"Nu, kamu bisa kan bantu saya." Mohonya, dia menatapku penuh harap.
"Aku gak bisa, Pak," jawabku. Ada rasa bersalah dalam hatiku saat menolak keingannya. Tapi, apa boleh buat jika yg dia ingin kan adalah menjadi kekasih pura-puranya.
"Kamu padahal harapan saya satu-satunya." Pasrahnya. Dia terlihat sangat lelah dengan tuntutan ibunya yg akan menjodohkannya pada wanita pilihan ayahnya.
"Kenapa harus saya, Pak. Di luar sana pasti banyak yang menginginkan, Bapak. Ya, walau pun pura-pura," balasku dengan sedikit ragu-ragu.
"Tapi, gak ada yg sesuai dan pas buat saya, Nu. Kamu gak tau sih gimana orang tua saya."
"Yaiyalah gak tau, orang bukan orangtua saya. Mana saya tau." Batinku.
"Eum ... tapi maksud saya, bapak kan bisa bayar wanita buat jadi kekasih pura-puranya." Aku mencoba memberinya solusi.
"Bener juga yah, kamu mau saya bayar?" tanyanya tiba-tiba. Dengan mode otomatis mataku membulat, dia gila apah! Aku kan sudah menolaknya di awal malah ditawarin lagi. Untung dia Bos.
"Maaf, Pak. Saya gak mau."
"Sulit amat sih, bujuk kamu!" tegasnya. "Oh, kamu punya pacara ya?" sambungnya.
Aku menggeleng dengan cepat.
"Engga, Pak." Elakku."Ah, bohong pasti kamu punya pacar!" tegasnya.
"Terserah Bapak lah!" seruku dengan malas.
Bos serasa teman ya gini, tak terlalu formal dan tak terlalu sopan saat berbicara. Sungguh sangat nyaman.
"Yaudah, Pak. Saya mau ngajarin anak magang lagi, tadi belum beres ngasih intrupsinya." Pak Bos tentu saja mengangguk. Aku pun pergi dengan sopan.
Kembalinya aku ke ruangan ternyata sudah di sambut dengan senyum menggelikan dari Daniel dan Sarah. Aku curiga pasti Daniel sudah membicarakanku bersama Sarah selama aku disana.
"Udah selesai?" tanyaku tentunya pada mereka berdua.
"Lagi istirahat." Spontan Sarah menimpali.
"Sayang tadi di apain sama, pak Bos?" Daniel berujar. Akal bulusnya sudah kutebak, pasti dia kepo!
"Iya, Nu. Kenapa kok, tiba-tiba dipanggil?" sambar Sarah juga.
Hadeh kenapa Sarah jadi seperti Daniel juga!"Yuk, beli makan dulu." Ajakku, sebenarnya bukan hanya ajakan sih, aku juga ingin menceritakan apa yg sudah kualami bersama pak bos tadi.
*****
"Jadi, dia deketin lo cuman mau lo luluh terus mau jadi kekasih pura-puranya aja!" tegas Daniel. Dengan cepat aku menyumpal mulutnya dengan tanganku. Biarlah sedikit kotor kena liur congornya, yang terpenting teriakannya tak terdengar oleh orang lain.
"Jangan keras-keras bego!" peringat Sarah. Dia melototi Daniel.
"Sorry, refleks."
"Kurang ajar bener, pak Aldo. Gue kira dia baik." Kesal Sarah tak terima.
"Kasian sayangnya aku," ujar Daniel. Tangannya terulur membelai pundakku.
"Niel, lo meper ya!" ketusku. Daniel tertawa tanda iya mengiyakan.
Kurang ajar!
"Kenapa sih, alesanya emang gak diceritain?" tanya Sarah kembali.
"Gue dilarang ceritain alesannya.
Sorry yah," mohonku. Mereka tentu menghela nafas sabar."Iya, iya deh!" balas Daniel dengan malas. "Oh iya, tadi lo sama anak magang lagi ngapain?" tanya Daniel.
Sejenak dia berpikir. "Tadi tuh namanya siapa?" gumamnya
kembali. "Yang mana?" Sarah menimpali."Yang tinggi putih itu loh!" serunya. Raut wajahku sudah mengkhawatir- kan.
"Oh, Ibram kalo gak salah!" Sarah menjawabnya. Keringatku benar-benar kurang ajar, terus saja bermunculan dikening bak lapangan bola ini.
"Enggak, kok. Gue cuman kebetulan ketemu aja disana. Gak lebih." Elakku dengan cepat. Daniel nampak kurang percaya. Dia terlihat kembali mengingat kejadian tadi.
"Tapi, gue tadi liat dia pegang tangan lo," sambungnya. Ucapannya berhasil membuat Sarah melirikku penuh curiga.
" ..., Eu- tadi tuh, baju gue kesangkut paku, nih buktinya sedikit robek," jawabku seraya berfikir.
"Ouh ...."
"Dasar kaleng rombeng si Daniel!" hatiku geram. Bagaimana tak geram, dia berbicara seenak jidatnya di depan Sarah pula. Sudah tau Sarah si pemikir kritis, dia akan terus bertanya selagi rasa penasarannya belum terjawab.
*****
Aku dan Sarah seperti biasa tengah menyiapkan bahan dan alat yg akan kita rancang untuk proses perubahan barang rusak menjadi baru. Kami juga mendata tiap barang yang akan kami rubah.
"Sar, itu botol plastik jangan lupa!" seruku mengingatkan.
"Kamu juga jangan lupa bawa kardus-kardus bekasnya yah. Aku ke dalam bentar," ujarnya. Aku mengangguk setelahnya aku pergi mengambil kardus sesuai intruksi Sarah.
Baru saja aku membuka pintu gudang, aku sudah disuguhi pemandangan yg luar biasa. Luar biasa melelahkan! Kenapa kardusnya banyak gini, tau gitu si Daniel aja yg ambil. Sial! Pasti Daniel tadi menolaknya karna sudah tau tentang ini.
"Lo aja yang ngambil kardus ya, Nu. Gue yang ngajarin anak-anak." Tawarnya padaku. Aku dengan cepat mengangguk lah siapa juga yang mau berhadapan kembali dengan dia khususnya. Lebih baik aku menghindar.
Aku mulai mengangkatnya, rasanya begitu berat. Tumpukan kardus yg kukira hanya satu atau dua ternyata salah, ada belasan kardus yang kini tengah kucoba angkat. Dengan berhati-hati aku berjalan membawanya, sampai keluar dari ruangan itu dan saat aku mulai tertatih saat membawanya tiba-tiba sebuah tangan meraih sebagian kardus-kardus yg tengah kupegang.
Aku kira awalnya Daniel yang menolongku, tumpukan kardus ini memang menghalangi pandanganku, dan ternyata saat kardus itu terangkat, aku menatapnya. Dia tentu menatapku juga manik kita menatap satu sama lain.
Dia tersenyum. Tersenyum kearahku, hal yang kuinginkan sejak dulu. Tarikan bibirnya yang melekuk, pandangannya yg lurus menatapku berhasil membuat hatiku berdebar hebat kembali.
Ah tidak! Tidak lagi. Aku menggelengkan wajahku untuk menyadarkanku tentang tindakaku yg salah ini. Dengan cepat aku langsung membuang wajahku sembarangan.
"Kak ...," lirihnya. Aku tak menoleh sama sekali. Aku ingin sekali berlari dan tak mau melihatnya kembali, tapi kenapa kakiku malah lemas dan tak ingin beranjak dari sana.
Respon tubuhku seakan merindukan- nya, hatiku juga kini menghianatiku dengan detakan luarbiasa seperti awalku mengenalnya dulu.
"Maaf, saya sibuk." Aku pergi
melewatinya. Syukulah pikiranku yang logis, membawaku untuk kuat saat melewatinya bahkan mengacuhkannya."Kak!" panggilanya kembali. Kali ini bahkan ia sedikit berteriak.
Aku berhenti mendengarnya, respon tubuhku kembali berhianat.
"Kak, aku minta maaf. Tentang kejadian dulu ...," lirihnya. Terdengar sedih. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya sekarang.
"Kak. Aku mohon, lima tahun ini, aku dihantui rasa bersalah, Kak!" sambungnya kembali.
Hal yg paling kubenci kini mulai kurasakan. Aku mulai menangis! Mendengarnya seperti itu kenapa aku tak kuat, harusnya aku tunjukan bahwa aku tak lemah, tapi mendengar permintaan maafnya membuatku sedikit terenyuh dan mengingat kejadian dahulu.
"Jujur, aku dulu tak pernah berpacaran dengan teman sekelasku sama sekali. Dulu aku bingung, benar-benar tengah bingung dengan perasaanku terhadap Kaka." Jelasnya. Kembali air mataku sedikit menggrnang di pelupuk mata.
"Aku bingung, aku menyayangi Kaka, sebagai Kaka atau ... lebih dari itu!" tegasnya.
Air mata sialan ini hampir saja jatuh, dan dengan cepat aku segera mengahapusnya. Tanpa berbalik dari posisiku, "sudahlah ... itu masalalu!" tegasku kemudian melangkah pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANUGRAH
RandomAku tidak ingin bertemu dengannya lagi, ini terlalu menyakitkan. Aku tau aku yg salah karena jatuh bahkan terperosok oleh pesonanya. Sedari awal harusnya aku sadar dia telah memberiku penolakan dengan cara halusnya. Tapi dengan tingkat kepedean dan...