Satu💔

49 6 0
                                    

Terlihat seorang gadis yang sedang duduk sendirian di balkon kamarnya, gadis itu adalah Tia.

Velly Cintia Anantasha gadis yang selalu terlihat ceria, namun memiliki banyak masalah selama 8 tahun belakangan ini.

***

'Ya Allah apa aku nggak di takdirkan untuk bahagia?'

'Kapan aku merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku ya Allah?'

'Kenapa aku di benci?'

Beribu pertanyaan yang saat ini ada di fikiran Tia, dan di urungkan niatnya untuk menunjukannya kepada orang lain.

Entahlah, baginya ini adalah aib keluarganya, yang tak perlu ada orang lain yang mengetahuinya.

"Non Velly makan dulu yuk," terdengar suara seorang wanita yang sedang memanggil nama Tia dengan sebutan Velly.

"Nggak bu, Velly nggak mau makan," teriak Tia.

Yah memang sejak 8 tahun terakhir ini orang tua Tia tak ada yang mengizinkan siapapun orang memanggilnya dengan sebutan Velly, tapi ART di rumah Tia sudah sangat terbiasa memanggil Tia dengan sebutan Velly.

"Bi, kan saya sudah bilang, jngan pernah panggil anak sialan itu dengan nama VELLY," terdengar perdebatan di balik pintu kamar Tia.

Perdebatan antara Mama Tia dan ART yang sudah menganggap Tia sebagai anak kandungnya.

"Tapi nyonya, bukannya namanya memang Velly."

"Nggak, mulai sekarang namanya adalah Tia, di rumah ini nggak ada nama orang yang bernama Velly, karena Velly anak saya udah nggak ada."

'Deg'

Mendengar ucapan Mamanya, hati Tia bagai di sayat seribu pisau.

"Apa Mama sebenci itu sama Velly? tapi kan semua itu nggak ada sangkut pautnya sama Velly Mah!" lirih Tia yang berada di dalam kamarnya dengar air mata yang sudah membanjiri pelupuk matanya.

"Oke mulai sekarang nama Velly udah nggak ada, dan mulai sekarang Velly itu udah terkubur dalam, dan sekarang yang ada hanyalah Tia, Cintia Anantasya nama Velly udah di hapus dari nama tersebut," gumam Tia sambil menghapus air matanya dengan kasar.

"Istigfar Nyonya, walau bagaimanapun non Velly itu adalah anak Nyonya, anak dari bapak Prass Wibowo dan ibu Sinta Bella," ucap ART tersebut dengan lembut.

"Nggak Bi, sampai kapanpun anak saya udah nggak ada lagi, kedua anak saya udah nggak ada dan itu semua karena anak sialan itu," ucap Sinta dengan penuh penekanan serta amarah yang meledak, dan meninggalkan Art tersebut sendirian di depan pintu kamar Tia.

Sedangkan Tia yang mendengarnya terus menitihkan air mata, walau bagaimanapun dia tetaplah ibunya, ibu yang sudah rela mempertarukan nyawanya demi membantunya untuk bisa melihat dunia yang begitu kejam ini.

"Mah itu semua nggak ada sangkut pautnya sama Tia," ucap Tia yang sudah menangis sesegukkan.

"Bang kenapa sih Abang harus ninggalin Rumah? Tia di siksa Bang, Tia selalu di perlakukan layaknya sampah yang menumpang untuk berteduh, kenapa Bang? emang Tia punya salah apa sama Abang? kalau aja Abang nggak ninggalin rumah mungkin nggak akan gini Bang, bang Vero pulang yah," kini Tia telah menangis sejadi - jadinya.

***

"Dek Abang pergi dulu yah, abang mau nemenin oma sama opa di paris, oh iya abang janji abang bakalan pulang kok," ucap seorang lelaki tampan yang umurnya masih delapan tahun dengan koper yang sudah berada di tangannya

Aditia (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang