9

96 18 2
                                    

Apa mimpi buruk bagi barista?

Kafe sepi? Bukan.
Gagal frothing susu? Bukan.
Diamuk pelanggan? Bukan.

Mantan datang ke kafe?

Hmmm.
Mantan yang mana dulu nih?

Hari ini Luci jadwal shift sore. Tidak biasanya, memang. Hanya kebetulan saja karena bung Aldi harus menghadiri acara keluarganya di malam hari. Rupanya dia masih tidak mau namanya dicoret dari KK ayah dan ibunya, mau senakal apapun dia.

Masuk ke Udarati, Luci mendapati bu Fre sedang menikmati es teh lemon di smoking area. Sementara...di pojok ruang, Andini sedang sibuk bersama laptopnya. Di depannya Chella tengah melakukan hal yang kurang lebih sama seperti Andini.

Masuk ke bar, Luci melihat ketersediaan beans di dalam grinder. Memeriksa catatan kalibrasi hari ini, memeriksa catatan penjualan dan memakai apron. Karena Udarati sedang sepi, Luci menghampiri Andini dan Chella dengan segelas latte di tangan. Kopi pertamanya hari ini.

"Halo." sapa Luci, kedua orang yang disapa membalas dengan lambaian tangan meski mereka sudah ada di satu meja yang sama. Oh, yang satu sedang meeting dan yang satunya lagi sedang dikejar tenggat waktu laporan bulanan. Karena merasa bu Fre memperhatikan Luci dengan agak khawatir, Luci segera memberi sinyal kalau semua baik-baik saja. Ya, bu Fre seperhatian itu dengan Luci. Dan seharusnya sudah tidak ada yang harus diperhatikan, mengingat Luci sudah bisa duduk satu meja dengan mantannya dan pacar baru mantannya.

"Lu minum apa?" Luci memiringkan gelasnya ke arah Chella yang langsung memajukan wajahnya ke gelas Luci. Sementara Andini masih getol mengetik di laptopnya.

Luci sendiri butuh waktu, setidaknya satu tahun, untuk menerima kalau mantannya sudah menjalin hubungan lagi dengan orang lain. Saat pertama dikenalkan pun, hatinya serasa dihujam banyak pecahan kaca. Bahkan untuk sekadar duduk dengan perasaan netral saja, Luci melatih dirinya sendiri dengan sangat keras. Diawali dari pura-pura tidak ada masalah, sampai pada akhirnya Luci lupa kalau sedang berpura-pura.

"Kenapa?" tanya Luci pada Andini yang mencuri lirik, oh rupanya pada gelas kopi Luci.

"Bu Fre tau kalau kita mantan gak sih?" sungguh pertanyaan yang sangat tidak ada hubungannya dari lirikan ke arah gelas tadi.

"Tau kok. Makanya daritadi nengok-nengok mulu ke sini." Chella terkekeh mendengar ucapan Luci yang sebegitu santainya. Dalam hati Luci, Chella juga sudah cukup berbesar hati untuk membolehkan pacarnya untuk masih berteman dengan mantannya, bahkan tidak keberatan untuk mengenal mantan dari pacarnya secara personal. Luci merasa dia juga harus belajar berbesar hati untuk banyak hal. Toh pada akhirnya Luci juga tahu kalau Chella orang yang baik dan loyal.

"Bro, I heard that your ex, not you hon, I mean your latest ex is kinda crazy ya?" Meja yang dipenuhi orang kerja tapi multitasking ini, arah pembicaraanya sangat melompat-lompat memang.

"She is. Even it's not a kinda." Chella terkekeh sambil membenarkan posisi earphonenya.

"Dia masih sering DM kamu?"

"Nope. IGku kuhapus dulu, sekalian detoks." Andini dan Chella menatap Luci dengan nanar. "Disuruh bu Fre." entah kenapa mereka berdua menarik nafas lega.

"Gila ya, lu yang diputusin tapi lu juga yang dikejar-kejar. Lu nemu orang gitu dari mana dah??" Chella tiba-tiba terbungkam karena ditatap tajam oleh Andini.

Tiba-tiba pintu kafe terbuka, tanpa berpamitan Luci segera kembali ke bar hanya untuk mematung kemudian.

"Halo kak Luciiii!"

Speak of the devil...

****

Menyadari ada perubahan suasana dan gerak-gerik yang berbeda, bu Fre masuk ke dalam kafe, menemukan Luci sedang menghadap mesin kasir..mencatat pesanan dari Ivana, mantan Luci.

"Waduh." buru-buru bu Fre masuk ke dalam bar, pura-pura mengambil segelas air dan sedotan. Padahal bu Fre hampir tidak pernah mau mengambil sedotan. Hampir mati gaya bu Fre karena tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengulur waktu untuk tetap ada di dalam bar. Walau, bu Fre tahu Luci tidak akan mengusirnya.

"Aku tau shift kak Luci dari Panca lho!" Ivana sengaja memajukan badannya menempel pada bar, membuat kaos crop topnya yang pendek makin naik memperlihatkan area pinggangnya.

"Pesen apalagi?" Luci terlihat ingin segera menyudahi pembicaraan, bu Fre mengaduk-aduk gelasnya dengan sedotan. Khawatir dengan reaksi Luci, apapun itu. Sementara di pojok ruangan, ada kasak-kusuk Andini dan Chella yang sedang meyakinkan diri masing-masing; entah mengonfirmasi kalau itu mantan terbaru Luci yang baru saja mereka bicarakan, atau motivasi kenapa dia masih dengan sengaja datang ke Udarati.

Suara pintu Udarati yang dibuka dengan cepat mengalihkan perhatian bu Fre. Seorang perempuan berambut cepak, tinggi dan berisi. Bu Fre merasa tidak pernah melihat orang itu datang ke Udarati sebelumnya.

"Hai beeebbb!!!" dengan manjanya, Ivana memeluk dan menggelendoti tangan perempuan berambut cepak itu. "Kak Luci, kenalin ini Shinta pacar baru aku!"

"Cul???" Bu Fre mendelik ke arah Luci yang mukanya mulai memerah, wah gawat.

Bu Fre mendekati mesin kasir, masih dengan gelas air putih di tangannya.

"Bu Freeee!!!" Ivana menyapa bu Fre dengan riang, seolah tidak ada dosa dan beban sama sekali. Bu Fre hanya menyeringai, keadaan Luci yang belum jelas kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang apakah menu yang dipesan bisa langsung keluar atau tidak.

"Na, duduk dulu kali. Nanti dipanggil ya kalau pesenannya udah jadi."

"Oke bu!!" Ivana menggandeng pacarnya, dan duduk di kursi yang ada di depan bar.

Oalah, cah gendheng. Batin bu Fre dalam hati. Karena tidak bisa menebak Luci yang sedang membuat minuman dengan secepat kilat, bu Fre memutuskan untuk mengikuti Luci kemanapun walau masih di area bar. Mengikuti Luci mengambil susu, mengambil es, mengambil gelas, membuat kopi, sampai pesanan jadi, bu Fre menyahut ice matcha dan ice latte yang baru saja dibuat Luci.

"Na, udah nih." bu Fre menyodorkan gelas minuman yang langsung diambil oleh Ivana, tetap dengan riang. Ada sedikit kecurigaan dari bu Fre soal Ivana, kelakuannya persis seperti orang yang baru menenggak rebusan kecubung.

"Cul, mau ke mana?"

"Buang sampah bu." suara Luci sedikit bergetar.

"Abis ini temenin saya ke kamar mandi ya." Luci mengerutkan dahi. Pertama kalinya dalam sejarah, bu Fre minta ditemani ke kamar mandi. Luci pikir, setelah membuang sampah dia masih harus kembali ke bar untuk menjemput bu Fre ke kamar mandi. Rupanya bu Fre juga membuntuti Luci sampai ke tempat pembuangan sampah.

"Bu, saya gak papah kok." tampaknya Luci sadar kalau sedari tadi bu Fre khawatir padanya.

"Apasih, saya kan lagi pengen ngecekin kerja kamu doang." dalih bu Fre karena tidak menyangka kalau Luci menyadari tindak-tanduknya.

"Hehe, makasih ibu. Tadi sempet sih rasanya saya pengen izin pulang aja, tapi saya inget, ini kan tempat kerja saya. Masa malah saya yang pulang? Mereka yang pulang lah."

Belum sempat bu Fre membalas Luci yang dianggapnya sok keren, terdengar keributan dari Udarati. Pintunya terbuka dengan keras setelah dua orang berjalan cepat dengan penuh hentakan kaki; siapa lagi kalau bukan Ivana dan pacar barunya itu.

"TERSERAH! GUA MAU PULANG!!!"

"GUA BISA JELASIN YAAA!! SHINTAAAA!!!"

Ivana menangis meraung-raung di depan Udarati, sementara sang pacar tetap dengan cuek pergi meninggalkan Ivana dengan motornya. Usut punya usut, setelah menyadari kalau mantan sang pacar adalah barista di kafe tempat mereka janjian kencan, Shinta marah besar dan mengamuki Ivana. Another odd barista life, pikir Luci.

"Cul..."

"Ya bu?"

"Mereka udah bayar kan?"

"Udah bu."

"Alhamdulillah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UdaratiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang