0.4 : Davin ngeselin.

94 25 90
                                    

"Na, kenapa bisa gini sih," Selina membersihkan luka pada sikut Nina. Dia benar benar cemas, melihat bagaimana adiknya sendiri terpental karna di dorong temannya.

Nina meringis, sesekali meniupi sikutnya yang sedang di bersihkan oleh kakaknya itu. Rasanya perih, padahal tadi kayak gak berasa apa apa. "Aku gak apa apa kok, kak. Aku cuman ribut kecil aja sama Bianca tadi," balasnya.

"Ribut kecil kamu bilang?" Selina terlihat melotot pada Nina dan membuat gadis itu menunduk ketakutan. Selina kalau lagi marah itu serem, "dek, udah berapa kali kakak bilang. Kalau ada yang gangguin kamu jangan diem aja. Lawan dong, biar dia gak berani ganggu kamu lagi," lanjut Selina.

Jari jemari Selina meraih obat merah yang terletak di nakas UKS. Menaburkannya pada kasa yang kini membalut sikut Nina dengan rapih.

"Bianca tuh beda kak. Kalau aku lawan, yang ada dia malah makin menjadi," jelas Nina. Itu memang faktanya, Bianca itu bukan tipe orang yang takut kalau di lawan. Nina yakin, sekarang juga pasti dia lagi ketawa ketawa di kelas, walaupun Selina udah ngancem dia tadi, Bianca gak akan takut.

Mendengar itu, Selina hanya menghela nafas, menatap adiknya dengan tatapan pasrah. Selina udah capek ngomong sama adiknya ini. Lagian, gak ada salahnya juga kan, ngelawan orang yang jelas jelas gangguin kita? Daripada pasrah dan diem aja? Si pengganggu itu malah malah makin semena-mena nanti.

"Terserah kamu deh," balas Selina, "yang jelas, kakak gak mau liat kamu ribut ribut lagi sama Bianca. Buang buang waktu tau gak," lanjutnya.

Nina tersenyum manis melihat wajah kakaknya yang mulai di tekuk seperti itu. Kedua pipi tembamnya selalu mengalihkan perhatian. Nina tau, Selina khawatir akan kondisinya sekarang. Tapi, dia lebih khawatir lagi pada keselamatan kakaknya, Nina takut kalau target Bianca pindah ke Selina nanti.

"Udah selesai," kata Selina.

Nina mengalihkan pandangannya pada sikut yang sudah di balut rapih oleh kain kasa. Ini adalah hasil maha karya kakaknya, benar benar cantik. "Makasih kakak 'ku," ucap Nina.

Gadis itu memeluk Selina dan menenggelamkan wajahnya. Rasanya nyaman sekali seperti ini. Nina merasa, Selina adalah malaikat pelindungnya. Selina adalah kakak terbaik yang ia punya. Nina mencintainya.

"Sama sama," balas Selina.

****

Di sebuah ruangan kelas, laki-laki itu tengah termenung ketika yang lain mengerjakan tugas kimia hari ini. Entah apa yang salah dengan Davin, setelah dia pergi buat nyari Selina, moodnya tiba tiba turun karna gadis itu gak berhasil dia temui. Sampai sekarang Davin gak tau kemana perginya dia. Gak enak kan duduk sendirian gini, kayak jomblo.

"Dav, esay nomor 5 udah lom? Gua liat dong," kata Yunita. Dia menggoyang goyangkan pergelangan tangan Davin sambil merengek. Laki-laki itu dari tadi diem terus, Yunita kesel liatnya.

Davin mengerjapkan mata lalu menoleh ke arah di mana Yunita berada. "Boro boro nomor 5, nomor satu aja belom gua kerjain, Yun," jawabnya lesu, "nyontek aja ke Gilang, dari tadi dia anteng tuh ngotak ngatik rumus. Siapa tau udah di kerjain," lanjutnya lagi. Gilang yang di maksud Davin adalah cowok yang duduk di samping Yunita itu.

"Lang, nomor 5," katanya. Tanpa basa basi lagi, Yunita langsung nanyain jawabannya ke Gilang.

Gilang sempat menoleh, kemudian menyodorkan buku tulisnya ke Yunita tanpa bersuara. Gilang gak bisu kok, dia cuman pemalu. Laki-laki berkacamata itu kutu buku, dia lebih suka baca buku di banding ngobrol sama orang orang di sekitarnya.

Sebelas dua belas sama Selina sih. Cuman bedanya, Gilang itu kalau gak mau ngobrol sama orang, perginya ke perpustakaan, tapi kalau Selina perginya ke atap sekolah. Sefruit perbedaan 'kan?

I'm Your Colours [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang