"Oke, udah bagus, ya, pertahankan! Tinggal menghitung hari menuju hari besar kita. Kalau begitu, latihannya sampai di sini dulu. Kalian bisa istirahat sekarang." Bu Hani segera keluar dari ruang latihan.
Sandrina dan yang lain segera keluar dari ruang latihan karena mereka harus mendekor ruang kelasnya agar bisa menarik perhatian kepala sekolah dan menjadi ruang kelas panutan yang bisa ditampilkan dalam Book of Year tahun ini.
Sebuah gagasan muncul dalam benaknya tatkala sedang berlatih peran tadi. Sandrina mengatakan pada teman-teman teaternya dan mereka setuju.
Istirahat kedua telah tiba, dan para murid sedang mendekor kelas dengan apik."San, ada lakban nggak? Atau nggak selotip, deh." Rendi memasang balon kecilnya di atas, tempat lampu.
"Bentar." Sandrina langsung mencari dan tidak menemukannya di kantong plastik. "Nggak ada, Ren," Jawabnya setelah mengubek-ubek Tidak cukup hanya sampai di sini.
Rendi langsung menatap Andi yang berdiri di bawahnya. "Ndi, bisa minta tolong pergi ke kantin minta lakban atau selotip ke mang Jafar, nggak?"
Mang Jafar adalah salah satu pedagang kantin yang akrab dengan Rendi atau Andi. Tanpa menunggu lama, Andi langsung menjawabnya, "Berangkaaatt...." Andi menatap Sandrina. "San, pegangin sini bentar!" pinta Andi untuk memegang tangga besi lipatnya.
"Gue aja, Ndi, yang ke kantin minta lakban." Sandrina langsung menatap Rendi. "Satu, kan, Ren?"
"Ya kali minta dua, San. Buat apaan coba banyak-banyak?"
"Gue ikut, San." Indri langsung memeluk lengan Sandrina dan melangkah meninggalkan kelas.
Mungkin terlalu lama di kelas atau bagaimana, bisik-bisik tentang video tempo hari yang dikirim di grup sekolah itu masih didengarnya. Ada salah satu murid kelas sebelah bertanya pada Sandrina, "Sandrina yang di video itu, ya? Cantik, sih, tapi, kok, pengganggu hubungan orang?"
"Tutup, ya, mulutnya! Jangan nyinyir, deh, kalo nggak tau yang sebenarnya." Indri terlihat emosi menanggapi nyinyiran teman sekolahnya.
"Udah biarin aja, Ndri! Nggak usah ditanggepin." Sandrina menarik lengan Indri yang sudah melangkah di depan murid yang bernama Tere itu.
"Bilang aja emang iya, makanya nggak mau mengkonfirmasi atau ngasih tanggapan omongan kita-kita."
Masih saja mengajak ribut dengan Sandrina, cewek itu semakin menyulut emosinya. Sandrina ingin diam saja, tidak penting menanggapi rumor yang tidak penting untuknya. Tapi, semakin didiamkan semakin penikmat gosip itu meminta perhatiannya.
Anggap saja seperti itu. Sandrina menjadi artis dadakan yang namanya semakin melambung berkat Arel yang mengungkapkan isi hatinya dulu.
Tepat di hadapan Tere, Sandrina memengang dagu cewek itu sambil mengucap lima kata yang membuat Tere terdiam. "Mulutnya tolong disekolahin lagi, Say!"
Selepas mengucapkan lima kata itu, Sandrina langsung menggandeng tangan Indri yang masih menertawai Tere. "Ahahaha ... makanya, dipikir dulu kalo mau ngomong, Say." Indri langsung menghadap Sandrina dan melanjutkan ucapannya, "ton."
Tere terlihat kesal dan marah atas perbuatan Sandrina. Ia tidak menyangka akan mendapat balasan yang membuatnya terdiam. Biasanya, Sandrina tidak akan menanggapi apa pun gosip beredar atau penggosip yang meminta perhatiannya.
Kali ini berbeda, ini masalah harga diri Sandrina. Yang semakin didiamkan, dirinya akan semakin diinjak dan menjadi sasaran empuk para penggila Arel dan pendukung hubungan Arel Deandra. Ia tidak akan diam saja.
"Mang, punya lakban, nggak?" Sandrina berdiri di depan warung mang Jafra dan Indri di sebelahnya melihat sekeliling.
"Lakban? Punya kayaknya, bentar saya cari dulu." Mang Jafra mencarinya ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Liar
Teen FictionBerhadapan dengan saudara sepupu itu bisa menjadi Tuan sekaligus budak bagi Sandrina. Dirinya terlalu baik hati saat sepupunya, Deandra meminta dirinya sebagai tukang pos untuk seseorang yang juga dicintainya. Bisakah Sandrina mendapatkan Arel, atau...