3. MANDUL

1.8K 320 25
                                    

"Eh, kamu Nayla, kan?" tanya seorang wanita berhijab merah.

"Iya," jawab Nayla dengan ragu karena dia tidak mengenali wanita di depannya ini.

"Aku Susi."

"Oh, Susi."

Nayla baru ingat setelah wanita di depannya ini menyebutkan nama. Susi adalah salah satu teman sekelasnya dulu. Namun, Susi yang dulu sangatlah berbeda dengan sekarang. Dulu, wanita yang memakai gamis merah dan hijab senada adalah primadona kelas. Wajahnya masih cantik, malah semakin cantik sehingga Nayla tidak bisa mengenali, apalagi Susi sekarang memakai hijab. Ditambah lagi, Nayla tidak pernah bertemu dengan teman-teman sekolahnya selain dengan Ayra. Dan juga ini kali pertama dia ikut reuni.

"Eh, Sus, apa kabar?" tanya Ayra yang selesai memutari meja panjang untuk mengambil makanan.

"Aku baik, Ay." balas Susi.

"Sama siapa Sus?" tanya Ayra setelah memasukkan satu potongan daging ke dalam mulutnya.

"Sama suami dong. Eh, Nayla apa kabar?"

"Aku baik," jawab Nayla sambil tersenyum.

"Udah punya anak berapa?" tanya Susi dengan mimik muka penasaran.

Wajah Nayla sedikit berubah mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Susi. Dia menganggap jika setelah bercerai begitu lama, pertanyaan tentang anak akan membuatnya baik-baik saja, ternyata salah. Rasanya masih sama. Menyesakkan.

"Nayla belum punya anak," balas Ayra yang melihat ketidaknyamanan Nayla.

"Astaga... kok bisa sih?"

Nayla terdiam dan Ayra hanya bisa membuka mulutnya. Pertanyaan macam apa itu? 

Kok bisa sih belum punya anak? Memang Susi pikir anak bisa jatuh dari langit, batin Ayra mulai geram.

Nayla sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu, tapi bagi Ayra yang mempunyai anak tiga, tentu saja itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah dia dengar selama hidupnya.

"Emang kamu pikir bikin anak kayak bikin adonan donat, langsung jadi gitu," balas Ayra jutek.

"Ya, bukan gitu juga. Kan banyak juga usaha yang bisa dilakuin."

"Terus kalau Tuhan belum ngasih, kamu mau apa? Protes sama Tuhan?" balas Ayra semakin tidak suka dengan kalimat yang keluar dari mulut Susi.

"Ya, mungkin kamu mandul, Nay."

Ayra membuka mulutnya lebar. Ingin rasanya dia melemparkan piringnya yang berisi nasi dan rendang ke wajah Susi. Bisa-bisanya wanita di depannya berbicara seperti itu di depan sesama wanita pula. Di mana perasaannya? Tidak bisakah Susi menjaga perasaan Nayla?

Nayla yang sejak tadi diam hanya bisa tersenyum kecil. Senyuman yang sedikit dipaksakan. Kemudian menarik tangan Ayra agar menjauh saja dari Susi, setelah berpamitan tentu saja.

"Kamu kenapa nyeret aku pergi sih?" protes Ayra yang tidak terima dengan sikap Nayla karena menyeretnya menjauh. Ingin rasanya dia menyiram wajah Susi dengan minuman yang ada di meja.

"Sudahlah. Jangan diteruskan, nanti malah berantem." Nayla membawa Ayra kembali ke meja mereka yang tadi ditinggalkan.

"Astaga, Nay...?" gerutu Ayra dengan emosi yang belum stabil tentu saja. 

Ayra tidak habis pikir, bagaimana Nayla hanya diam saja dianggap mandul oleh Susi. Apakah Nayla ini bukan manusia yang bisa marah atau setidaknya adu argumen dengan wanita bermulut tajam itu. Memang dari dulu Susi terkenal suka sekali mengadu domba dan memiliki mulut yang tajam meskipun wajahnya cantik.

"Penampilan saja boleh pakai gamis dan hijab panjang, tapi mulut tetep saja busuk," omel Ayra yang menatap ke arah Susi.

Nayla menggeleng mendengar perkataan Ayra. "Sudahlah, jangan ngomong kayak gitu, makan aja."

Nayla mengambil gelas yang berisi air putih dan meneguknya hingga tinggal separuh. Pahit. Meskipun itu hanyalah air putih yang tak mempunyai rasa. Dan ketika melewati tenggorokan rasanya seperti tertusuk duri. Bagaimanapun juga perkataan Susi tadi seperti sebuah pisau yang menghunus hatinya. Menembus luka lamanya yang sudah mulai kering. Nayla mungkin terlihat baik-baik saja, tapi tidak ada yang tahu jika hatinya kini berdarah lagi.

Sebutan mandul sudah melekat dalam dirinya sejak lama. Bahkan mantan suami dan keluarganya sudah menganggapnya seperti itu. Namun, mendengarnya sekarang setelah sekian lama membuatnya sesak. Ingin rasanya dia pergi saja dari ruangan yang mulai membuatnya kehilangan asupan oksigen.

"Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Ayra yang mulai khawatir karena melihat Nayla diam saja bahkan tak menyentuh makanan yang diambilnya.

"Nggak apa-apa, kok," jawab Nayla dengan tersenyum.

"Apanya yang nggak apa-apa, muka kamu tuh nggak bisa bohong. Aku labrak juga tuh nenek sihir." Ayra mulai emosi lagi.

"Eh, jangan," cegah Nayla sambil memegangi tangan Ayra.

"Kamu tuh, jadi orang jangan lempeng aja. Harus bisa membela diri kalau direndahin kayak gitu. Udah nggak usah bilang jaga hati orang, kalau mereka nggak bisa jaga hati kamu."

Nayla hanya menganggapi dengan senyuman. Ayra sudah mulai menceramahinya. Dulu, ketika Nayla diceraikan karena tak kunjung hamil, Ayra adalah orang pertama yang marah besar dan sampai ingin menendang kejantanan mantan suami Nayla. Bagi Ayra, mantan suami Nayla adalah orang terbangsat yang pernah dia kenal.

"Udah makan aja," ujar Nayla menenangkan.

"Halah, makan tuh makanan kamu kalau masih nafsu," potong Ayra. Dia benci jika Nayla trus saja ditindas.

Nayla melihat makanan di piringya yang masih utuh. Bagaimana dia bisa makan, kalau hatinya merasa tak nyaman lagi.

"Cabut, yuk!" ajak Ayra tiba-tiba.

"Loh kok buru-buru, kan acaranya baru aja dimulai." Nayla merasa heran karena tiba-tiba Ayra mengajaknya pergi. Jangan bilang karena kejadian dengan Susi, Ayra ingin mereka pergi.

"Persetan dengan acara, hati kamu perlu diobatin. Sebelum Mas Hendra telepon suruh pulang. Yuk, jalan, aku ajak jalan-jalan aja."

Ayra menarik tangan Nayla yang tidak memberikan protes sama sekali. Benar kata Ayra, hatinya perlu diobati. Jika, dirinya tetap bertahan di dalam ruangan yang membuatnya sesak, mungkin dia akan mati secara perlahan. Dia butuh udara segar agar otak dan hatinya tidak tambah terluka lagi.

"Loh, kok buru-buru?" tanya Akmal yang baru saja kembali dari toilet.

"Kita ada urusan, duluan ya," balas Ayra cepat dan Nayla hanya tersenyum sambil mengangguk.

Akmal melipat kedua tangannya di dada. Tadi, dia secara tidak langsung mendengar obrolan di samping meja tempat hidangan tersaji. Bagaimanapun juga, hati siapa yang tidak luka jika dibilang mandul.

Bukankah urusan jodoh, rejeki, dan mati adalah urusan Tuhan. Anak adalah rejeki. Jika, tidak kunjung diberi maka jangan salahkan Tuhan, apalagi melabeli seseorang itu mandul. Akmal paham, pasti Nayla sangat terluka. Terlihat dari raut wajahnya yang tadinya ceria saat mereka kenalan, tapi ketika pergi seperti menyimpan kesedihan.

Lidah memang tidak bertulang, bisa melukai siapa saja jika tidak bisa menjaga lisan.

Akmal menarik napas kemudian berjalan menuju pintu di mana Ayra dan Nayla baru saja pergi. Dia juga sudah malas ikut acara reuni yang cuma berisi pamer kesuksesan dan basa-basi busuk saja.

****

"Lidah lebih tajam dari pedang. Bisa membunuh tanpa menyentuh."

~**~

***

Terima kasih yang masih membaca cerita ini. Semoga tetap bisa lancar nulis dan update.

Stay safe di mana pun berada.

Love you all

Vea Aprilia
Minggu, 21 Februari 2021

Andaikan JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang