Hari Sadar Hati

15 7 9
                                    

Akhirnya aku menginjakan kakiku lagi di sini. Tempat dimana aku menyadari bahwa hatiku menginginkan Natasha lebih dari seorang sahabat. Membuka mataku untuk lebih melihat Natasha sebagai wanita yang sangat patut dicintai. Menjatuhkan hatiku seutuhnya pada satu wanita yang senyumnya sangat menenangkan.

Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali aku bermain di sini bersamanya. Tawa riang anak-anak polos karena menonton sirial kartun bersama. Tangisan bayi yang ingin segera diberi ASI karena kehausan. Balita yang cemong karena baru saja selesai dimandikan ibu panti.

Natasha sangat suka anak kecil. Entah punya kekuatan magis seperti apa, setiap anak kecil yang menangis akan langsung reda tangisannya hanya karena dia usap punggungnya dan diberikan senyum menanangkan. Mungkin, memang senyum Natasha semenenangkan itu. Bahkan itu juga berlaku untukku.

Setiap ada waktu senggang, pasti dia mengajakku untuk bermain di panti ini. Menyisihkan sedikit dari uang sakunya untuk membeli beberapa pack lolipop untuk hadiah kecil. Atau jika punya uang lebih, dia tidak segan untuk menyumbangkan demi kemaslahatan panti. Natasha sangat baik. Mata indahnya selalu berbinar bahagia, sarat ketulusan untuk membantu tempat ini.

"Kakaaaaaak!" teriak satu anak kecil. Ahra namanya.

Ahra berumur 6 tahun, sudah tiga tahun dia di sini. Saat pertama ditinggalkan di panti --entah karena apa-- si kecil Ahra selalu menangis, dan hanya bisa diam jika sudah dipeluk Natasha. Jadi, dia sangat dekat dengan Natasha, begitu pula denganku. Karena hampir setiap Natasha bermain di sini, aku pasti ada bersamanya.

Aku memangku bocah kecil itu, lalu mengecup pipi gembilnya gemas, "Ahra! Kakak kangen banget lho, sama kamu!"

Dia memeluk leherku erat, "Rara juga kangen sama Kakak! Kakak udah lam banget enggak ke sini! Kakak lupa, ya, sama Rara?" tuduhnya seraya mencebik kesal.

Aku terkekeh dan mencubit hidungnya gemas. "Kakak banyak kerjaan, Ra. Nanti juga kamu paham,"

Dia meminta diturunkan, dan mengajakku untuk duduk di ayunan. "Kenapa enggak bareng Kak Sasha? Kemarin lusa Kak Sasha ke sini juga sendiri. Padahal Rara tuh kangen main sama Kak Juna, Kak Sasha," wajahny menjadi murung setelah berkata.

Aku menghela napas. Memikirkan jawaban yang pantas yang mungkin tidak akan menyakiti anak polos ini. Lantas megusap halus surai hitamnya. "Jangan sedih, dong, Ra," dia menatapku dengan mata yang sudah berembun menahan tangis, "Kakak janji, lain waktu, Kakak bakal ajakin Kak Sasha kamu ke sini, okey?"

Dia mengerjap, dengan semangat mengusap air mata yang akan tumpah di matanya, "Kakak janji?" kelingking Ahra tereangkat.

Dengan ragu aku mengangguk, dan mengkaitkan kelingkingku ke jarinya. "Iya, Kakak janji,"

Gadis kecil itu kegirangan, dan langsung merangsek ke pelukanku.
Semoga aku punya kesempatan untuk mewujudkan janji itu. Sebab, rasanya sekarang semua sudah berbeda. Sudah sangat susah untuk bertemu dengan Natasha

Katakanlah aku pengecut, yang cuma bisa bersembunyi karena masih takut menghadapi kenyataan di depan mata. Soal Natasha, bukan main-main untukku. Selalu ada efek yang tertinggal bahkan hanya dengan mengingatnya saja. Apalagi jika harus bertemu?

Setelah hampir beberapa tahun mndengar kabar itu, rasanya masih sama seperti ketika aku mendengar kabar pada saat itu juga. Aku tidak akan pernah siap untuk kehilangan Natasha. Aku sadar, di dunia ini tidak ada yang abadi, tapi, apakah aku harus kehilangan dia secepat ini? Bahkan sebelum aku sempat mengutarakan rasaku? Sebelum aku berjuang lebih untukknya?

Hari itu, tak peduli apapun yang akan diucapkan Natasha demi sebuah penjelasan tak pernah aku dengarkan. Hatiku sudah kepalang hancur. Semua harapan yang aku langitkan dengan tinggi semuanya menjadi sia-sia.

Impossible || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang