Bab2: Senja

37 6 3
                                    

Hallo, jangan lupa ya buat support! Vote, komen, dan share ya :)
Lupyuu gaes❤😂
Makasih ya, bagi yang udah mampir ke cerita yang kesannya ga ada, typo bertebaran, dan alurnya pun kaga ada jelas"nya.

Happy Reading✨

_____________
| Bab2: Senja |
______________

Siang sebelum bertemu malam, akan bertemu dengan senja terlebih dahulu. Pergantin waktu saja ada prosesnya, sama halnya dengan rangakain kehidupan. Sukses, sebuah kata yang butuh pengorbanan untuk menggapainya. Bukan hanya pengorbanan semata melainkan proseslah yang paling utama. Masalah cinta pun sama.

Hubunganku bersama Zaki telah mencapai tahun ke-dua. Banyak hal yang telah kami lalui. Bosan(?) Sama sekali tidak. Kenapa harus bosan, jika senja saja tidak bosan berada diantara siang dan malam. Kita sudah menjalani banyak hal.

Saat ini, aku masih berada di kantor. Berdiri menghadap jendela menikmati senja. Sesekali memejamkam mata dan menarik napas. Berharap, semua penat dan beban bisa menghilang.

“Luna, senjanya cantik. Paduan warnanya begitu indah. Sama seperti dirimu yang selalu mempersona.” Zaki memelukku dari belakang secara tiba-tiba.

“Hai, sejak kapan berada di sini?” Aku membalikkan badan mengahadapnya.

“Baru kok,” ucapnya tersenyum manis. Sangat manis seperti madu.
Aku mengusap wajahnya yang penuh peluh. Terlihat jelas, dirinya sedang kelelahan. Aku mangajaknya untuk duduk di sofa yang terletak di sebelah kanan meja kerja. Aku duduk di samping kiri lengannya.

“Lun, lusa temanku kembali.”

“Kembali?” tanyaku.

“ Iya, dia temanku dari kecil. Selama ini dia tinggal di Jerman. Apa dia masih menganggapku teman?”

“Aku ga tahu, tapi berprasangka baik saja. Okey?”

“Okey, ya udah pulang dulu yuk.”

Zaki mengantarku kembali ke rumah. Saat ini, aku telah mengontrak rumah sendiri. Tidak lagi bersama Dinar. Ya, tahu sendiri kan? Tinggal bersama orang lain dalam waktu yang lama akan menimbulkan rasa sungkan atau tidak enak hati.

Aku duduk di bangku panjang yang ada di depan rumah. Aku menatap gemerlapnya bintang yang bertaburan di atas sana. Indah, dan menakjubkan ciptaan Tuhan.

Aku berdiri melangkahkan kaki menuju dapur—setelah cukup lama duduk di teras—untuk membuat kopi panas dan memasak mie instan.

"Jangan tidur terlalu larut."

Aku menaruh handphone di meja dekat rak piring. Masih enggan untuk membalasnya.

"Aw, panas," rintihku ketika cangkir putih itu pecah oleh air panas yang baru mendidih mengenai pergelangan tanganku.

Segera mungkin aku mengguyur dengan air kran yang mengalir. Beruntung tidak melepuh. Aku membereskan pecahan cangkir yang berserakan di lantai. Termasuk mengepel air kopi yang masih mengeluarkan uap.

Setelah selesai berbenah dapur, aku menyantap mie instan yang telah aku masak. Saking lamanya tak disantap, mie-nya sampai mbededek.

Detik TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang