Sudah terbit di JaksaMedia
Tersedia versi PDF, dm me 🥰
CERITA INI MENGANDUNG 100% UNSUR KEBAPERAN, HATI-HATI DALAM MEMBACA!!!
Menjadi anak dari pengusaha terkenal (Hanung Brawijaya) tidaklah mudah. Semua yang berkenaan dengan kehidupan ada di dalam...
Hello everyone, chapter 3 published!!! Makasi sebanyak-banyaknya buat yang selalu setia baca chapter-chapter cerita aku kali ini dan yang sudah vote serta komen itu sangat berarti sekali.
Happy Reading!!!! ****
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Satu minggu berlalu begitu saja dengan aku yang tak pernah keluar dari kurungan diri yang aku sengaja. Aku seperti tak bersemangat lagi untuk melanjutkan kehidupan. Apalagi yang pantas aku perjuangkan, jika sepatah kata pun aku tak didengar?
Mama membuktikan perkataannya. Benar saja, pernikahan ku akan diselenggarakan esok hari. Aku tak kuasa memberontak, takdir ku memang berada ditangan Papa dan Mama.
"Non, makan dulu Non. Sudah satu minggu Non hanya minum air putih saja." Mbok Ijah sedari kemarin memaksa ku untuk makan. Aku menolaknya begitu saja. Untuk apa aku makan jika mati adalah tujuan ku saat ini. Aku pikir jika aku mati itu akan lebih baik untuk diriku dan tentu saja untuk Papa dan Mama.
"Non, ayolah setidaknya satu sendok saja." pujuk Mbok Ijah lagi yang sudah memegang piring yang dipenuhi nasi dan lauknya.
Jika ada orang lain disini, mungkin mereka akan menganggap aku ini patung yang bernyawa. Aku sendiri menyadari, sejak kejadian kemarin aku tidak banyak bergerak. Aku hanya merenung meratapi kehidupan ku selanjutnya. Kehidupan yang sama sekali tak kuinginkan.
"Non, Mbok nggak mau dipecat hanya gara-gara Non nggak mau makan." ucap Mbok Ijah memelas kepada ku. Ia menyodorkan sesendok nasi berniat untuk menyuapi ku.
Aku langsung memalingkan kepalaku, "Mbok saja yang makan! Jika Mama dan Papa bertanya bilang saja aku yang makan." ucapku tanpa melihat ekspresi Mbok Ijah yang pastinya sudah kebingungan.
"Tapi Non-"
"Mbok tolong, saya sedang tidak ingin berdebat!" ucapku yang kemudian beranjak dari kursi menuju kasur. Aku langsung membaringkan tubuhku tepat ke arah balkon dan kembali meratapi nasibku.
Aku melihat Mbok Ijah yang akhirnya keluar dengan tangan kosong. Ia masih meninggalkan nampan yang berisi nasi dan air putih di atas meja rias ku.
Sudah aku bilang kan, saat ini aku tidak mau diganggu siapa-siapa. Dengan cepat aku mengunci pintu kamar ku agar tidak ada lagi yang bisa masuk kesini. Saat ini, aku memang benar-benar butuh waktu untuk sendiri.
Aku berjalan menuju balkon untuk meresapi udara yang sedari kemarin tak aku nikmati. Aku terlalu egois hingga untuk sekedar ke balkon saja aku tak mau.
Esok adalah hari pernikahanku. Seharusnya, hari pernikahan merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu bagi bakal pengantin. Namun, bagiku hari pernikahan adalah hari yang paling aku benci. Karena setelah pernikahan ini, bukan malah meringankan bebanku untuk berhenti berpura-pura bahagia. Setelah ini, kepura-puraan ku akan bertambah 2 kali lipat dan sudah ku pastikan kehidupanku selanjutnya akan lebih menderita.
Aku melihat kebawah, dihalaman banyak orang berkumpul mungkin untuk mempersiapkan acara besok. Semuanya mungkin merasa senang karena anak perempuan terakhir dari keluarga Brawijaya akan melepas masa lajangnya.
Ck. Sudah sangat aku pastikan, semua orang akan berpikir aku sangat menunggu hari pernikahan ini. Semua orang akan berpikir aku sangat bahagia dengan pernikahan ini. Semuanya terlihat mengenaskan.
Tragis! Hidupku sungguh tragis. Tidak ada yang tau bahwa aku menderita. Aku menderita!
Rasanya aku ingin berteriak dari atas balkon ini agar semua orang tau bahwa aku menderita. Namun, lagi-lagi semuanya hanyalah rencana belaka. Walau bagaimana pun, aku tidak mau mempermalukan Mama dan Papa. Jika saja semua orang tau aku tidak bahagia dan dipaksa untuk menikah, Mama dan Papa akan lebih menyiksaku. Mereka akan melakukan yang lebih dari ini. Akhirnya, tetap aku yang akan menderita.
Lagi-lagi, aku menangisi diriku sendiri. Seekor kambing hitam yang hanya dimanfaatkan.
Mataku tertuju pada gerbang rumah. Aku melihat mobil hitam berhenti dipekarangan rumah. Dari mobil itu keluarlah beberapa orang dengan mengenakan jas ditubuhnya. Tak ada yang masih muda, semuanya terlihat sudah berumur bahkan melebihi Papa.
Aku memandang satu persatu dari orang-orang itu. Apakah seseorang yang dijodohkan Papa dengan ku adalah salah satu dari mereka? Apakah yang akan menjadi suamiku orang yang sudah berumur seperti itu? Ya Tuhan. Jika memang benar, Papa benar-benar sangat keterlaluan. Jika memang benar lebih baik aku loncat saja dari balkon ini agar pernikahan itu ditiadakan dan aku akan lebih tenang di alam yang berbeda.
Aku kembali memerhatikan 3 lelaki tua itu. Apa mungkin laki-laki yang brewoknya hampir menutupi wajahnya itu yang akan Papa jodohkan dengan ku? Jika iya, apa yang Papa lihat dari lelaki itu, wajahnya saja sudah tidak kelihatan karena brewoknya yang terlalu lebat.
Atau laki-laki satunya dengan janggut yang sudah memutih di dagunya? Oh My God, umurnya saja sudah bisa ku pastikan lebih tua dari Papa.
Atau bahkan laki-laki terakhir yang tak memiliki rambut ditengah kepalanya?
Ya Tuhan, tolong sadarkan lah Papa sebelum hari esok jika memang seseorang yang akan dinikahkan dengan ku adalah salah satu dari mereka.
Apa jadinya jika memang benar yang kupikirkan ini terjadi? Jika aku memiliki anak, lalu anak-anak ku mau memanggilnya apa? Papa atau Kakek? Tragis sekali hidupku.
Aku memutuskan untuk memasuki kamar ku. Jika lebih lama aku berdiri di sini, pikiran liar ku akan semakin menjadi. Biarlah aku menenangkan diri, sebelum benar-benar bertemu dengan orang yang akan menjadi suamiku nanti.
Aku berharap pada saat pernikahan itu berlangsung, lelaki itu tidak bisa hadir agar pernikahan ini dibatalkan. Aku memang benar-benar belum siap dengan semuanya. Aku, perempuan 18 tahun yang seharusnya masih menikmati masa remajaku, harus menjadi dewasa sebelum waktunya.
Keadaan. Keadaan selalu menuntut ku seperti ini. Keadaan yang menjadikan ku dewasa, dan keadaan juga yang bisa merubah segalanya. Hanya keadaan yang bisa menolongku saat ini. Seperti yang ku katakan, tidak ada siapapun yang bisa menolongku untuk lari dari kenyataan yang sangat pahit ini.
Aku menarik selimut ku. Rasanya suhu tubuhku memanas, namun pada saat yang sama aku juga merasa kedinginan. Baguslah, lebih bagus lagi aku tidak sadarkan diri untuk selamanya.
Dentingan jam merasuki telingaku. Sepi, kamarku sangat sepi. Aku suka kesepian. Hanya kesepian lah yang tidak pernah meninggalkan ku. Kesepian adalah teman setia yang selalu ada, baik saat aku butuh maupun tidak. Kesepian tidak pernah menyakiti ku, dan hanya kesepian lah satu-satunya teman yang selama ini aku punya.
Lagi. Aku menangisi diriku lagi. Hidupku memang pantas untuk ditangisi. Bahkan hidupku juga pantas untuk ditertawakan. Aku tidak akan menyalahi siapapun yang melakukan hal itu padaku, karena memang aku pantas mendapatkannya.
Seketika, mataku sangat berat. Aku berpikir untuk menutup mataku dan berharap tidak akan terbangun lagi ke dunia ini.
Rest in peace Marina!
**** Keep healthy dear 😘
Jangan lupa vote dan comment nya di setiap chapter. Follow akun instagram @rjeuenenitea13 lalu tag apapun mengenai cerita ini, admin akan repost apapun yang kalian tag 😚🤗