Menjadi barista membuat Luci dan Aldi berkesempatan bertemu banyak sekali karakter dan perilaku manusia. Karena, salah satu tempat yang paling tepat untuk mengamati manusia: kafe.
“Lu kagak tau kemaren di belakang si Dhea itu ngomong apa aja?”
“Apa aja bung?”
“Dia nanya apa bedanya agnostic dan atheist!”
“HAHAHAHAHAHA!”
“Kacau ya itu anak tiga! Yang paling ngaco itu si Jejen itu loh. Gua diancem bung, katanya si Dhea punya dia. Jangan diambil katanya. Lah sapa juga yang mau sama cewe kaya gitu!”
“Hah? Gila kali ya! Gak jalan itu logikanya mbak. Ckckck.” Aldi kembali menghirup Gudang Garam Merahnya dalam-dalam, dihembuskannya asap tebal hingga membumbung ke udara. “gak mentang-mentang gua suka sama cewe, lantas gua seneng sama semua cewe kali. Mbak Icul juga gitu kan, yakin gua.”
Luci menggeleng-gelengkan kepala. Aldi tahun ini genap berumur 2 tahun lebih tua dari Luci, tapi tetap saja ia memanggil Luci dengan sebutan ‘mbak’. Sebuah penghormatan untuk wanita katanya. Luci memanggil Aldi dengan sebutan ‘bung’, penghargaannya atas segala perjuangan Aldi melewati masa-masa kelamnya.
Setiap orang mempunyai masa lalunya masing-masing.
“Katanya mereka hari ini mau ke sini lagi bung.”
“Ya….mereka seneng ke sini karena kita nanggepin mereka sih mbak. Merasa punya temen ngobrol.”
“Dan mendengarkan semua braggingnya.”
Luci dan Aldi tertawa. Teringat akan cerita masing-masing dari tiga anak itu tentang masa lalunya. Masing-masing dari mereka pula seolah berlomba-lomba menunjukkan kalau mereka lah yang paling menderita. Begitu kah potret anak muda di ibu kota saat ini? Sangat butuh merasa diakui, sangat butuh dirasakan eksistensinya. Sudah terlalu sibuk kah orang-orang dengan dirinya sendiri sampai tidak memiliki waktu untuk membagi perhatian dengan orang lain?
“Bung, ada customer tuh. Gua ke kamar mandi dulu.” tapi langkah Luci terhenti ketika mengetahui siapa si customer.
“Becca?”
**
Di depan Luci ada sepotong kecil brownies, sementara potongan lainnya sudah dimakan Aldi di sudut lain smoking area, sisa potongan lainnya dimasukkan ke kulkas; untuk Bu Fre dan Pak Danu kalau misalkan beliau berdua juga mau.
Secangkir longblack panas milik Luci di cangkir warna merah menemani latte bergambar hati yang sekarang sedang disesap oleh Becca.
“Jadi sekarang lu disini Luc?” Becca meletakkan gelasnya, melepas jaket kulitnya dan membetulkan letak kacamatanya. Rambutnya ikal melebihi bahu juga disibaknya walau tidak membuat posisi rambutnya menjadi seperti apa yang ia inginkan.
“Haha yaa gini lah. Gua gak bisa jauh-jauh dari kopi.” mendengar itu Becca tersenyum pahit. Memori di kepalanya terlempar ke sebuah kafe di bilangan Ciputat, kurang lebih setahun yang lalu.
“Luc…gua udah cerita ke mas Malik.”
“Terus?”
“Katanya kalau orang itu gangguin aku lagi, bilang ke dia aja.”
“Ya…kalau Malik lagi gak di tempat, lu chat Malik gitu? Terus dia bakal langsung ke kafe? Gitu?”
Becca terdiam. Matanya masih menandakan ketakutan, kekhawatiran, kecemasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Udarati
General FictionUdarati : (S) kw. ak segara Segara, laut. Mana yang lebih luas? Pemikiran, permasalahan, serta kehidupan manusia; atau lautan? Bukan, ini bukan cerita soal sketsa kehidupan di laut. Ini cerita tentang sketsa kehidupan di dalam bingkai sebuah kafe be...