BAB 6

0 1 0
                                    

Ini miliknya.

Segera kualihan gambar itu dari tanganku, aku takut. Aku takut sebuah ingatan masa lalu meluluhkan hati yg lemah ini kembali. Segera aku membuka lembaran baru gambar disana untuk mengalihkan perhatianku.

"Sar, yg ini bagus." Saranku. Sarah dan Daniel menoleh, dia menatap gambar yg tengah kupegang.

"Boleh," jawab keduanya. Aku tersenyum lantas berdiri dan mengacungkan hasil gambarnya.

"Ini milik siapa?" tanyaku.

Seseorang mengacungkan tangannya. "Punya saya, Kak."

Aku otomatis menyuruhnya kedepan. Sesuai janji awal, gambar yg terpilih akan langsung dibimbing untuk melihat proses pembuatan tas tersebut secara langsung.

Sarah dan Daniel tiba-tiba berdiskusi tanpa mengajakku. Aku melirik curiga kearah keduanya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Nu, satu lagi kata pak Bos. Yg ini kayanya bagus," ujar Daniel. Dia menunjuk tepat gambar yg kuletakan sembarangan tadi.

"Astaga, kenapa gue taruh paling atas sih, gambarnya." Batinku.

"Jangan yg itu," bisikku.

"Ini bagus, lho gimana sih!" tegas Daniel.

Karena sifat Daniel yg kekeh dan tak mau dibantah, ia memilih gambarnya. Aku pasrah, biarlah. Aku harus menerima kenyataan dan mengikuti takdir yg sudah tersurat untukku.

Kulihat segurat senyum saat Daniel menyuruhnya maju. Sepertinya dia tahu aku sedang kesal karena Daniel tak menuruti perkataanku.

Daniel dan aku membawa kedua peserta magang ketempat pembuatan tas yg berada sedikit jauh dari kantorku. Aku tegang. Tubuhku kaku, mulutku pun tak mau berbicara apapun. Gugup, sudah pasti. Bahkan hatiku merasakan sesuatu lebih dari itu.

Kenapa pak Aldo yg menyuruhku sih! Kenapa harus aku. Sepertinya dia sengaja memberiku banyak pekerjaan, mungkin dia kesal karena penolakan yg kulakukan waktu itu.

"Sudah sampai!" seru Daniel dengan semangat.

"Mari," ucapku. Keduanya mengekori langkahku dari belakang.

"Niel, nanti jangan keluyuran kemana-mana yah, tetap di samping gue!" tegasku. Rasanya aku tak sanggup harus terus berhubungan dengan anak magang yg berbeda ini.

Daniel tersenyum, dia menanggapiku dengan jempol yg mengacung.

*****

"Jadi setelah kain-kain ini di bersihkan. Nanti, akan masuk ke dalam sebuah alat untuk membentuk pola-pola garisnya." Jelasku. Aku seperti guide mereka yg tengah menjelaskan sebuah tempat pada wisatawan, tapi berbeda dengan itu, Aku disini sedang menjelaskan mengenai proses pembuatan tas daur ulang.

Saat penjelasan berlangsung, mau tak mau aku harus menatap satu persatu wajah anak magang itu, mata Ibram terus terpaku dan tak berkedip saat penuturanku sedang berlangsung. Aku mencoba mengkondisikan hati ini agar tak bergemuruh hebat.

"Sekarang kalian boleh lihat-lihat tas yg sudah ready kok!" seruku. Mereka mengangguk lalu berpencar satu sama lain.

Aku bernafas lega, akhirnya aku bisa menatapnya dan berkata lancar tadi. Sepertinya memang aku harus terbiasa akan kehadirannya selama enam bulan ini, aku harus bisa mengahadapinya. Aku harus bertindak tegas dan tak boleh terlihat lemah di depannya.

Saat mataku masih tertuju pada desain-desain tas yg sedang di packing, tiba-tiba sebuah tangan terulur menyentuh tanganku. Sontak saja aku menoleh.

"Lepas!" tegasku sambil melotot kearahnya. Siapa lagi kalo bukan Ibram yg membuatku marah.

"Aku cuma mau ngasih tisu," ujar lembut. Selembar tisu yg masih tertilap rapi ia serahkan padaku. Aku menerima dengan acuh dan tanpa menoleh kearahnya setelah itu.

"Makasih!" ketusku.

Dia tertawa. Apa coba yg lucu, kenapa tiba-tiba tertawa.

"Jangan ketus-ketus, Kak. Kalo cinta lagi gimana?" godanya. Tentu aku muak mendengarnya. Aku tertawa geli, mengacuhkan orang-orang yg menatapku aneh.

"Jaga bicara kamu! Ingat peringatan saya yg tadi."

Kini dia malah tersenyum. Astaga, kalo saja dia tersenyum seperti ini saat dulu, mungkin aku bahagia. Tapi berbeda dengan sekarang. Aku bahkan benci untuk menatapnya.

"Sana!" usirku. Dia menggeleng.

"Aku kesini buat lihat-lihat masa gak boleh," sahutnya enteng.

Aku malas menanggapi, aku memilih diam.

"Kak, Kaka tau saat tadi melepar gambarku dengan kasar, aku melihatnya." Wajahnya terus tertuju padaku.

Aku meliriknya sepintas. Lalu memilih diam tak menjawab.

"Aku rasa, Kaka sudah mengenali siapa pemilik gambar itu!" serunya.

Aku masih diam.

"Aku tau, kenangan dulu tak bisa Kaka lupakan. Iya kan?" tangannya dengan lancang menggeser wajahku untuk menatapnya.

Kurang ajar. Batinku menggeram.

"Kak, aku mohon jangan siksa diri Kaka seperti ini," ucapnya.

"Maaf atas kesalahanku dulu, Kak." Lanjutnya.

"Aku bodoh. Aku gak bisa bedain mana cinta mana pertemanan."

Ku alihkan wajahku kasar. Kenapa air mata ini harus datang sih! Mataku malah sudah memerah dan sudah siap meluncurkan air mata. Bodoh! Jangan menangis disini.

Daripada harus malu karen tiba-tiba air mata ini berjatuhan tanpa sebab, lebih baik aku pergi. Dengan langkah tegasku, aku pergi mencari keberadaan Daniel yg menghilang bak ditelan bumi.

Awas saja kau Daniel. Dia sudah berjanji untuk terus di sampingku tapi sekarang dia menghilang tanpa pamit pula.
.
.
.
.
TBC!

ANUGRAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang