[ 1 ] : Jurnal Riana

591 36 34
                                    

Malam itu terlihat dingin oleh rintik-rintik hujan yang mulai rajin turun dalam beberapa hari ini. Di dalam sebuah gedung, terlihat seorang pria bertubuh tinggi yang sedang memandang keluar jendela besar di dekatnya dengan segelas minuman hangat.

Tatapannya kosong. Namun, ia beberapa kali menghela napas seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiran.

Pria dengan nama Rian, sesuai dengan name tag yang ada di dada kanannya, berbalik kembali dan menghadap meja kerja. Cukup berantakan, tetapi yang menjadi perhatian utamanya adalah ponsel di atas tumpukan kertas itu. Dilihat dari cara memandang, sepertinya ia sedang menunggu sesuatu muncul dari ponsel itu.

"Aduh, kenapa Riana ga ada kabar, sih?" ucap Rian dengan bergumam, lalu meneguk minuman hangatnya itu.

"Ini udah dua minggu, Na, katanya janji ngabarin?" gumam Rian kembali sambil menarik kursi dan mendudukinya.

Mata Rian melirik sebuah buku jurnal dengan sebuah tulisan tangan berantakan yang bertuliskan 'Belongs to Riana', sepertinya sang pemilik buku jurnal tebal dan besar itu.

Tiba-tiba, ia menggelengkan kepala malas dan melirik jam di laptop yang masih menyala. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, waktu dimana ia harus pulang ke apartemen. Akhirnya, ia memutuskan untuk merapikan meja dan bersiap-siap untuk pulang.

Akan tetapi, nama Riana kembali berputar dalam pikirannya. Rian mendengus dan menghela napas terus-menerus selama ia merapikan peralatan. Terakhir, buku jurnal milik Riana, yang sudah berada di tangan, siap untuk disimpan rapi olehnya di dalam laci.

"Jurnal ini gak pernah lepas dari tangan Riana selama sebulan terakhir sejak ceritanya soal batu itu ...," kata Rian dan mengingat kembali, betapa senangnya Riana saat mengetahui sesuatu tentang mitos asal Kalimantan Selatan.

.
.

-flashback start-

Suara derap langkah kaki yang terburu-buru di sepanjang lorong ruang kerja Rian itu cukup mengganggu beberapa orang. Rian sendiri tahu darimana suara itu berasal. Siapa lagi kalau bukan Riana, dengan segala informasi miliknya tentang penemuan baru atau ide berita baru.

Siapa itu Riana? Ia adalah senior Rian di tempatnya bekerja, seorang jurnalis yang sudah lama menuliskan naskah-naskah menarik, tetapi tidak pernah diakui keberadaannya. Tidak memiliki teman, selain Rian, dan lelaki itu sama sekali tidak keberatan. Baginya, Riana itu unik dan misterius.

Rian menarik sudut bibir, seolah tahu kemana langkah kaki itu akan berhenti. Ternyata, ia benar. Riana berhenti di sampingnya dengan senyum sumringah dan menarik kursi milik ia ke dekat Rian, bersiap untuk menceritakan sesuatu.

"Apa lagi?" tanya Rian dengan menaikkan satu alisnya.

"Gue ada ... bahan baru," sahutnya.

Rian mengangguk-angguk. "Sudah kuduga, apa?" tanyanya lagi.

"Tentang batu berharga asal Kota Saranjana, di Kalimantan Selatan," sahut Riana sambil membuka jurnal besarnya, dengan tulisan 'Belongs to Riana' yang cukup besar sebagai sampulnya. "Jadi, gue habis ketemu sama kakek-kakek ini, yang umurnya udah sembilan puluh tahun! Gila, kaget gak lo??"

"Ya, sangat," jawab Rian sambil mengangguk-angguk.

"Nah itu, awalnya gue kira dia bakal bahas sesuatu yang ngebosenin, atau mungkin cuma sekedar halusinasi, atau mimpi buruk gitu 'kan, ya? Ternyata ... diluar dugaan!" ujar Riana heboh.

"Oke ... dia bahas apa?"

Senyum Riana mengembang lagi, dan ia menunjukkan sebuah gambar batu yang cukup rinci. "Ini, sebuah batu,"

Pruja SaranjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang