12 ~ Putus

19 2 0
                                    

Awan gelap segelap hati Sandrina, membuatnya enggan untuk pulang. Meskipun masih berada di taman belakang hingga sore. Saat jam pelajaran terakhir pun tidak ada keinginan untuk kembali ke kelas. Arel masih setia menunggu di sebelahnya, hanya diam menunggu Sandrina untuk bicara.

"Tunggu sini bentar, ya! Gue mau beli minum ke kantin." Arel meninggalkan Sandrina sendiri dengan lamunannya. Dan hanya diangguki oleh Sandrina.

Tak lama, Arel kembali dan langsung berjongkok di depan Sandrina memberikan botol minum, ia mengucap, "nangis sepuas lo hari ini, tapi jangan diulang untuk besok! Karena air mata lo sangat berharga." Lagi-lagi, Arel menghapus air mata Sandrina.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, Sandrina merasa Arel sangat mengerti dirinya di saat seperti ini.

"Makasih, ya. Makasih, lo udah ada di samping gue saat ini. Tapi, maaf banget. Hubungan lo sama Deandra jadi runyam gara-gara gue." Masih saja memikirkan hubungan Arel dengan Deandra, Sandrina tidak tega melihat hubungan Deandra dengan orang yang diincarnya sejak lama kandas karena dirinya.

Arel mengangguk. Mengangguk karena ucapan terima kasih Sandrina, bukan maaf yang membuat hubungannya dengan Deandra menjadi runyam.

Namun, bukan semata tidak tega. Deandra lebih tega membicarakan orang tua Sandrina di depan umum, di depan teman-temannya. Itu membuat Sandrina hilang akal akan merebut Arel darinya.

Itu bukan ancaman, melainkan peringatan. Perasaannya selama ini ia pendam karena sepupunya selalu menjadikan dirinya tukang pos untuk Arel.

"Rel."

"San."

Mereka memanggil bersamaan setelah lama berdiam diri.
"Lo dulu, deh," ucap Sandrina sambil memainkan tutup botolnya.

"Lady first," tutur Arel mempersilakan Sandrina.

"Gue nggak tau ngomong ini masih pantas atau nggak. Tapi, selama ini...." Sandrina melihat Arel sebentar, lalu menatap ke bawah lagi. "Jujur, gue emang bodoh udah ngebiarin lo sama Deandra. Bahkan, waktu kemarin lo bilang buat nggak nganggep omongan orang sekitar, di situ gue ngerasa pengen nyerah. Orang yang suka sama gue malah gue biarin jadian sama sepupu gue sendiri."

Sandrina meremas jemainya, lalu melanjutkan omongannya. "Awalnya, gue setengah yakin kalo lo bisa bahagiain Deandra dan ngebuat Deandra berhenti buat manfaatin terlebih ganggu gue. Namun nyatanya, kenyataan bicara sebaliknya. Sorry, I said that."

Tersenyum hangat, Arel berdiri, lalu berjongkok di depan Sandrina lagi.

"Mau ngapain?" tanya Sandrina, terkejut.

"Tanpa lo tau, gue selalu ada di depan lo di saat Deandra akan ganggu hidup lo." Arel mengambil botol minum Sandrina dan menaruhnya di samping, lalu menggenggam tangannya. "Lo tau? Gue setuju pacaran sama sepupu lo biar gue bisa tetep ngawasin lo, biar lo bisa jauh dari gangguan Deandra."

"Makasih. Tapi, gue nggak mau ada di antara kalian."

"Lo nggak inget tentang kita? Apa yang udah lo korbanin buat sepupu lo yang nyatanya tetep jadi perundung kayak gitu. Hubungan itu yang dibutuhkan adalah saling keterbukaan dan rasa saling percaya. Sedangkan gue, nggak percaya dan nggak bisa terbuka sama Deandra. Karena, dalam otak gue cuma ada nama lo terus."

Sandrina menarik tangan Arel agar duduk di sebelahnya. "Tapi, gue nggak mau jadi perusak hubungan lo sama Deandra. Gue nggak mau dicap pecokor atau cewek obralan!"

Pembahasan ini tidak akan menemukan titik terang jika Sandrina masih membelot soal perasaan Arel. Sandrina juga perlu mempertegas pada Deandra jika dirinya bukan boneka yang bisa dijadikan pesuruh.

Big LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang