Saat ini Tia sudah berada di rumahnya sekitar beberapa jam yang lalu, jam sudah menunjukan pukul 20:22 tapi Tia masih setia menonton Tv dan menunggu kedatangan kedua orang tuanya.
Ceklek!
Pintu utama terbuka dan menampilkan sosok wanita setengah baya berdiri menatap tajam ke arah Tia yang sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
"Aku ini anak siapa sih? mama cantik, papa tampan, dan kak Vero pun tampan, masa cuma aku seorang sih yang nggak ada nular apapun dari orang tua aku, apa mungkin aku anak pungut," batin Rahma kini berbicara serta bertanya - tanya, pasalnya kedua orang tuanya serta abangnya memiliki fisik yang bisa di bilang sempurna, sedangkan dirinya benar - benar jelek.
"Ma, Tia mau ngo-" ucap Tia terpotong.
"Jangan pernah panggil saya Mama, bagus deh kalau kamu tau diri dengan mengganti nama kamu dengan nama yang nggak ada di anggota keluarga saya," ucap Sinta tajam dan dingin.
"Ma ... Tia nggak sala ma, Tia juga tersiksa atas perlakuan mama dan papa, kalau aja bang Vero nggak ker-"
"Udah stop yah, sekali lagi kamu manggil saya mama, saya kurung kamu di kamar nggak bakalan daya kasih makan," ucap Sinta tegas.
"Tap-"
"STOOP! kalau saya bilang stop yah stop, anak saya nggak pembangkan seperti kamu," ucap Sinta setengah emosi.
"Makasih ma," ucap Tia tersenyum lebar, walaupun mamanya emosi tapi secara nggak langsung mamanya telah menyebut dirinya itu adalah anaknya selama delapan tahun belakangan ini yang sudah tak pernah di anggap ada.
Tersadar atas apa yang di ucapkannya, tiba - tiba dia langsung melangkah begitu saja meninggalkan Tia yang sedang tersenyum lebar menatap kepergiannya yang sedang menaiki tangga menuju kamar, tapi saat dirinya telah berads di tengah tangga tiba - tiba Tia berbicara.
"Ma ... Tia lulus, dan Tia dapat nilai terbaik di sekolah, aku harap mama mau menepati janji mama sewaktu aku masih berumur enam tahun, waktu mama bilang kalau nanti aku lulus SMP dengan nilai paling terbaik mama bakalan daftarin aku ke sekolah yang pernah aku kagumi," ucap Tia setengah berteriak.
Mendengar ucapan Tia, tiba - tiba saja Sinta langsung berjalan begitu saja, karena menyadari ternyata langkahnya tadi terhenti sejenak, dan terukir sebuah senyuman yang sangat tipis di bibirnya.
"Sebenci apapun mama sama kamu Vel, kamu tetaplah anak mama dan mama akan tepatin janji mama, tapi maaf bukan mama pengen nyiksa kamu tapi mama hanya ingin kammu merasakan apa yang di rasakan oleh kakakmu yang hidup tanpa belaian kasih sayang orang tua, walaupun mama tau pasti kakakmu di sana mendapatkan kasih sayang lebih dari oma dan opa," gumam Sinta lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Saat Sinta telah masuk ke kamarnya, akhirnya Tia pun menaiki tangga dan segera masuk ke kamarnya, setelah sampai dia segera berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil sebuah buku yang terdapat slot serta kunci slot tersebut di dalam sebuah kardus, dirinya ingat kalau buku ini adalah buku pemberian abangnya saat dia ulang tahun yang ke lima tahun, dan terdapat sebuat kertas di dalam kardus tersebut.
'Hay dek abang, selamat ulang tahun yah, ini abang ngasih kamu buku buat kamu bisa curhatin semua perasaan kamu ke dalam buku ini jikalau suatu saat nanti abang nggak ada di samping kamu, happy birthday to you my sister'
Itulah isi kertas tersebut, dengan tulisan yang acak - acakan karena saat itu Vero masih berumur enam tahun lebih, buku ini pun telah menjadi sahabat Tia saat dirinya berusia delapan tahun,
***
Dear diary
Hai sahabat, malam ini aku curha lagi yah,
KAMU SEDANG MEMBACA
Aditia (On Going)
Random*** "Dit ... Tia suka sama Adit, Adit mau nggak jadi pacar Tia?" tanya Tia antusias. "Heh lo bego atau bodoh sih? oh iya gue lupa kalau lo itu udah bodoh di tambah lagi ama bego," maki Adit dingin serta kata - kata kasar yang menusuk hati Tia. "Tapi...