Name main cast :
▪︎ Eza
▪︎Winni
▪︎ Vandra~••~••~••~••~••~
Hari ini... sinar mataharinya agak silau bikin mata sakit. Jadi makin malas untuk membuka mata.
"Bangun bang, hari ini mau sarapan pakai apa?"
"Lagi mau bubur ayam."
Suara klik dari jendela kedengeran, lalu makin kerasa terik banget sama sinar ultraviolet ini.
"Melek atuh bang, ngejawab tapi matanya masih merem. Semalem bilang hari ini ada kelas pagi."
"Pengen sesekali abang mau alfa, bu."
"Yah kalau abang berani sok atuh bolos, tapi kamunya berani nggak? Nilai dapet B- aja udah merasa buruk belajarnya."
Saya terdiam dengar ledekan ibu. Tapi, betul juga.
Akhirnya saya bangun tapi butuh kekuatan sebentar buat bersiap menjalani kehidupan yang membosankan. Aktivitas yang teratur tetapi tidak pernah berubah. Terus menerus berulang-ulang, kayak roda mobil ayah yang kalau dijalanin tetep muter kecuali di rem. Atau seperti tujuh hari yang nggak pernah bertambah atau berkurang, tetap tujuh Senin sampai Minggu.
Konsisten, tapi kayaknya bukan kata tepat buat kehidupan saya yang cukup jenuh.
Saya bahkan nggak hitung sudah berapa tahun ngejalani keseharian seperti ini, tapi yang jelas kehidupan ini sejak berumur dua belas tahun. Dan sekarang umur saya sudah menginjak dua puluh satu tahun, tiga bulan mendatang sudah semester akhir.
"Ayuk bangun kasep-nya ibu. Ibu beliin dulu bubur ayam tanpa kacang buat kamu sama ayah. Semoga nggak ngantri, biasanya jam segini mang Ijang udah dikerubungi sama pelanggannya. Kamu mandi terus langsung ke bawah temani ayah di meja makan," kata ibu sambil membantu mengambilkan kacamata.
Terbilang tidak dewasa di umur sekarang, yang masih sering ditanya... Mau makan makan apa nanti malam? atau... Mau dibawain bekal? atau seringkali Pulang jam berapa? Biar ayah jemput.
Selesai mandi, saya segera turun ke lantai bawah. Ayah di sana sibuk pada keyboard laptop ditemani secangkir teh melati, tidak lupa kacamata bertengger di hidungnya.
"Hari ini jam delapan ya kita berangkat, ayah masih benerin presentasi buat meeting siang nanti."
Persis seperti anak SMP berangkat diantar, uang saku diberikan sehari, pulang pun dijemput. Bisa dibayangkan kelihatan tidak mandirinya, saya nggak bisa bantah karena ini keinginan ayah sama ibu. Saya pun mengerti karena cuman saya anak satu-satunya mereka. Dan...
Saya agak sedikit berbeda.
"Makanlah nasi itu, makanlah semua hingga habis tak tersisa."
Saya menutup mata menikmati segelas teh. Teh favorit ayah di pagi hari, favorit saya juga.