“Gue sukanya sama lo,” bisik Arel, berdiri membungkuk di samping Deandra.
“Hah?” Deandra menyampingkan badannya, dengan mata membelalak, terkejut. “lo ... lo ngomong apa barusan?”
“Iya, gue suka sama lo. Kita jadian!” Badannya tegak, lalu duduk di kursinya semula.
“Lo belum nanya gimana perasaan gue, udah bilang jadian aja.” Deandra membenarkan posisi duduknya.
“Nggak perlu nanya, karena selama ini sikap lo udah nunjukin kalo lo suka sama gue. Bener apa betul?”
“Ehehe .... emang sikap gue gimana?” tanya Deandra malu-malu.
“Nggak usah nanya juga lo tau sendiri, kok.” Arel melirik jam di ponselnya. sudah pukul sembilan malam. “Eh, Sandrina udah tidur belum, ya? Gue ada tugas sama dia. Buat Teater besok, disuruh bawa peralatan, tapi gue belum beli.”
“Emang suruh bawa apa?” tanya Deandra pada cowoknya yang beberapa menit lalu mengatakan cinta padanya.
“Bawa topeng yang dari kertas sama topi Raja, kebetulan sekolah belum ada. Dulu ada, tapi ilang.” Arel melihat ponselnya lagi. Menimbang-nimbang akan ke rumah Sandrina atau mengirim pesan dulu.
“Mau gue ke sana mintain topeng kertasnya?”
“Eh, gue ke sana dulu, deh. Lo mau ikut apa di sini sendirian? Motor gue masih di sini, kok.” Memasukkan ponselnya ke saku, Arel bersiap ke rumah Sandrina.
“Gue ikut lo, deh.” Deandra sudah menggamit jemari Arel, sontak membuat Arel kaget karena keagresifan Deandra. Arel pun pasrah melihat tangan Deandra sudah menggenggam jemarinya, dan berjalan menarik langkah Arel yang tertinggal.
Setiba di rumah Sandrina, ternyata cewek berambut pendek sebahu itu belum tidur. Masih ada tamu yang berkunjung dilihat dari mobil hitam kinclong yang bertengger di depan gerbang.
Arel berusaha melepaskan tangan Deandra, namun cewek itu seperti enggan terlepas dari tangan Arel. Terlihat risi, Sandrina berdeham agar keributan yang terlihat di matanya tidak perlu dilihatnya lagi.
“Ada apa? Udah jam segini, bukannya pulang malah pacaran.”
Deandra yang disebut telah berpacaran pun semringah, “Kok, lo tau kami pacaran?”
“Tuh,” tunjuk Sandrina mengedikkan dagu pada tangan Deandra dan Arel yang saling berpegangan.
“Oh, iya. Tadi Arel nembak gue. Makasih, ya, San. Udah jadi tukang pos selama ini,” ucapnya tulus setulus perasaannya pada Arel. Sandrina hanya mengangguk.
Arel melepaskan genggaman Deandra, ia langsung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “San, gue minta topeng dari kertas boleh? Gue lupa belum beli.”
“Bukannya lo nggak dapet jatah beli topeng, ya?”
Mereka berdiri di kursi teras, dinginnya semilir angin dari pohon pinus dan juga pohon mangga membuat Sandrina mengeratkan jaket yang dipakai.
Mata Deandra menatap Arel penuh tanya. Mungkin saja pacarnya itu lupa, atau tidak memperhatikan Bu Hani saat pembagian tugas. Atau mungkin ... Arel sedang ke toilet.
“Oh, terus kalo disuruh bawa topi Raja itu gimana?” tanya Arel memastikan. Dirinya benar-benar tidak tahu, karena saat pembagian tugas ini, dirinya sedang mengobrol dengan Rendy.
“Astaga, Rel ... itu masih entar. Kalo drama yang sekarang udah kelar baru pembagian peran buat drama Cinderella.”
Arel menepuk jidatnya, berpura-pura tidak tahu jika dirinya lupa bahwa topi Raja akan digunakan untuk pentas drama Cinderella. Masih ada waktu sekitar empat bulan lagi.
“Gue nggak tau.” Arel duduk di kursi. “Lo tadi abis dari mana? Gue liat dari gerbang ada cowok keluar dari mobil.”
“Yang, itu bukan bukan urusan kamu, deh, kayaknya. Mau dia cowok Sandrina, gebetan Sandrina, atau ... mungkin jodohnya Sandrina juga bukan urusan kita.” Deandra mulai gelisah melihat pertanyaan pacarnya yang kepo tentang tamu Sandrina.
Memang benar, sih.
Bukan urusan Arel maupun Deandra siapa cowok yang berkunjung ke rumah Sandrina, dan belum pulang saat sudah malam begini. Namun, Sandrina tampak enggan menjawab pertanyaan Arel.
“Bukan apa-apa, kalo cowok bertamu itu harus tau waktu, ya, ‘kan, Sandrina?” Matanya melihat ke arah Sandrina yang berada di depan Deandra.
Pada saat yang bersamaan, tamu yang dibilang Arel pun keluar memanggil Sandrina.
“San,” panggil tamu cowok itu.
Sandrina menoleh ke arah pintu, lalu berdiri. “Iya? Mau pulang sekarang?”
“Iya.”
“Eh, gue tinggal bentar, ya?” pamitnya. Sandrina berjalan mengikuti cowok itu ke dekat mobilnya. “Sorry banget, ya, gue tinggal nemuin temen gue.”
“Iya nggak apa-apa, bisa disambung besok ngobrolnya.”
“Eh, ada daun, Wis.” Sandrina berjinjit untuk mengambil daun kering yang jatuh di kepalanya.
Sontak membuat cowok yang bernama Wisnu itu menundukkan kepala supaya Sandrina bisa mengambilnya. “Udah.”
“Yaudah, gue balik dulu, ya?”
“Ati-ati di jalan.”
Sebelum masuk mobil, Wisnu tampak mengelus pucuk rambut Sandrina pelan. Hal itu dilihat oleh Arel. Ia pun berdiri, agar penglihatannya jelas, dan bisa memantau apa yang akan dilakukan Sandrina pada cowok itu.
Tampaknya Sandrina tersenyum menanggapi usapan cowok itu. Siapa yang tidak suka ketika ada cowok yang mengusap kepala cewek, serasa dunia memang berpihak padanya, ‘kan?
Setelah kepergian cowok itu, Arel menghampiri Sandrina meninggalkan Deandra yang masih duduk di kursinya.
“Tadi siapa lo? Tumben anak jutek kayak lo jadi sok kalem kayak tadi. Kaget gue,” selidiknya.
Belum sempat menjawab, Deandra tiba dan langsung memeluk lengan Arel. “Kita pulang, yuk! Udah ngantuk, nih, gue.” Kepalanya disenderkan pada bahu Arel. Serasa dunia milik mereka berdua, dan tidak memedulikan keberadaan Sandrina di sana. “San, gue balik dulu, ya?”
“Oh, ati-ati di jalan, meskipun rumah lo cuma di sebelah doang, sih,” cengirnya.
Arel tampak kesal dengan tingkah Deandra. Pertanyaannya belum dijawab, dan Deandra sudah mengajaknya pulang. Ini baru jam setengah sepuluh, tapi cewek itu sudah mengantuk.
Mereka meninggalkan rumah Sandrina dengan banyak pertanyaan yang bersarang di otak Arel perihal cowok tadi. Apakah dia pacar Sandrina? Atau sepupu Sandrina? Jika sepupu, tidak mungkin Deandra tidak mengetahuinya, ‘kan?
Memikirkan hal ini membuat Arel tampak semakin emosi. Namun, dirinya bisa apa jika orang itu adalah orang dekat Sandrina? Arel bukan siapa-siapa Sandrina.
“Gue pulang dulu,” pamit Arel lemas.
“Lemes banget ngomongnya? Kenapa?”
Tanpa menjawab, Arel langsung mengenakan hoodie-nya, dan melaju meninggalkan Deandra setelah mengusap pucuk rambutnya. Bukankah cewek sangat suka dan merasa jadi orang spesial kalau rambutnya diusap cowok lain, terlebih itu adalah pacarnya?
Menarik sudut bibirnya ke atas, Deandra terlihat meleleh mendapat perlakuan seperti orang yang sangat diinginkan. Meskipun tidak mendapat jawaban dari Arel, ia tidak masalah, karena yang terpenting adalah perbuatan cowok itu pada dirinya.
Deandra ingin setiap harinya seperti ini bersama Arel. Tidak ada halangan, tidak ada hambatan, terlebih tidak ada pengganggu dalam hubungannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Liar
Teen FictionBerhadapan dengan saudara sepupu itu bisa menjadi Tuan sekaligus budak bagi Sandrina. Dirinya terlalu baik hati saat sepupunya, Deandra meminta dirinya sebagai tukang pos untuk seseorang yang juga dicintainya. Bisakah Sandrina mendapatkan Arel, atau...