabetes atau apa?" tetap saja yang dimasukkan oleh Luci hanya satu shot.
"And can you add milk to my coffee-"
"SUSU?!" Renja menahan gerakannya karena Luci memotong dengan nada nyaring. Senyum Luci kemudian muncul perlahan, tapi lebih terlihat seperti seringai menakutkan. Tangannya tetap sigap mengambil jug dan susu. Sebagai barista yang baik, Luci harus tetap mengikuti apa yang diminta pelanggan. "Oh maksudnya ICE LATTE?"
"Ahaha whatever you name it! And, can you steam the milk first--?"
"Wah mbak Luci bikin apa mbak?"
"BIKIN ICE CAPPUCINO BUNG ALDI!" secepat jawaban Luci pula Aldi langsung menyadari ada yang lucu dari pesanan Renja.
"Halo kak, mau steam susu manis atau creamy?"
"What? Memangnya bisa??"
Aldi mengambil alih jug yang sudah diisi susu lalu mulai mem-frothing susu. Diambilnnya sebuah shooter, dituang sedikit susu hasil frothing tadi dan disodorkan ke depan Renja.
"Silahkan dicoba." tanpa ragu-ragu Renja meneguk susu itu dan terlihat sangat takjub.
"DID YOU ADD SOME SUGAR ON IT??" Aldi menyeringai menyeramkan seperti Luci tadi. "Yeah, actually gua anak bar tapi bartender sih, bukan barist-"
"ADUH ingredient-nya Long Island apa ya?!" Luci memegangi kedua kepalanya bagai orang hilang arah.
"What the hell is Long Island??!"
hening seketika.
"Banyak orang mengaku sebagai barista hanya untuk onani pikiran dan kebutuhan pengakuan eksistensi diri. Padahal, bla bla bla bla!"
Ya lanjutin khotbahnya bung, Luci ke dapur dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Udarati
General FictionUdarati : (S) kw. ak segara Segara, laut. Mana yang lebih luas? Pemikiran, permasalahan, serta kehidupan manusia; atau lautan? Bukan, ini bukan cerita soal sketsa kehidupan di laut. Ini cerita tentang sketsa kehidupan di dalam bingkai sebuah kafe be...