Prahara panel karsa boboti tubuhku ke mana-mana

10 1 0
                                    

|Tabungan hari-hari|

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|Tabungan hari-hari|

Etika darma menari di hari tua. Kesadarnku tenggelam sampai lupa.
Harmatan pujangga hanyalah pusara.
Sadarkan pupilmu yang terbuka dengan satu sampai dua kata.

Aku merenung untuk beberapa waktu. Meminjam kemalasan hingga aku dapat bubuhi kerinduan paling melelahkan. Aku pasti satu-satunya orang yang berpaling dari indahnya surya.

Aku menjauhkan resam dari histeris prahara cita. Tahu setiap malam kugunakan waktuku habisi nyawa. Gulang-guling hilangkan rasaku yang mendapat hantaman di biarkan memar.

Aku si pionir yang kecam rasa suka. Meradang pun tak apa selagi kau baik-baik saja. Naif memang, padahal bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku berdoa.

Nirwana mengejek niatku sampai berlari-lari menjauhi raga. Kepalaku pusing tanpa arak. Banyang-banyang sialan yang mencemoohku kala kantuk datang.

Oktoberku musnah sebab senandung tawamu memenuhi panca indra. Aku jengkel sebab tak bisa lupakanmu begitu saja.

Aku tak akan berusaha. Aku juga tak akan bertekad sekuat tenaga sampai mati. Memangnya kau siapa? Aku siapa? Kita ini apa?

Serangkaian tanya abece juga takkan mampu menjawabnya. Kita teman kok malah aku yang berlebihan.

Liburku tak tentu arah selain dirimu yang ketuk perhatian. Sekolah. Bangunan petak seluas upil selalu kurindukan. Bukan pada ruangannya, apa lagi kegunaan sebenarnya. Aku hanya merindu gaya necismu yang tiap kali oleng kupandang-pandang.

Segaris kata berbunyi 'halo' tak terdengar lagi di gendang telinga. Kau itu arwah atau apa?

Tolong, deh, ya, jangan misuh-misuh tiap kali aku bermuram durja.

Nah, fatamorgana yang lumuri liur mencair hilang tanpa di minta. Hore!! Aku ingat caranya gembira.

Cupid mungkin lelah bujuk diriku tanjapkan panahnya padamu. Hey, siapapun yang sudi mendengar koar-koarku.

Demi susu monyet. Aku berhasil menutupi kegilaanku dengan tarik kenangan masa remaja. Meski pujian tak kudapatkan, tapi aku serasa terbang walau burung mendelik enggan.

Kau itu kokarde penting dalam serat-serat kebahagiaan. Buntalan-buntalan panel penuh prahara kututupi sembunyi-sembunyi.

Aku ini penyanjung kelakuanmu yang urak-urakan bertingkah menjengkelkan. Memang bukan untukku. Aku sadar. Bukan untuk menyenangkanku. Aku juga sadar.

Kau ini berkelakuan begitu sebab orang istimewamu 'kan. Untuknya. Ih, kenapa itu seolah menyakitkan, sih. Tidak-tidak jangan merasa begitu, teman.

Kau ini jejali cita-cita yang kupertanytakan. Selama ini kukira semua lelaki sama saja dengan bapakku. Irit bicara, kalau ngomong tak pernah menyanjung sama sekali, tak terbuka bercerita sana sini tentang masa hidupnya, seakan-akan suara itu bisa habis kalau banyak di pakai.

Tapi kau tidak. Seolah kau membenturkan kepalaku hingga aku tersadar bahwa 'hey kaum Adam tak semuanya begitu, tahu!'

Itulah dirimu di mataku. Kelukur pilu gentarkan monarki masifku. Gaya bicara campinmu kukonsumsi dalam lengkung bibir tipis.

Sungguh aku terimakasihkan dirimu pada halimun sore magrib ini. Inginnya. Hanya saja aku tak seberani itu untuk berucap begitu. Takut dikiranya aku dongo sebab ini drama sekali.

Aku takut kau terbahak mendengar penuturan begoku. Sebab aku tahu kau hanya akan bersikap sama, tak peduli.



Thirddxs

DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang