Adam

37 5 59
                                    

Killa merasa ada yang masalah yang tengah menimpa Adam. Lagian ia lihat sendiri mata Adam yang berkaca-kaca tadi sebelum mereka tampil di panggung. Tak sengaja juga Adam mengatakan kalau ia memang sedang ada masalah.

"Gue penasaran jadinya malah, kan!" katanya sambil mencopot sepatutnya dan menaruhnya di rak.

"Tapi ya udah gue turutin kata Adam aja, deh. Dari pada gue gila," ucapnya kemudian. Rasa lelah berhasil membuat apa yang tadinya ia pikirkan hilang.

***

"Papa tuh egois." Adam mengatakannya pada papanya yang berdiri di depannya berkali-kali.

"Papa bukan egois. Papa cuma mau yang terbaik buat kamu. Papa cuma mau kamu punya pekerjaan yang layak, supaya kamu nggak kesusahan  nantinya."

"Tapi aku punya hak buat nentuin mau jadi apa aku ini, Pa."

"Saya ini orang tua kamu, Adam. Orang yang udah ngerawat kamu dari kamu lahir, yang merawat kamu sehingga kamu jadi sebesar ini. Saya orang tua kamu, apa kamu mau jadi anak durhaka? Ngelawan keinginan orang tua?!"

"Aku bukan mau jadi anak durhaka. Tapi aku cuma menyerukan keinginanku. Karena nanti yang ngejalanin ini semua ini kan aku! Aku, Pa! Papa bilang ini buat masa depan aku, tapi aku punya hak untuk menentukan jadi apa aku nanti. Pa, tolong buka hati nurani papa, Naila sampe mengorbankan dirinya karena dia memperjuangkan keinginannya. Pa, tolong buka hati nurani papa, tolong ngertiin keinginan aku."

"Nggak."

"Pa!"

"Nggak, Adam!"

Adam merasakan lukanya terbuka semakin lebar. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Apa yang harus ia lakukan? Ia menoleh pada mamanya yang berdiri di sampingnya. Meminta dengan sorot matanya, berharap wanita itu mau mengerti keinginannya.

"Turuti apa kata papa kamu, Adam," ujar wanita itu.

"Nggak akan!" Adam marah semarah-marahnya. Hatinya sakit, sangat sakit. Bahkan dengan kematian Naila pun belum, bisa membuat kedua orang tuanya berubah pikiran.

"Inget ini, baik-baik ma, pa, aku cinta dunia musik secinta aku sama kalian, sama orang-orang yang aku sayangi. Aku bukannya melawan kalian, tapi aku cuma ingin kalian tau, aku punya cita-cita, keinginan sendiri untuk jadi apa aku nanti," katanya sambil menatap mata kedua orang tuanya bergantian.

"Itu keinginan kamu? Kalo begitu kamu tidak saya anggap anak lagi. Kamu mau?" Pertanyaan itu membuat Adam kehilangan kata. Ia tak menyangka. Se-egois itu orang tuanya.

"Baik," kata Adam. Karena baginya, menyerah tidak ada dalam kamus hidupnya. Perjuangan yang ia lakukan terlalu banyak. Mungkin, memang ini jalannya.

Perang yang ia lakukan dengan kedua orang tuanya beberapa hari ini tak menghasilkan apapun. Tak ada yang berubah. Dan kini malah menjadi makin parah.

Ini masalah yang ia pikirkan sewaktu acara ultah sekolah kemarin. Ia sedih. Sedih karena tidak bisa membuat Naila yang telah berpulang senang karena berhasil membuat kedua orang tuanya menuruti keinginannya.

Ia sedih, karena hatinya dan hati orang tuanya tak bisa menyatu untuk memutuskan suatu perkara.

Ia sedih. Ia sedih karena harus menentang kedua orang tuanya.

Adam berbalik, dan berjalan keluar dari rumah kedua orang tuanya.
Dengan hati remuk redam, dan luka besar di dadanya yang teramat sakit, padahal tak berdarah.

***

Di dalam kontrakannya, Adam mengulang-ulang kembali kalimat neneknya.

"Nenek akan selalu dukung kamu, Adam. Nenek yang akan mendukung kamu sampai kamu menjadi orang yang kamu inginkan."

Killa dan Adam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang