3. Gadis Hujan

0 2 0
                                    

Gray akan diambil.

Tara mematung di depan pintu kamar, menunduk. Meskipun sejak awal berniat mencari pemilik aslinya, namun hati kecil Tara berharap sebaliknya. Dalam diri yang sesungguhnya, sebagai Voltaire, Tara hanya inginkan teman. Namun temannya akan kembali ke rumah awal.

Tara mengambil napas manual lalu membuka pintu. Diambilnya kucing abu-abu yang lelap dalam tidur di atas ranjang, seolah menggantikan kegiatan sehari-hari Sang Majikan Sementara.

"Gray, ayo keluar!"

Di luar rumah, gadis pemilik Gray masih berdiri anteng bersama pamflet di tangan. Dia enggan diajak masuk atau duduk di teras sebab takut terjadi sesuatu. Wajar, anak gadis jaman sekarang memang sudah sepatutnya diautopilot agar waspada dengan orang yang baru dikenal, jadi Tara tak mempermasalahkan itu. Toh dia juga tidak berniat mempertontonkan keadaan rumahnya pada orang lain.

"Ah, Gray!" katanya saat melihat Tara melewati pintu.

Kernyitan di kening langsung timbul akibat panggilan tak asing. "Gray?" Tara bertanya.

Sachika mengangguk. "Karena warna bulunya." Tangan dengan bekas cakaran terulur untuk mengambil kembali hak milik.

Hati kecil Tara tertegun, menatap Si Mata Heterokrom yang sudah bangun akibat pindah posisi. Meski begitu, Tara bersikap biasa saja, enggan menginfokan kalau dia pula memanggil kucing orang lain dengan nama itu. Kesannya nanti lancang.

Wajah Sachika terlihat panik secara bertahap ketika ditatap. Suaranya yang pelan keluar mengundang lagi kernyitan halus pada kening Tara. "Aku enggak bawa uang atau semacamnya, mungkin lain kali aku bakal datang ke sini untuk ngasih imbalan. Jadi, untuk sekarang maaf, ya. Tapi, makasih udah—

"Eh? Imbalan?" Otak yang tak terlalu berbobot agak lambat memroses ucapan.

Sachika mengangguk, menyerahkan satu lembar pamflet. Di sana jelas tertera barang siapa yang menemukan Gray akan diberi imbalan pantas.

"Enggak perlu," tolak Tara tegas.

"Eh?"

"Enggak perlu."

"Tapi—

"Hampir malam, mending kamu pulang." Cara mengusir yang jelas kentara ini berupa spontanitas lantaran mata meneropong semburat jingga nyaris hilang tertelan malam.

Sachika mengangguk lagi, kebetulan dia tidak berencana menginap. Suara pelannya kembali terdengar kala mengucap terimakasih. Kaki dengan sepatu putih menjauh, kemudian sosoknya hilang saat berbelok.

Dalam semrawut pikiran Tara, Gray sudah jelas tidak akan kembali. Teman Voltaire memang hanya berupa atmosfer sepi, tidak ada kemungkinan untuk bertambah bahkan berubah.

Tara buru-buru masuk kamar, melepas kacamata lalu menurunkan poninya, kembali menjadi Volt yang menginginkan teman bicara. Malam ini dia harus kembali berpartner sepi. Bahkan dengan bayangan kening sebelah kanan Lyra yang tersundut rokok, dia harus memaksakan mata terpejam.

Tak masalah, hanya untuk malam ini.

Karena keesokannya, pukul setengah tujuh pagi, gadis hari lalu kembali datang ke rumah Tara sambil membawa Gray.

"Sejak awal aku udah tau kalau ini susah," lirih gadis itu sambil menyodorkan Gray pada Volt.

Volt tahu apa yang dibicarakan. Beberapa plester di tangan menjadi petunjuk, sedangkan hewan yang disodorkan menjadi penguat. Hati-hati diambilnya Gray dari Sachika. Volt baru menyadari, dirinya amat sial akibat menemui orang lain dengan sosok tak mahir sosialisasi.

"Ini ... " Lidah Volt kelu.

"Kamu yang rawat, Tara. Aku enggak bisa," paparnya. Tangan bersembunyi di balik tubuh, dikiranya Volt belum melihat plester yang membalut.

VOLTAIRE [Born to Fly]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang