Name main cast :
▪︎Alwan
▪︎Arin"Jagain teteh kamu, jangan sampai lecet."
"Barang kalik lecet. Teteh sudah besar pak, bisa jaga dirinya sendiri. Lagian mana ada yang mau coba celakain si teteh, baru ingin dekat sudah menciut duluan nyalinya. Teteh kalau mukul kan bikin perih pak, lengan Alwan jadi saksi bisu sering merah. Seharusna bapak yang jagain Alwan dari si teteh."
"Bapak ngomong satu kalimat kamu jawab satu paragraf. Wan... Wan, begitu-begitu teteh kamu yang biayain kuliah kamu."
Diungkit lagi.
"Baik paduka, Alwan akan menjaga dengan baik agar teteh tidak tersentuh dari marabahaya di luar sana. Bahkan nyamuk yang hisap darah teteh, bakal Alwan cari sampai dapat, terus ditepok."
"Kamu tuh kalau bapak ajak bicara serius. Sana berangkat kerja, jam segini masih di rumah. Kamu guru, sebagai guru beri contoh untuk murid-murid kamu."
Setelah menandaskan nasi goreng teri, saya mengambil gelas beling. "Ngga heran kenapa anaknya ngomong panjang lebar. Bapaknya kalau jawab merembet ke mana-mana."
Tanpa lagi berbincang panjang lebar sama bapak, takutnya malah mirip perdebatan meja bundar Mata Najwa, maka segera menghabiskan teh.
"Punya anak satu-satunya sering bikin abah-nya kesal," bapak mengeluh memijat pelipis sambil menatap putra tampannya sedang minum.
Bibi namanya Arin, biasa dipanggil teteh— kalau depan bapak. Umur kami terpaut satu tahun, lebih tua dia. Saya ponakannya yang paling tahu betul bagaimana teh Arin. Ya jelas, kami tumbuh kembang bareng bertahun-tahun.
Jadi ingat.
Teori Darwin mengatakan selain faktor genetik, evolusi juga tergantung karena seleksi alam. Mahluk hidup yang dapat bertahan adalah yang bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Di antara mereka yang bertahan, terjadi proses seleksi untuk menjadi yang terbaik. Tapi apakah Arin berevolusi? Mengingat teteh terkadang ingin menjadi yang terbaik dari yang terbaik.
Ngga tau juga.
Tapi yang pasti Arin belum pernah jadi kera.
Jadi ada yang mau tau tentang dia?
Pertama kali kenal dan tau, sewaktu Arin dibawa pulang bapak, bertepatan setelah hari ulang tahun saya ke 9. Bapak bilang kalau Arin akan tinggal di rumah. Saya sih senang-senang wae, karena bisa punya teman main di rumah.
Tapi eksptasi mendapat teman main musnah sia-sia. Arin wajahnya ngga bersahabat, tiap mau ajak main monopoli atau coba ajak main karambol, matanya selalu sinis kayak mau ajak gelud, ngeselin dia mah.