BAB 1

25 6 0
                                    

Dari kejauhan, aku memperhatikan sebuah tawa renyah yg terlontar dari mulut manisnya. Dia tengah tertawa bersama kawannya, sungguh terlihat alami dan sangat manis. Beberapa kali aku merutuki akal sehatkubyg terus terkagum. Cukup, cukup! Kenapa bisa sebuah tawa saja, membuatku hilang akal, dan kembali bersemangat  menjalani aktivitasku.

Aku menegakan badanku, saat aku melihatnya mulai beranjak pergi dari tempat. "Mau kemana ya?" Tak lama dari itu dia kembali dengan menggenggam sebuah air mineral di tangannya. Ah! Rupanya dia pergi hanya untuk membeli air. Aku hampir saja akan menyumpah serapahi dia karna meleos begitu saja.

"Anu!" teriak seseorang. Tepat sekali di telingaku.

Aku menoleh mendapati Melisa di sampingku.

"Jangan panggil aku pakai panggilan gak jelas, Mel!" kesalku.

Melisa nampak menahan tawanya sekejap. Dia lalu menatapku kembali.
"Maaf, Nu. Dari tadi kamu dipanggil gak nyaut-nyaut sih!" ujarnya.

Anugrah! Satu kata yg indah bukan. Sebuah kata yg pas untuk sesuatu yg berharga sepertiku. Ya, aku Anugrah. Jangan sampai kalian berfikir aku laki-laki okey! Aku seorang perempuan. Aku berambut sedang, atau bisa dikatakan panjang tidak tapi pendek juga tidak. Yah, kalian pikir sendiri lah yah. Kan, punya otak!

Dulu aku sering kesal, teramat kesal saat temanku mengejekku dengan panggil Anu atau Grah, ya kalau disatukan jadilah namaku, Anugrah. Saking kesalnya kadang aku bertanya dengan geram pada kedua orang tua ku, kenapa aku harus di beri nama Anugrah. Hanya Anugrah tak ada embel-embel lainnya gitu, dan jawaban mereka adalah, kamu anugrah. Anugrah berharga ayah dan ibu. Sesimpel itu, tapi aku cukup terharu mendengarnya.

Sampai aku pun bertekad, aku harus memperkenalkan namaku sebagai Anugrah dengan panggilan Nunu. Hanya itu panggila yang paling enak terdengar dari bagian namaku.

"Nu, jangan liatin dia terus kenapa!" kesal Melisa. Keningnya berkerut menampakan kekesalannya padaku.

"Semangat Mel, ketawanya bikin aku semangat." Sergah diriku.

"Dasar bucin akut! Inget dia itu lebih muda dari kamu dua tahun, Nu. Kamu mau apah di ledekin pacaran sama brondong."

Mendengar ocehan melisa membuat ku sedikit jengah, dia terus saja mewanti-wantiku agar tak terlalu jauh jatuh dalam pesonanya. Tapi  kenyataannya, aku malah tersungkur ke dalam cintanya lebih dalam dan dalam.

Mungkin karna ini cinta pertamaku, sebelumnya aku tak pernah merasakan sebuah getaran hebat di dadaku, saat ada seseorang yg mendakati pun aku tampak tak merasakan gejolak yg aku rasakan terhadapnya.

"Aku gak peduli, Mel. Mau dia lebih muda lima tahun pun jujur aku gak peduli." Ejekku dia terlihat sebal.

"Yuk, masuk. Bentar lagi bel masuk bakal bunyi nih!" serunya. Aku mengangguk menyetujui.

Sebelum guru pengajar memasuki kelas, terlebih dahulu aku memainkan ponselku dan melihat notif terakhir seseorang dalam salah satu aplikasi.

Tak sadar, sungguh jemariku mengeti- kan sesuatu kepadanya. "Lagi apa? Tadi kayanya bahagia banget." Send. Setelah- nya Aku menutupi wajahku dengan jemariku, rasanya aneh dan bahagia bercampur dalam hatiku

Hatiku tak pernah merasakan ini, berdesir sesekali bergejolak saat melihatnya.

Ini kah cinta, bahkan sedari SD sampai aku memasuki dunia SMP aku belum merasakan hal gila ini sebelumnya.

Tinggg,

Segera ku buka secepat kilat. Saat sebuah notif namanya yg tertera adalah dia, aku langsung membukanya. "Lagi bales chat Kaka nih." balasnya dalam pesan itu. Aku tersenyum.

"Hmm ...." Send.

Dan kulihat detik berikutnya dia hanya membaca pesan yg ku kirim. Ada sedikit kecewa saat kudapati dia tak membalasnya. Tapi semua rasa kecewa itu, pasti lenyap lagi saat aku lihat senyumnya saat nanti pulang sekolah.

Ya ... aku udah bucin akut!

Aku memberanikan diri untuk menghampirinya saat ia berdiri mematung di depan gerbang, hanya sendiri. Aku menghampirinya. "Sendiri aja, Mas. Gak kesambet kan?" godaku. Dia terlihat tersenyum lalu menoleh ke arahku.

"Hmm, Kak. Aku pergi dulu yah. Taxi-nya sudah datang!" serunya, dia tak tersenyum sedikit pun saat pergi. Aku heran, kenapa dia mencoba menghindariku.

Aku menghela nafas berat, saat hari-hariku berubah sangat drastis. Penyemangatku di sekolah selalu menghindar, bahkan kini nomor ponselnya tak bisa ku hubungi. Aku seperti mati rasa, setiap akan melakukan aktivitasku, tak ada sesuatu yg membangkitkan mood kembali.

"Ibram!" seruku. Dia tak menoleh sama sekali. Dia mempercepat jalannya.
Sungguh pria ini membuatku bingung, ada apa dengannya.

Ibram Syah, dia nama pria yg membuatku gila. Dia yg selalu membangkitkan mood baikku di sekolah bahkan di rumah juga. Dengan menatap foto di profil akun media sosialnya saja membuatku tersenyum tak jelas.

Bahkan aku menyimpan beberapa foto itu dalam galeri ponselku.

"Bram, kamu kenapa, Kok hindarin Kaka?" send. Hanya tertera ceklis satu disana. Sudah sepuluh pesan aku kirimi disana, tapi tak kunjung berubah menjadi dua ceklis biru seperti biasanya.

"Apa Ibram, ganti nomor yah?" gumamku.

Desas-desus di telingaku mulai terdengar. Melisa sahabat dekatku juga sudah menceritakan semua gosip yg ia dengar. Awalnya aku menamfik setengah mati semua yg dikatakan Melisa, walau aku tau dia adalah ratu up to date di kelasku. Dia akan tau  tentang gosip terbaru mengenai sekolah.

"Nu, apa kata aku bener kan! Si Ibram tuh gak suka sama kamu. Kamunya maksa aja sih ngejar-ngejar dia," kesalnya. Dia memarahiku layaknya, seorang ibu marah pada anaknya.

"Aku gak percaya sebelum Ibram bilang sendiri, Mel." Kataku tegas.

"Astaga dasar Batu. Batu bata!" ucapnya denga nada kesal.

Gosip itu membuatku jengah dan gelisah bersamaan. Apa benar, Ibram pacaran sama teman sekelasnya, apa benar! Kepalaku terus memikirkan gosip itu. Apa iya Ibram menghindari ku karna itu! Aku bingun.

Bel pulang sekolah terasa lama bagiku, padahal ini adalah jam terakhir pelajaran sekolah, tapi kenapa bel itu tak kunjung berbunyi juga!

Dan akhirnya setelah bersabar. Bel itu bersbunyi. "Ibram!" panggilku. Dia menghentikan langkahnya, aku tau kegiatan di organisasinya kini tengah sibuk. Mangkanya aku menunggunya di dekat taman sekolah, tentunya untuk membicarakan kebenaran gosip itu.

"Bram, kenapa ngehindarin aku sih!" aku melihat tatapan malasnya.

"Bram!" sentakku.

"Kak, aku boleh minta sesuatu dari Kaka," ucapnya.

Aku tersenyum, akhirnya dia berbicara kembali padaku.

"Boleh, apa yg kamu minta, Bram." Aku bersemangat saat mengatakannya.

"Kaka, jauhin aku. Aku gak suka Kak, kenapa Kaka gak pernah paham sih, aku gak suka. Tapi kenapa Kaka selalu paksain. Ingat Kak, Kaka lebih tua dari aku, aku gak enak untuk berkata kasar!" katanya dengan satu hentakan nafas. Tubuhku menegang kaku, mataku terasa perih dan sedikit kemerahan.

Aku tak kuat, aku menunduk lalu berbalik dan berjalan pergi. Tak terasa air mata ini menetes tanpa permisi. Air mata ini terus saja berjatuhan, aku sudah menghapusnya untuk kesekian kalinya namun tetap saja ia jatuh kembali. Kenapa, kenapa sesakit ini saat aku mengingat kejadian itu, ucapanya! Dan nada amarah yg ia lontarkan, memanah hatiku tepat dipusat terinti.

Aku juga malu, kenapa aku bisa sebodoh itu dengan terus memperjuangkannya. Sudah jelas tingkah dan perilakunya menunjukan ketidaknyamanan, tapi dengan pedenya aku terus menunjukan rasa cintaku padanya. Bodoh!
.
.
.
TBC

ANUGRAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang