“Berangkat dulu, Ma, Pa,” pamit Sandrina, sambil berjalan ke arah Rian lalu ke Shita untuk mencium punggung tangannya.
“Bilang sama Mang Udin, suruh hati-hati bawa mobilnya!” Menatap putrinya dengan penuh sayang, Rian menghentikan suapannya.
“Iya, Pa.”
“Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan lupa nanti pulang sekolah, ya?”
“Aku ada teater, Ma.” Sandrina masih berdiri di samping Shita, menghadap ke Mamanya.
“Yaudah, nanti setelah teater aja.”
Sandrina mengangguk lalu melenggang keluar setelah berpamitan. Mang Udin sudah siap di samping mobil. “Mang, kata papa suruh hati-hati!”
“Siap, Non.”
Mang Udin adalah sopir pribadi yang sudah bekerja selama puluhan tahun dengan keluarga Rian Atmodjo. Yang setia pada tuannya, juga orang yang bisa memegang kepercayaan dari bosnya, yaitu Rian Atmodjo.
Matahari belum menampakkan diri, membuat udara semakin sejuk hingga pernapasan jadi ringan dan segar. Aroma tanah yang menguar terkena air hujan membuat pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah terlihat lebih hijau dan segar.
“San,” panggil Deandra sedikit berteriak. Dari gerbang, ia berlari menuju mobil sepupunya.
Sandrina yang sudah mendudukkan bokongnya di kursi belakang, dan akan menutup pintu mobil, keluar lagi menatap Deandra. “Kenapa?”
Dengan senyum seperti iklan pasta gigi, Deandra menjawab, “Bareng, ya? Bokap berangkat siang.” Deandra langsung menuju pintu sebelah dengan riang diikuti Sandrina memasuki mobil.
“Biasanya Bang Jean yang nganter?” Sandrina menutup pintunya dengan pelan.
“Dia sibuk, nggak mau nganter.”
Mobil melaju dengan perlahan menyusuri kota Metropolitan. Kota dengan sejuta ragam penduduk urban membuat jalanan merayap. Sandrina melihat pemandangan luar sambil memainkan jarinya.
Awan gelap seperti cewek yang ditinggal cowoknya demi cewek lain menutupi mentari, juga disertai gerimis kecil membuat mata enggan menampakkan retinanya. Sandrina bersandar pada jok belakang sambil menutup mata, kaca jendela dibuka untuk menghirup oksigen yang masih sejuk, belum tercampur oleh karbon dioksida.
Cuaca seperti ini yang membuat cewek pendek nan imut itu bermalas-malasan berangkat sekolah. Jika bukan Mamanya yang membangunkan untuk mandi, sudah dipastikan jika Sandrina lanjut tidur dan tidak mau berangkat sekolah.
Memasuki jalan raya, suara bising dari pengendara lain menghiasi telinga Sandrina, karena kemacetan hingga motor lain menumpang di badan jalan. Beginilah orang +628 yang tidak mematuhi peraturan. Lampu merah menyala lama, saling berdesakan di depan seolah sedang berlomba siapa tercepat di antara semua pengendara. Sandrina menutup kaca jendela, lalu memejamkan mata lagi karena suara kendaraan lain mengganggu telinganya.
Deandra memainkan ponselnya, sambil tersenyum ceria. Ia berpikir, sangat bersyukur memiliki sepupu seperti Sandrina. Yang bisa dimintai tolong apa pun, selama dia bisa melakukannya. Masih memegang ponselnya sambil senyum-senyum, ia menatap Sandrina yang memejamkan mata, lalu beralih ke ponselnya lagi.
“San, lo liat, deh. Arel gans bingit, ya?” Deandra memperlihatkan foto cowok yang ada di ponselnya pada Sandrina. “Apalagi pas kalian beradu akting. Ya ampun, cool banget dia. Makin sayang jadinya.” Tak ada gerakan mata Sandrina akan terbuka, Deandra menarik tangannya lagi, masih memandangi foto sang pujaan hati.
Sandrina hanya berdeham, tidak membuka mata dan tanpa berkomentar apapun. Lawan mainnya dalam ekstrakurikuler itu memang tampan, tapi menurut Sandrina, hanya papanya yang paling tampan.
Masih membahas cowok yang diincar, Deandra melihat-lihat laman sosial media Arel. “Eh, lo tau nggak? Dia bakal ada projek baru bulan depan, lho. Lo ikut juga? Pementasan drama singkat buat perayaan ultah sekolah, katanya. Tapi, lo pernah jadi pemeran utama, udah pasti ikut, dong. ” Bertanya sendiri juga dijawab sendiri.
“Iya, tapi belum tau siapa pemain-pemainnya. Bakal ada beberapa drama nanti.” Matanya masih terpejam. Deandra masih melihat ponselnya sambil mengangguk.
Empat puluh menit perjalanan membuat Sandrina dan Deandra memasuki gerbang sekolah tepat sebelum bel berbunyi. Telat barang satu menit akan dikenai hukuman oleh guru yang piket, yang berjaga di pintu pos sekuriti. Dihukum berdiri menghadap bendera, tangan kanan diangkat ke atas, pas pelipis. Sedangkan tangan kiri lurus di sebelah kiri.
Memikirkan hal itu membuat Sandrina menggelengkan kepala, ia berlari menuju kelasnya, karena jam pelajaran pertama adalah guru killer yang membuat semua siswa berdiam diri, antara takut dan bingung karena penjelasannya susah dimengerti.
“Kenapa lari, San? Santai aja, elah!” teriak Deandra yang berjalan santai di belakang Sandrina.
“Ada Pak Joni pelajaran pertama,” balasnya.
Di depan gerbang, suara Bu Puji menggema hingga mengalihkan perhatian Deandra. Sambil menjewer dua siswanya yang telat datang sekolah, digiring menuju lapangan upacara untuk melakukan hukumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Liar
Teen FictionBerhadapan dengan saudara sepupu itu bisa menjadi Tuan sekaligus budak bagi Sandrina. Dirinya terlalu baik hati saat sepupunya, Deandra meminta dirinya sebagai tukang pos untuk seseorang yang juga dicintainya. Bisakah Sandrina mendapatkan Arel, atau...