Panas matahari membuat Sandrina mengipaskan tangan pada lehernya. Bukan hanya Sandrina, tapi juga teman-teman yang lain yang melakukan olahraga pagi ini.
Di bawah sinar terik, semangat membara para murid masih terlihat seperti akan menuju medan perang. Ada yang mencoba men-drible bola untuk dimasukkan ke ring, ada juga yang mencoba saling berebut bola layaknya pebasket andal yang sedang main siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Sandrina dan Indri berteduh di bawah pohon rindang, menikmati semilir angin sepoi-sepoi dari dahan yang tertiup angin untuk menantikan giliran mencetak poin dengan memasukkan bola basket ke dalam ring.
Hari ini pengambilan nilai untuk olahraga basket, dengan mencetak poin ke dalam keranjang gawang. Penilaian masing-masing ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana anak didik Pak Baru memahami olahraga basket.
“Shei, tolong perhatikan saya!” perintah Pak Baru menginterupsi Sheina agar memperhatikannya dalam melemparkan bola ke ring. Sejak tadi, Sheina belum memasukkan bola satu pun meski sudah berlatih selama setengah jam.
Sheina menghentikan drible-nya, lalu menghadap Pak Baru yang terlihat mengambil pemanasan sebelum melayangkan bolanya ke ring. “Siap, Pak.” Semua murid melihat Pak Baru yang berdiri di depan ring basket.
“Perhatikan, semuanya! Pertama, untuk pemanasan kita harus men-drible bolanya. Kedua, posisikan tangan kiri di bawah menahan bola, tangan kanan di atas memegang bagian atas, dengan posisi tangan seperti sudut siku seperti ini, ya! Lalu ayunkan bolanya hingga posisi terbalik, yang kanan di bawah, kemudian saat akan memasukkan bola dari samping, pantulkan bolanya ke papan kotak, agar bisa masuk ke dalam keranjang ring! Mengerti?”
“Mengerti, Pak,” jawab semua murid yang berdiri mengelilingi lapangan basket.
“Coba lagi!” Pak Baru melemparkan bolanya pada Sheina, dengan sigap dia menangkap bola itu.
Percobaan pertama, belum masuk ke keranjang ring. Pak Baru terfokus pada ponselnya karena ada panggilan masuk. Sheina terlihat aman karena tidak akan ditegur oleh gurunya. Dia memang lemah dalam olahraga, tapi dalam fashion, dia adalah ratunya.
Percobaan ke empat, masih juga gagal. Sandrina geregetan dengan temannya satu ini. “Gue ke sana dulu, Ndri.” Sandrina memasuki lapangan basket meninggalkan sahabat dari SMP-nya itu sendirian.
“Shei, harus dipantulin ke papan gawang biar masuk. Sini pinjem bolanya, gue contohin!” Sheina memberikan bolanya ke Sandrina.
“Gue emang lemah di olahraga, San. Tapi gue ahli di bidang fashion. Lo tau, ‘kan? Baju-baju gue yang keren dan keluaran terkini? Pasti lo nggak tau, ya?”
“Gue emang nggak tau, dan nggak mau tau. Yang penting sekarang adalah nyelamatin nilai lo dari Pak Baru, okey?” Sandrina mempraktikkan gerakan yang dicontohkan gurunya tadi. “kayak gini, ya! Terus lo pantulin ke papan, biar bisa masuk ke gawang! Gampang, ‘kan?” Sandrina menoleh, melihat Sheina yang sedang kipas-kipas manja seperti orangnya di depan gawang basket.
“Lo bilang gampang karena lo udah mahir olahraga basket, lah, gue?” Sheina mengambil bolanya dari tangan Sandrina, lalu menggerutu sendiri. “Udah tau gue nggak bisa olahraga, masih aja disuruh olahraga. Panas, haus, keringetan. Kenapa, sih, harus ada pelajaran olahraga?”
“Karena hidup juga butuh peregangan, butuh olahraga biar hidup kita sehat.” Arel baru tiba dan langsung merebut bola yang dipegang Sheina, lalu dimasukkan ke gawang basket.
Olahraga kelas 10 IPS1 yang merupakan kelas Sandrina berbarengan dengan kelas 11 IPA3, kelas Arel. Olahraga yang dilakukan kelas Arel adalah lari jarak jauh, yang merupakan tempatnya berada di sebelah lapangan basket. Arel langsung menuju lapangan basket saat kelasnya telah usai pengambilan nilai, melihat Sheina sedang berdua dengan Sandrina membuatnya menghampiri mereka.
Seperti mendapat undian berhadiah, Sheina dibuat ternganga melihat Arel datang ke lapangan basket. Dirinya langsung senyum-senyum dan merapikan penampilan juga rambutnya.
“Kak Arel, ajarin masukin bola ke ring, dong. Gue nggak bisa.”
“Dandan mulu, sih, lo,” ucap Arel, lalu dia mengambil bola basketnya lagi dan memasukkannya lagi. “Udah, ‘kan? Gue ada urusan sama Sandrina,” sambungnya. Sheina terlihat mengerucutkan bibirnya mendapat komentar begitu dari Arel. Tapi, itu tidak mematahkan semangatnya untuk mendapat perhatian darinya. Arel terlihat menghampiri Sandrina yang berjalan ke tepi untuk kembali di sebelah Indri.
“Matahari!” panggil Arel dengan semangat. Sandrina tidak menengok, atau mengacuhkan panggilan yang bukan namanya.
“My Sun,” ulangnya. Tangan Sandrina ditarik dari belakang hingga si empunya tangan kaget, dan mengibaskan tangannya memukul Arel. “Astagaaa....” Arel mundur satu langkah untuk menghindari pukulan Sandrina.
“Apa-apaan, sih? Bikin kaget aja. Kenapa? Manggil nama gue, ‘kan, bisa!” protes Sandrina, tangannya berada di atas kepala menutupi sinar matahari.
“Lo dipanggil Matahari nggak nengok, dipanggil My Sun nggak nengok juga. Panggilannya San, San bacaan dari Sun, matahari, ‘kan? Kenapa nggak nengok?”
Tanpa menjawab ucapan ngalor-ngidul Arel, Sandrina bertanya, “Kenapa nyari gue?”
“Duduk dulu, yuk! Panas,” ucapnya sambil menggandeng Sandrina ke tepi, dekat dengan Indri.
“Semalem gue ke rumah lo, tapi sepi. Kata pembantu lo, lo lagi keluar sama nyokap lo.” Arel duduk, menatap Sandrina yang melihat ke lapangan basket. Tangannya mencabuti rumput yang tumbuh liar di sana.
“Gue udah bilang, ‘kan, kemarin sama lo. Kalo gue mau keluar sama nyokap. Ngapain dateng ke rumah gue? Bukannya lo harusnya ke rumah Sheina sama Deandra, ya? ‘Kan, mereka yang ngasih lo surat. Nggak liat tadi muka Sheina gimana pas lo dateng?”
“Nggak peduli sama ratu fashion gue, yang gue peduliin cuma lo doang.”
“Gue nggak peduli. Gue mau ke lapangan dulu.” Sandrina berdiri, dan mengajak Indri ke lapangan. Mereka berdua berjalan ke lapangan, mengabaikan ucapan Arel yang mengatakan jika dia akan mengantar pulang saat pulang dari Teater nanti.
“San, apa yang diucapin Arel kayaknya beneran, deh. Dia suka sama lo, bukan sama Deandra, sepupu lo itu, apalagi sama Sheina. Bukan tipe dia banget,” tuturnya pelan saat menuju lapangan.
“Gue udah dipercaya Deandra kalo gue bisa bikin dia jadian sama Arel. Gue nggak suka ngelanggar janji. Dan inget, gue juga nggak suka sama Arel.”
“Sekarang bilang nggak suka, ntar tau-tau nyesel kalo Arel jadian sama sepupu lo. Kadang yang terucap dari mulut berlawanan sama hati.”
“Sok tau lo.” Sandrina tersenyum sambil memukul lengan Indri pelan.
“Ayo, sekarang pengambilan nilai, ya! Absen pertama, Andi Firmansyah!” panggil Pak Baru yang sudah berdiri di depan ring.
Pengambilan nilai berlangsung tertib dan ada beberapa murid yang harus remedi karena tidak bisa memasukkan bola ke dalam ring, termasuk Sheina. Meskipun sudah beberapa kali latihan, dirinya tidak bisa memasukkan bola. Baru memegang bola saja, tangannya sudah mengadu karena terlalu berat.
“San, ntar bilang sama Kak Arel kalo gue mau belajar basket sama dia, ya!” Mereka kembali ke kelas untuk berganti seragam.
“Kenapa nggak WA sendiri? Lo bukannya udah WA-an sama dia?”
“Kalo lo yang bilang pasti dia mau. Lo, ‘kan, pasangannya dia di Teater. Ingat, ya, di Teater doang, bukan di reallife. Kalo reallife, dia jodohnya gue.” Penekanan dalam kata jodoh terdengar seperti tidak ingin barang miliknya akan direbut oleh orang lain.
“Hem.”
Pelajaran berganti, kini semua murid sedang di toilet untuk berganti baju. Seragam berwarna coklat susu berpadu dengan bajunya berwarna putih dengan dasi pendek untuk cewek, dan dasi panjang untuk cowok.
Sandrina mendengar bisik-bisik dari bilik toilet namanya disebut. Saat memasuki ruangan itu, suaranya telah menggelegar hingga si penyebutnya memberhentikan suaranya dan diam di dalam hingga Sandrina meninggalkan toilet.
“Lo tolol banget, sih. Udah tau sekarang jamnya kelas Sandrina ganti seragam, kenapa ngomongin dia kenceng banget di sini?” ujar Nindi setelah membuka pintu toiletnya. Mereka keluar bersamaan setelah suara Sandrina dan teman-temannya sudah tidak terdengar.
“Gue nggak tau. Ya kirain, ‘kan, ganti seragamnya masih lama. Eh, kira-kira dia kepo nggak, ya, sama suara kita? Kalo dia denger tadi, abislah gue. Dia, ‘kan, serem orangnya.” Adis berkaca pada cermin depan toilet.
Saat itu juga, Sandrina datang lagi ke toilet tepat saat Adis mengucap kata seram. Sandrina tahu dirinya dibicarakan, ia terlihat diam saja dan masih bisa bersabar. Ia mengambil seragam olahraganya yang masih tertinggal di pintu toilet.
“Lain kali kalo mau ngomongin orang, jangan di toilet. Takut orangnya denger.” Sandrina langsung berlalu setelah mengucapkan kata tersebut.
Nindi dan Adis hanya melongo. Mereka tidak menyangka jika Sandrina akan mendengar apa yang mereka ucapkan.
“Lain kali kalo ngomong liat waktu, Cuy! Di toilet pula.” Setelah ber-touchup ria, Nindi bergegas diikuti Adis menyusul langkahnya.
“Ya, lain kali.” Adis sibuk memasukkan alat makeup-nya sambil berjalan, lalu dimasukkan ke saku rok.
Tiba di kelas, karena jam pelajaran masih kosong. Guru yang mengajar sedikit terlambat lantaran ada rapat dengan kepala sekolah. Suasana yang ramai, para murid asyik bergosip, tidak sedikit pula sambil mengerjakan tugas yang diberikan.
Deandra, meskipun terkenal centilnya, jangan lupakan jika dia termasuk siswi rajin yang pandai dan sering mendapat nilai di atas KKM. Karena otaknya yang cerdas, seringkali teman-teman se-gengnya meminta jawaban tugas yang diberikan gurunya.
Nindi melapor pada Deandra jika mereka ketahuan saat menggibahi Sandrina di toilet. Dengan sisa emosinya yang masih jengkel, dia menceritakan dengan semangat menggebu-gebu.
“Lo tau sendiri, ‘kan, kalo dia itu seremnya gimana? Meskipun cuek, dia sedikit jutek kalo sama orang lain. Ya, gue, sih, nggak masalah dijutekin, nggak kenal ini. Tapi, dia tau gue temen lo, lo, ‘kan, ada butuhnya sama dia. Kalo gagal, bisa mampus gue di tangan lo,” keluh Nindi. Dia tidak mau jika sahabatnya gagal mendekati cowok idaman para siswi.
Deandra menyimak sahabatnya yang mengadu. Ia menutup buku tugasnya dan matanya bergantian menatap Nindi dan Adis. “Adis emang beloon. Tapi, dia gampang maafin orang lain, sih. Jadi, tenang aja!”
“Maaf, De. Gue beneran nggak tau. Lain kali gue bakal ati-ati, deh. Gue janji.” Tangan Adis membentuk huruf V, matanya berkedip seperti anak kecil yang mohon dimaafkan.
“Udah, lupain aja! Semalem Sandrina WA ke gue, katanya suruh WA duluan, dan ... tara ... gue dikasih nomer WA Arel. Gue udah WA dia.” Senyum Deandra merekah, bak mendapat undian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Liar
Teen FictionBerhadapan dengan saudara sepupu itu bisa menjadi Tuan sekaligus budak bagi Sandrina. Dirinya terlalu baik hati saat sepupunya, Deandra meminta dirinya sebagai tukang pos untuk seseorang yang juga dicintainya. Bisakah Sandrina mendapatkan Arel, atau...