Pelik

13 3 0
                                    

Selalu seperti ini.

Setiap malam, kantuk tak kunjung datang. Padahal badan sudah berkoar-koar meminta untuk segera diistirahatkan. Jam malam sudah lewat, hari sudah berganti, dan pada detik itu, aku masih merenungi hal-hal yang bukan untuk aku pikirkan.

Kembali kulihat selembar kertas yang bertuliskan nama Natasha dan Jeremi di sana. Entah sudah hitungan keberapa aku menghela napas berat. Sekali lagi, aku pikir tidak akan sanggup untuk melihat secara langsung bersandingnya wanita yang kucuntai dengan orang lain. Tapi jika tidak datang, apa itu terlalu egois untukku?

Sedang terlalut dalam lamunan, tiba-tiba telponku berbunyi, dan tertera nomor Natasha di sana, yang ternyata belum diganti sama sekali.

Pasti ada yang tak beres, pikirku.

"Halo, Sasha? Kamu baik-baik aja?" tanyaku lebih dulu. Karena setelah beberapa detik telepon terhubung, Natasha tidak kunjung bicara.

Kudengar Natasha tersekat napasnya sendiri, "A-aku gak mau, Arjuna. Aku gak siap," lirih Natasha. 

"... Sha, aku harus apa? Aku bisa apa, Sha? Aku gak bisa bantu apapun saat ini. Kuat, ya? Kamu pasti bisa lewatin ini semuanya. Bukannya cinta datang karena terbiasa? Aku yakin, dia rumah yang tepat buat kamu. Kuat, ya, Sha?"

Ya tuhan, mengapa sesakit ini?

Di sebrang sana, Natasha masih menangis sesenggukan. Napasnya berat, dengan lirihan kecil sayat dengan kepedihan.

Di kamar ini, aku pun ikut merasakan sakit. Menertawakan diri yang tidak bisa berbuat apapun untuk orang yang paling aku sayangi. Berusaha menerima jalan hidup yang sedang berada di puncak komedi ini.

"K-kalau cinta datang karena terbiasa, --harusnya dari dulu aku udah sayang sama dia, Arjuna! Tapi ini enggak! Enggak ada debaran yang datang cuma karena aku lihat matanya. Enggak ada perasaan aneh saat dia ngelakuin hal hal yang kata orang romantis. Aku cuma rasain itu dulu, saat sama kamu," Natasha menangis semakin kencang. "Ak--aku gak bisa," lirihnya.

Natasha semakin meracau tidak jelas. Menangis sejadi-jadinya. Membungkam isakan yang mendesak agar tak terdengar orang tuanya. Satu hal yang membuatku khawatir jika Natasha menangis separah ini. Dia tidak segan untuk menyakiti diri sendiri, seperti memukul kepala dan dadanya dengan keras. Dan suara suara pukulan itu terdengar jelas dari tempatku.

"Natasha, hey. Jangan sakitin diri kamu sendiri," aku benar-benar merasa khawatir disini.

"... Hk-- gapapa, Arjuna. Ini gak ada apa-apanya dibanding dengan sakit yang aku rasain selama ini. INI GAK SAKIT SAMA SEKALI." Dia terus menangis dengan tetap membungkam suaranya. "Kenapa harus aku?" lirihnya.

Suara berisik di sebrang sana masih terdengar. Suara pukulan keras, yang pasti akan menyisakan memar besok pagi. Aku harus apa untuk menghentikan dia?

Aku benar-benar tidak punya jalan. Tidak punya kekuatan apapun untuk melawan dan memperjuangkan dia. Ditambah satu fakta bahwa dia adalah cucu dari orang berpengaruh besar, membuatku benar-benar kalah telak.

Aku salut pada cara ajar orang tua Natasha. Mereka berhasil mendidik anaknya sampai bisa sebaik dan sesederhana ini. Mengajarkan hidup sederhana diantara banyaknya giuran harta dunia yang seakan tiada habisnya. Mereka berhasil, sampai satu fakta yang sudah menjadi rahasia umum itu baru kuketahui akhir-akhir ini.

Ternyata, belum banyak aku mengenalmu....

Di sana, tangisnya masih terdengar. Tapi suara-suara pukulan kasar itu tidak terdengar lagi. Aku menghela napas lega. Masih dalam keadaan ponsel yang terhubung, aku membiarkan dia menangis sampai dia merasa lega dan lebih baik.

Beberapa menit berlalu, suara tangis itu tidak terdengar lagi. Digantikan dengan deru napas teratur yang menandakan dia sudah tidur dengan pulas.

"Selamat tidur, Natasha. Semoga bangun nanti, gak bakalan ada lagi kesedihan yang kamu alami. Maafin aku yang gak bisa ngapa-ngapain. Aku... aku sayang sama kamu, Sha," tutupku.

Hah... ternyata semua ini cukup menguras semua energiku.

Sebentar lagi, semuanya akan benar-benar berakhir. Tidak ada lagi Natasha yang harus kuperjuangkan. Mau tidak mau, aku harus mulai belajar menerima semuanya.

Aku sadar. Aku benar-benar sudah kalah.

Natasha, maafkan aku karena lebih memilih menjadi pengecut lagi. Aku benar-benar ingin memperjuangkan kamu lagi, tapi satu fakta itu benar-benar membuatku tersadar dan tertampar. Kuasa seperti apa yang bisa merubah ketetapan keluargamu? Aku tidak punya kekuatan apapun.

Sudah dari lama aku selalu bersikap tidak tahu diri dengan selalu berusaha mendobrak apa yang sudah jadi batasan antara kita, sekarang aku sudah sangat sadar dan malu.

Semoga kamu bahagia, ya.

Aku tahu, pilihan orang tua tidak pernah salah.

Aku tetap ada di sini untuk kamu.

Semoga kamu bahagia.

----------

Yhaaa sudah lama aku tidak update. Tapi Pureice ke German barengan tuh biki aku semangat lanjutin inii.

*Bonus ayang ayangku pacaran><

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Bonus ayang ayangku pacaran><

Kapan kapan lagi~

Impossible || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang