Bunda

13 3 0
                                    

Sejatinya, di dunia ini manusia hanya menjalankan takdir yang sudah tertulis tanpa tahu apa yang terjadi di masa depan nanti. Itu yang aku jalani sekarang. Hidup hanya dengan menyusuri takdir yang entah akan membawaku kemana lagi.

Setidaknya, masih banyak syukur yang kuucapkan. Sungguh tidak tahu malu jika di dunia ini hidup seenaknya tanpa rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Aku bersyukur masih bisa menjalani hariku dengan baik, meski rasanya cukup berat.

Siang ini, matahari sedang sangat gagah menyinari bumi. Setelah selesai meeting kecil dengan beberapa klien Mama di sebuah pusat perbelanjaan, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang, karena masih merasa lapar. Tentu saja aku bersama Hisyam. Baru beberapa minggu ini dia kerja di perusahaan butik Mama. Kata Mama kalau ada Hisyam, pekerjaanku akan sedikit terbantu. Ya memang, sih... tapi apa akan kuat kan aku hampir 24 jam bersama orang tak tahu diri itu?  

"Hah, gerah banget! Untung klien kali ini gak terlalu ngotot. Bisa sinting siang bolong begini kalo harua adu bacot," cerocos Hisyam. Dasinya ia longgarkan sedikit. Dia memang seaneh itu, padahal tidak mungkin di pusat perbelanjaan terasa panas.

"Ada untungnya gue ngajak lo. Lo jago banget kalo soal tawar-menawar. Makasih ya. Ayo deh makan enak, gue traktir,"

Senyum Hisyam langsung melebar "Gue lagi bm banget makan bakar bakaran. All you can eat aja, ya?" tanya dia. Belum mendapat jawab pun langkahnya sudah mengarah ke restoran tersebut.

"Lo duluan aja. Gue mau ke toilet bentar. Sekalin nitip tas gue,"

Urusan dengan pencernaan sudah selesai. Teleponku bergetar, segera kulihat pop up chat yang tertara di layar. Ternyata Mama yang bertanya apakah meeting hari ini lancar atau tidak. Dengan senyum yang tertera aku membalas pesan Mama dengan mengirim kabar baik siang ini.

Mungkin terlalu fokus dengan gawai di tanganku, di pintu restoran, aku menubruk seseorang. Tas yang dibawa seseorang itu jatuh, dengan sigap aku langsung membawa tas itu lalu terkejut saat mengetahui siapa pemilik tas kecil tersebut.

Dunia sedang berjalan lagi tanpa kutahu bagaimana akhirnya.

Pemilik tas itu adalah Bunda Nara. Bunda-nya Natasha. Aku membeki ditempat. Perasaanku campur aduk. Beberapa detik kami terpaku satu sama lain.

"Arjuna? Kamu Arjuna, kan?" lirih Bunda. Entah kenapa matanya jadi berkaca-kaca.

"Iya, bunda. Ini Arjuna. Ini Juna,"

Bunda Nara langsung memelukku erat. "Juna, Bunda kangen banget sama kamu. Maafi bunda, ya, nak. Bunda tiba-tiba pergi gitu aja, maafin bunda," Bunda Nara terus meminta maaf atas kepindahannya yang memang sangat mendadak.

"Bunda jangan minta maaf. Bunda gak salah. Juna sudah tahu Bunda bakal pindah dari Sasha. Tapi Juna gak tahu ternyata secepat itu," jawabku.

Bunda Nara mengurai pelukan, lalu mengusap bawah matanya yang detik sebelumnya tergenang air mata. Lalu dia tersenyum. Senyum yang masih terasa hangat dan menenangkan. Bunda tersenyum dan terus mengusap punggungku.

"Arjuna sedang apa di sini?" tanya Bunda.

"Juna baru aja selesai meeting, bunda. Kebetulan temen Juna lapar dan kita mau makan di sini. Bunda mau ikut?" tawar Juna.

Bunda Nara menggeleng. "Arjuna, kamu keberatan kalau temani bunda? Bunda sudah lama pengen ketemu kamu,"pintanya tiba-tiba.

"Ah, kalo gitu aku izin sebentar sama temanku." balasku, segera beranjak menemui Hisyam yang sudah sibuk dengan makanannya. Untungnya dia mengerti situasi kali ini dengan cepat, jadi aku tidak perlu repot menjelaskan dengan detail.

Sembari berjalan menemui Bunda Nara lagi, otakku tidak berhenti berfikir. Menebak akan ada cerita apa lagi yang sudah ditulis takdir untukku hari ini. Pertemuan ini sangat mendadak. Ada satu sisi dari diriku yang meminta untuk menolak ajakan Bunda dan tetap meneruskan agenda makan siang bersama Hisyam. Tapi dorongan kuat untuk berbicara dengan bunda mengalahkanku.

Bunda mengajakku ke sebuah cafetaria untuk duduk di sana. Dia langsung memesan beberapa minuman dan camilan kecil. Karena yang penting sekarang bukan camilannya, melainkan obrolannya.

Sebelum berbicara, Bunda tersenyum, "Juna apa kabar? Juna hidup dengan baik, kan?"

"Alhamdulillah, Juna cukup baik. Mama juga sekarang sudah jarang sakit lagi. Tapi sebagian perusahaan, Mama suruh Juna yang urus. Jadi Juna masih belajar hal banyak. Itu sih yang sekarang agak berat, hehehe," kekehku.

"Mama kamu pasti bangga punya anak baik dan giat seperti kamu,"

"Terimakasih, Bunda. Bunda dan ayah apa kabar?" tanyaku balik.

"Ayah sekarang semakin sibuk ini itu. Apalagi sebentar lagi keluarga besar akan melaksanakan pesta besar untuk Natasha--"

Aku terhenyak. Dadaku seperti tiba-tiba dihimpit hingga sesak. Ini sudah beberapa kali ku dengar, tapi rasanya tetap sangat sakit.

"Maaf, Juna," ucap Bunda tiba-tiba. "Bunda gagal menjamin putri Bunda satu-satunya akan hidup bahagia. Bunda tidak bisa berbuat banyak untuk menentang ini semua," bunda bercerita dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Natasha selama ini tertekan. Dia tidak bahagia. Dia terus didesak untuk menerima semua ini. Sedangkan Bunda tidak punya kuasa apapun. Oma Opa dari Ayah Sasha begitu menginginkan perjodohan ini. Mereka bahkan sampai tidak peduli pada kebahagiaan cucu kesayangannya ini. Bunda sedih lihat Natasha terus mengurung diri seperti itu,"

Aku berpindah tempat jadi di sampingnya. Berusaha menangkan tangis Bunda. Aku tahu. Aku tahu semuanya tanpa Bunda ceritakan. Aku tahu bagaimana sakitnya Natasha selama ini. Karena tanpa sadar, aku juga merasakan itu semua.

"Pasti sakit, ya, nak?" tanya Bunda tiba-tiba. "Pasti sakit ketika kamu mencoba melepaskan apa yang kamu sayangi. Pasti susah," lanjut Bunda.

Aku benar-benar terkejut. Jadi selama ini Bunda tahu?

"Bunda tahu?" tanyaku terbata.

"Bunda tahu semuanya, Juna. Natasha sudah menceritakan semuanya. Hari itu, setelah pulang dari panti, dia menangis dan langsung memeluk bunda sambil bercerita tentang obrolan kalian di siang itu," jawab Bunda.

Aku malu dan merasa kecewa pada diri sendiri. Aku benar-benar merasa jadi pengecut yang terus bersembunyi saat ini.

"Maafin Juna, Bunda. Juna kira keputusan Juna untuk merelakan dan tidak memperjuangkan lagi Natasha adalah keputusan yang tepat. Juna benar-benar sudah tidak punya jalan apapun lagi. Juna lebih lemah dari bunda. Juna sayang Natasha, tapi Juna gak bisa lakuin apapun buat Natasha. Maafin Juna,"

"Kamu punya hati yang lapang, nak. Bunda yakin, suatu hari nanti kamu akan menemukan apa yang sebenarnya jadi bagian bahagia untukmu," Bunda dengan segala katanya selalu berhasil menangkan ku.

"Kita sama-sama tidak punya kekuatan besar untuk menentang ini semua. Kita sama-sama lemah. Bunda cuma bisa berharap semoga Natasha bisa menerima semuanya dan hidup dengan bahagia," tutup Bunda.

Kami mengakhiri obrolan siang ini dengan saling berpelukan. Saling meguatkan. Setelah itu Bunda pergi menuju tempat tujuan awalnya, dan aku kembali menghampiri Hisyam.

"Cape, ya, Bro?" tanya Hisyam dengan makanan penuh di mulutnya. "Makan yang banyak lo! Awas lo galau murung di depan gue. Gue ketekin sekarang juga!" ancamnya.

Aku menghela napas berat. Lalu sebisa mungkin tersenyum. Kata Mama tidak baik cemberut di depan makanan.

Hah, hari ini berjalan sangat lambat dan mengejutkan.

Sekali lagi, takdir memang tidak ada siapapun yang tahu.

Semoga besok hari, semuanya terasa baik untuk semua orang. Khususnya untuk aku dan Natasha.

__________

Guyss halloooo! Akhirnya ada lagi ide wkwk. Aku harap kalian suka, ya!

Gimana sama part ini? Maaf kalo kurang nge-feel. :')

Jangan lupa vote sama coment yaA!

Impossible || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang