Bab 5

1K 41 0
                                    

Sinar mentari mengusik tidur Viania, suara ketukan pintu juga menambah suasana ribut, Viania terbangun ia melirik kanan kiri.

"Nona Viania, anda tidur sudah cukup lama, kepala pelayan Emma meminta saya untuk membangunkan anda, hari ini bukankah anda harus berangkat sekolah?"

Viania bangun dari tidurnya, mengumpulkan kesadarannya sedikit demi sedikit, ia menguap lebar menandakan kantuk masih menguasainya.

"Aku bangun, aku sudah bangun."

Viania merasakan pegal diseluruh tubuhnya, ia berjalan ke kamar mandi berniat untuk mandi dan berangkat ke sekolahnya sampai ia melewati kaca yang tergantung di kamar mandi, ia melihat bayangan tubuhnya yang penuh dengan kiss mark. Dadanya dan perut ratanya juga memerah, seketika ia teringat dengan kejadian yang menimpanya semalam.

Viania tertekan, ia menangis dalam diam. Menggelengkan kepalanya menolak kenyataan yang ia terima

"Semua ini mimpi, ya itu semua mimpi." Ia berpikir semuanya hanya mimpi, ia bahkan tak merasakan sakit di bagian bawahnya, tapi kiss mark itu seolah menjadi bukti nyata bahwa iya telah melakukan sesuatu tadi malam.

Viania menyalakan shower, mandi dalam keadaan takut, ia tak mau sekolah untuk saat ini. Selesai mandi ia kembali ke kamarnya mengenakan pakaiannya dan melihat kearah kasurnya. Tak ada noda darah dan ia juga melihat sekitar kamar, barang-barang juga tertata rapi seperti sedia kala, tak ada yang hancur atau berjatuhan seperti kejadian semalam.

Tapi ia bukanlah gadis bodoh, tanda merah ditubuhnya bukanlah gigitan serangga, itu sebuah kiss mark, sebuah kiss mark. Viania terduduk di kasurnya, ia melamun dan lupa akan waktunya.

Ceklek

Suara derit pintu terbuka tak kunjung menarik perhatian Viania, ia masih betah dengan pikirannya.

"Nona, ini Bibi Emma, ada apa? Kenapa tidak turun? Apa kah tidak lapar?" Viania tetap diam, dan tak menjawab.

Bibi Emma dengan sabar mengajak Viania berbicara, gadis itu sebelumnya tak pernah seperti ini. Ia mengelus surai rambut Viania, dan tersenyum.

"Bibi akan menyisirnya ya?" Bibi Emma bangun, berjalan menghampiri meja rias yang ada disebelah kasur, membuka setiap laci mencari sisir kecil yang selalu ia gunakan untuk menyisir rambut Viania sejak kecil.

"Bibi menemukannya, sisir yang bibi belikan saat ulang tahun ke-4 mu." Bibi Emma tersenyum, ia kembali duduk di sebelah Viania yang sibuk dengan pikirannya sendiri, ia mulai menyisir rambut Viania yang masih sedikit basah.

"Setelah ini ganti pakaian dan berangkat sekolah ya?" Bibi Emma mencoba mengajak Viania berbicara lagi.

"Aku tidak mau, aku tidak mau sekolah Bi. Aku mau di rumah hari ini, aku ... aku mau dirumah." Viania tak menoleh tapi ia menolak ajakan Bibi Emma.

"Baiklah-baiklah, kau akan dirumah untuk hari ini." Bibi Emma kembali menyisir rambut panjang Viania.

"Dulu Bibi selalu menyisirmu seperti ini bukan? Kau masih sangat kecil saat itu, kecil dan rapuh. Dan kau juga sangat cengeng, selalu mengadu pada bibi saat paman Andrian mengganggumu." Viania berbalik, ia menatap Bibi Emma lekat.

"Bi? Apa semalam ada suara berisik yang bibi dengar dari kamarku?"

Viania menatap Bibi Emma, menanti was-was jawaban dari wanita seumuran ibunya itu.

"Tidak, tidak ada yang aneh, semuanya kelihatan baik-baik saja. Apa ada masalah yang menimpamu?" Bibi Emma balik bertanya.

"Tidak, tidak ada. Aku ingin sendiri Bi dan tolong makananku dibawa ke sini saja dan apakah papa dan mama akan pulang hari ini?" Tanya Viania.

"Tidak Nona, mereka bilang akan kembali beberapa hari lagi, urusan Tuan dan Nyonya masih belum terselesaikan." Jawb Emma.

"Baiklah." Viania menundul sedih.

Bibi Emma berdiri dan keluar dari kamar itu, ia ingin mengambil sarapan pagi untuk Viania.

Sepeninggal Bibi Emma, Viania kembali melamun, kembali ke dalam pikirnanya. Suara deting jam menjadi pengisi dalam ruangan, Viania berdiri, mendekat ke arah jendela kamarnya.

"Aku milikmu." Suara itu berhembus tepat ditelinga Viania.

Viania berbalik, melihat kebelakang, tak ada siapa pun, tapi suara itu terasa diucapkan tepat di telinganya dan dia juga merasakan deru nafas di leher jenjangnya.

"Nona Viania, ini sarapanmu." Bibi Emma masuk membawa makanan yang dipesan oleh viania.

Gadis itu menoleh dan menatap Bibi Emma  ia tersenyum, "terima kasih Bi." Viania mendekat dan mengambil makanan yang disajikan di troli yang dibawa Bibi Emma.

Viania makan dengan lahap, sendokan demi sendokan ia masukkan ke dalam mulutnya, rasa makanan yang pedas dan manis bercampur dalam mulutnya.

"Ini enak Bi, Viania suka." Viania tersenyum dan terus memakan makanannya.

Viania meletakkan sendoknya, ia selesai dengan makanannya. Viania menatap Bibi Emma, "Aku selesai Bi."

Bibi Emma tersenyum, mengampil piring yang ada dipangkuan Viania.

"Tidurlah, Bibi akan meminta izin ke sekolahmu, kau sedang pusing kan? Istirahatlah, nanti siang Bibi mengantar makan siang dan menemanimu." Bibi Emma membantu Viania berbaring.

Sekilas Manik mata Bibi Emma melihat sebuah tanda merah di perut Viania saat bajunya tersingkap singkat tadi, ia menatap wajah manis gadis itu kasihan.

"Malangnya nasibmu nak," Bibi Emma mengecup dahi Affry dan membenarkan selimut Viania. Ia keluar dari kamar itu dan menutup pintu perlahan.

Viania membuka matanya, ia melirik sekitar, "apa kau di sini?" Tanyanya.

Tak ada suara, hening yang ia dapat. Viania tersenyum, "sudah kuduga itu halusinasi."

"Itu bukan halusinasi Viania."

Viania terkejut, ia bangun dan menatap sekitarnya, kini ia takut kembali. Ia bangun dan berlari keluar dari kamar itu.

"Bibi Emma!" Panggilnya.

Viania menuruni anak tangga terburu-buru sampai ia tak sadar kakinya terpeleset di anak tangga yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan dan berakhir terjatuh.

Bruk

Tubuhnya berguling di setiap anak tangga, Viania terjatuh dan wajahnya berhasil mencium lantai marmer rumahnya.

"Nona!" Paman Andrian melihat Viania terjatuh, pria paruh baya itu langsung mendekat dan membantu Viania. Ia membalikkan tubuh tengkurap Viania, dan histeris saat melihat Viania pingsan.

"Emma! Emma!" Panggilnya.

Emma berlari mendejat saat mendengar teriakan paman Andtian dari ruang tamu, ia terkejut melihat kondisi yang ia lihat, nona yang ia sayangi tengah pingsan dalam keadaan berdarah.

"A-apa yang terjadi?" Bibi Emma kaku.

"Bantu aku, kita harus membawanya ke rumah sakit." Bibi Emma mengangguk, ia berlari keluar dan membuka pintu mobil, paman Andrian datang dengan Viania dalam gendongannya.

Bibi Emma masuk menjaga Viania di belakang mobil sedangkan Paman Andrian memasuki mobil dan menjalankannya, ia mengemudi diatas kecepatan normal, rasa khawatirnya memuncak saat melihat wajah polos itu dalam keadaan yang buruk.

Mobil sampai di rumah sakit, paman Andrian memanggil perawat yang sedang berjaga pada jam itu, paman Andrian berlari membuka mobil dibantu dengan Bibi Emma.



Jangan lupa vote:") aku butuh vote anda dan jan jadi silent rider. Pliss jan ikuti jejak gua😭😂

Fall In Love With MonstersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang