Hujan bersama Natasha

18 6 4
                                    

Sore hari ini langit sudah mulai gelap karena matahari yang sudah waktunya terbenam ditambah keadaan langit yang mendung. Beberapa saat kemudian, hujan turun beraturan dari yang awalnya hanya gerimis kecil hingga jadi jutaan rintik hujan yang mampu membasahi seluruh kota.

Aku memandangi hujan di ruangan kantorku. Sudah tahu, kan, jika aku suka hujan? Apalagi setelah kejadian satu hari itu. Hujan selalu berhasil membangunkan sisi melankolisku. Hujan selalu bisa membangkitkan kenangan indah yang ada di antara aku dengan Natasha.

Suatu sore, di hari itu ...

Ujian Nasional yang jadi ujung tombak masa SMA sudah di depan mata. Belum lagi beberapa test untuk mengikuti test perguruan tinggi di universitas impian, membuat aku dan Natasha memutuskan untuk lebih sering belajar bersama.

Kami mengikuti bimbel online dari salah satu flatform bimble online ternama di Indonesia. Tapi, agar belajar menjadi lebih menyenangkan, Natasha memberi usul agar kita melakukan belajar bersama setiap ada waktu senggang. Dan aku menyetujui usulnya.

Seperti siang hari ini. Sepulang sekolah, aku langsung bertolak menuju sekolah Natasha untuk menjemputnya. Tadi pagi dia bilang, dia ingin membahas kisi-kisi yang diberikan gurunya kemarin. Agar tidak bosan, dia berinisiatif untuk belajar di taman perpustakan nasional. Aku hanya mengangguk menuruti keinginannya saja. 

Belajar dengan Natasha sangat seru. Tidak jarang kami berselisih pendapat yang berakhir dengan dia yang merajuk karena argumennya kurang tepat. Sepanjang belajar mulutnya manyun, dan komat kamit kesal.

"Nih, makan. Jelek banget. Kaya donald duck,"

Barusan aku meninggalkan Natasha yang sedang komat-kamit kesal menuju warung serba ada di sekitar sana untuk membeli beberapa camilan. Tentu saja untuk mengembalikan mood-nya yang hilang.

Dia tersenyum senang, dan segera mengacak isi kantung plastik itu. "Makasih, Arjuna!"

"Sama-sama," aku tersenyum sebentar, "Sha, jangan tersinggung, ya?"

Kulihat dia mengangguk, tapi masih sibuk memakan camilannya.

"Dengerin, ya. Aku bukan orang pinter yang sok ngasih tau atau ngatur kamu, atau apalah. Pokoknya kita sama-sama belajar. Dan--"

"--- langsung intinya, bisa?" katanya jengah.

"Ahahaha, oke. Kamu harus lebih bisa belajar nerima argumen orang lain, Sha. Cermati dulu, bandingin dulu sama argumen punya kamu. Jangan asal kamu lawan aja. Kamu tahu, kan, negara kita ini negara yang bebas ber-argumen? Semua orang hak atas suaranya. Juga, isi kepala orang itu berbeda-beda, kan? Buat nyatuin semua kepala jadi satu itu susah. Belum lagi egoisnya, ingin menang sendirinya. Aku gak suruh buat kamu diam. Ya kali. Aku cuma mau kamu atur ego kamu, sedikit aja, ya?"

"Tapi, cuma suka Arjuna doang, kok," cicitnya.

"Iya, sama aku mah gapapa. Aku mah bukan manusia di depan kamu mah. Pengecualian," kataku pura-pura kesal.

"Ih, jangan kesel gitu, dong. Enggak ganteng lagi nanti!" dia mengarahkan dua telunjuk tangannya ke ujung bibirku, lalu menariknya, "Nah, gini! Kan, ganteng!"

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Njunn,"

"Hmm?"

"Makasih, ya. Makasih udah sabar banget nasihatin aku. Aku sayang Njun banyak-banyak!" dia memelukku tiba-tiba. Sebentar, lalu dilepaskan lagi.

Aku? Nge-freeze. Cuma bisa mematung. 

Impossible || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang