[ 9 ] : Simbol Kota Saranjana

170 16 14
                                    

Hari masih siang, dan rencana Riana bisa dilaksanakan saat itu juga tanpa harus menunggu beberapa jam lagi. Namun, mereka harus pandai menyamar agar tidak mudah dikenali oleh warga asli Saranjana. Riana dan Rian keluar dari kediaman Riana dengan mengintip dari celah-celah yang ada.

Aman, terkendali. Para pesuruh pimpinan-pimpinan Saranjana itu sepertinya sedang menyisir daerah lain. Akhirnya, Riana langsung menarik Rian di samping untuk segera mengikutinya berlari cepat entah ke mana.

Pastinya, adalah museum tempat batu itu disimpan. Ya, Riana memiliki rencana untuk mengambil batu itu, dan meminta Rian untuk membawanya pulang ke Jakarta dan publikasikan. Itu memang mimpi Riana, tapi ia tidak lagi bertanggung jawab untuk hal itu dan menyerahkan kepada Rian.

Mereka berhasil tiba di lokasi tempat bebatuan itu disimpan. Dengan napas tersengal karena harus mengendap, berlari, merangkak, bersembunyi dan hal-hal menyamar lainnya yang benar-benar menguras energi, keduanya berdiri di depan museum itu.

Namun, Rian dan Riana sama-sama melongo begitu melihat bagaimana batu itu dijaga sedemikian ketatnya bak berlian termahal di dunia ini.

"K-kita bakal nyuri ... dari mereka?" Rian menelan ludahnya susah-susah saat melihat tubuh para penjaga yang dua kali besarnya dari aktor tergagah yang ia kenal, Dwayne Johnson.

"Wah ... gak gue duga, ternyata barangnya sepenting itu," desis Riana yang membuat Rian mendelik kaget.

"Itu simbol kota mereka, Na?!"

Seolah tidak memiliki harapan lagi, Riana menarik Rian ke tempat tersembunyi lalu berdiskusi di sana. Rian mengerutkan dahi heran, menunggu penjelasan dari Riana. Namun, perempuan itu malah melihat ke arah langit-langit senja yang menunjukkan kalau sebentar lagi, malam akan tiba.

Sejauh itukah perjalanan dari kediaman Riana menuju museum? Memang sejauh itu. Apalagi mereka tidak mengendarai kendaraan apapun, ditambah dengan aksi menyamar yang banyak membuang-buang waktu.

"Apa kali ini?" tanya Rian.

"Kita bisa ambil batu itu sekarang, kita cuma perlu mengalihkan perhatian mereka aja." Riana mengangguk-angguk meyakinkan Rian.

"Setelahnya?"

"Kita bakal sembunyi sampe besok pagi, sambil nyari tau gimana cara mulangin lo. Tenang aja, ini pasti aman, karena lo gak makan apa-apa yang wanita itu kasih, 'kan?" tanya Riana.

"Gue cuma makan makanan yang gue beli," jawab Rian.

"Yah, itu manusiawi. Oke, jadi ini rencananya ...."

•••

Lima penjaga yang masing-masing menjaga batu itu sibuk melihat dengan tajam kesana-kemari, mencari hal-hal yang mencurigakan. Hal mencurigakan yang mereka cari tiba dengan sendirinya, yaitu Rian, yang berusaha memancing kelima orang itu agar mengejarnya.

"Wah, batunya bagus sekali! Boleh pegang tidak, ya?" tanya Rian pada dirinya sendiri sambil mengulurkan tangan ke arah etalase batu berwarna biru itu.

Tak!

"Jangan usil, anak muda." Seseorang dengan wajah garang menatap Rian sinis.

Merasa kalau rencananya harus dipanaskan, Rian langsung menyentuh gagang etalase itu dan berusaha membukanya.

"HEI!"

Kelima penjaga itu langsung bergerak untuk mengejar Rian, dan Rian pun langsung kabur dengan cepat menuju lokasi yang Riana sebutkan sebagai tempat aman.

Katanya, ia sudah berjalan-jalan seharian penuh untuk mengenal kota ini, yang membuat ia merasa sangat nyaman.

Mengambil kesempatan, Riana langsung me,gambil batu ungu incarannya dan segera kabur dari sana tanpa menunggu apa-apa. Namun, Riana 'tak tahu, kalau ada mata-mata yang mengawasi bebatuan itu dari kejauhan.

Pruja SaranjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang