Four

206 18 8
                                    

Disclaimer!! Cerita ini tersedia di Innovel / Dreame.

.

.

Kahfi membuka mata. Tangannya terulur, menyibak rambut-rambut Zahra yang menutupi kecantikan sang gadis. Lama mereka tertidur, langit bahkan sudah menggelap di luar sana. Begitupun dengan cahaya redup kamar yang tak diterangi pijat lampu. Keduanya terlalu lelah karena harus menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa.

Yash!

Waktu bergulir sangat cepat, hingga tahu-tahu saja mereka telah terdaftar di fakultas dan universitas yang sama. Hal itu tentu terjadi bukan karena kebetulan. Kahfi jelas menjadi dalang utama mengapa Zahra berada ditempat yang sama.

Orang tua Zahra?!
Mereka hanya pasrah saja ketika sang putri menginginkan melanjutkan studi di Indonesia. Dengan segala rayuan, akhirnya orang tua Zahra pun hanya bisa mengangguk setuju.

"Gelap gini aja gue masih bisa liat kecantikan lo, Ra." lirih Kahfi pelan, mengagumi sempurnanya kecantikan di wajah sahabatnya.

Zahra menggeliat. Perlahan matanya terbuka, meski samar ia masih bisa melihat senyum merekah di wajah tampan Kahfi. "Jam berapa, engh?!" tanya, Zahra lalu kembali merapatkan tubuhnya pada Kahfi.

"Nggak tauk. Tapi kayaknya udah malem." Kahfi mendaratkan ciuman-ciuman di kepala Zahra. Mengendus wangi sampo beraromakan strawbery yang biasa gadis itu gunakan untuk keramas.

"Wangi banget.. Abis nyalon ya tadi?!" tebak Kahfi tepat sasaran. Anak itu menanyakan teman perawatan Zahra. Dengan siapa sahabatnya menghabiskan waktu kali ini, karena biasanya Kahfi lah yang akan setia menunggu Zahra berjam-jam.

"Mamah lo tad..."

Kahfi terperanjat. Ia mengangkat sedikit kepalanya, lalu menatap Zahra dengan binar ingin tahu. "Mamah?! Kenapa nggak kasih kabar kalau mau jalan bareng?"

"Ra..." panggil Kahfi meminta jawaban. Tubuhnya bergulir, menimpa Zahra. Memerangkap gadis itu agar tak mencari celah untuk kabur.

"Tadi pas lo sibuk sama organisasi."

"Dia bilang apa, hemm?" Kahfi memainkan rambut-rambut Zahra. Ia tak akan pernah bosan meski sekalipun kelak Zahra akan memangkas rambut panjangnya.

Ingatan Zahra berputar, kembali pada adegan dimana Mamah Kahfi memintanya membujuk sang putra. Sebagai sahabat, Zahra tentu sama. Ia menginginkan semua yang terbaik untuk Kahfi. Termasuk urusan pendamping. Walau masih sangat muda, Kahfi kelak memang harus menikah. Membina rumah tangga agar bisa meneruskan bisnis keluarga. Zahra tak menyalahkan Damayanti. Wajar jika seorang ibu khawatir akan keberlangsungan hidup sang putra. Terlebih kedekatan dirinya dengan Kahfi memang terlampau membingungkan publik.

Aina..

Gadis cantik yang Damayanti bawa di salon begitu membekas dipikiran Zahra. Mahasiswi FK (fakultas kedokteran) itu Damayanti kenalkan sebagai calon tunangan Kahfi. Dimata Damayanti, sebagai seorang sahabat Zahra diperkenankan untuk mengenal Aina. Dengan begitu, ia akan leluasa menjadi mak comblang. Harap Damayanti masih segar diingatan Zahra.

"Fi.. Kenapa nggak nyoba liat dulu calon dari Tante Dam?"

Kahfi lemas. Ia menarik diri, membaringkan tubuhnya tepat disamping Zahra. Sungguh, Kahfi benci membajas perjodohan.

"Mamah bilang apa sama lo?!" cecar Kahfi. Setelah ini, Kahfi akan pulang. Ia tak suka mamahnya mendekati Zahra agar memuluskan perjodohan keluarga mereka.

"Cantik loh anaknya, Fi.. Calon dokter juga. Lo pasti suka deh! Tipe-tipe lo banget."

Kahfi bangkit. Ia memandang Zahra dengan sorot terluka. Harus berapa kali ia mengatakan pada gadis itu, jika selama hidupnya Kahfi hanya membutuhkan Zahra. Kahfi lantas mencari ponselnya. Setelah ketemu dia langsung saja menghubungi sang mamah.

"Stop ganggu Zahra! Berapa kali Fi bilang. Fi nggak mau nikah! Fi cuman butuh Zahra!" bentak Kahfi lalu memutuskan panggilan sepihak. Kahfi membanting ponselnya, membuat Zahra terperanjat lalu menyusul laki-laki yang keluar dengan bantingan keras pintu kamar mereka.

Zahra merasa bersalah. Ia tahu Kahfi tak suka dipaksa. Tapi bagaimana mungkin ia berdiam diri jika Damayanti begitu mendambakan pendamping untuk sang putra. Melihat Kahfi mengambil kunci mobil di atas meja, Zahra buru-buru menghadang laki-laki itu.

"Mau kemana?! Fi, lo nggak boleh nyetir pas emosi gini." Zahra mencoba menahan Kahfi. Nyatanya tenaganya tak sebanding dengan amarah Kahfi. Tubuh Zahra terdorong sampai membentur tembok, dan seolah tak merasa bersalah Kahfi berlalu begitu saja.

"Fi.. Tante cuman pengen yang terbaik buat lo!" lirih Zahra menatap pintu apartemen yang telah tertutup rapat.

*

Kahfi memutari kota Jakarta. Otaknya buntu mencari cara untuk mengagalkan perjodohan bodoh sang mamah. Tahu kah Zahra, jika ia menikah maka tak akan ada kebersamaan untuk mereka. Kisah mereka akan lenyap dan Kahfi jelas tak mau semua itu terjadi. Ia tak ingin Zahra atau dirinya dimiliki orang lain. Memusnahkan semua cerita yang telah mereka rangkai sedari kecil.

Tepat pukul sebelas malam waktu Indonesia Barat, Kahfi memarkirkan mobilnya di salah satu kelab bergengsi. Ia membutuhkan alkohol untuk menemani penatnya. Ia mendudukan diri di salah satu sofa, membuat pesanan besar-besaran untuk dirinya seorang. Biarlah malam ini ia kehilangan kesadaran sebelum akalnya terkikis ketika melihat Zahra di apartemen.

"Shit! Bangsat! Tahu apa lo soal tipe gue, hah?! Tahu apa, Sialan!" racau Kahfi setelah menandaskan dua botol Macallen seorang diri.

Kahfi kecewa. Sebagai seseorang yang begitu mengenal dirinya, mengapa Zahra tak juga paham. Mengapa gadis itu tak mengerti jika Kahfi tak menginginkan kehadiran sosok lain.

"Gue cuman butuh lo, Ra.. Gue nggak mau dijodohin. Gue nggak mau kehilangan lo!" Isak Kahfi sebelum kembali membuka botol ketiganya. Bak sang peminum ulung, Kahfi meneguk tanpa memperdulikan tenggorokannya.

Kali ini saja! Hanya kali ini. Di tempat yang bahkan tak ada seorang pun mungkin bisa mengenalinya, Kahfi ingin menumpahkan segala rasa. Di hadapan Zahra, ia tak bisa mengumkapkan betapa besar rasa takut dirinya. Jadi setidaknya, ia akan menggunakan waktu sebaik mungkin.

"Ra... Gue.. Gue cintanya sama lo.." lirih Kahfi teramat pelan. Suara lelaki itu teredam oleh hingar-bingar kelab. Tak ada satu pun yang bisa mendengar lirihan pilu Kahfi. Termasuk gadis yang ia cintai.

Kesadaran Kahfi rupanya semakin menipis. Lambat laun matanya terpejam meski bibirnya terus meracaukan nama Zahra.

"Bro.. Yang di situ kayaknya udah teler banget. Ke sana! Coba cek dia.. Tadi gue lewat ponselnya nyala terus." Salah satu pegawai Kelab menghampiri Kahfi. Benar saja, disamping lengan Kahfi ponsel yang laki-laki itu letakkan terus menyala. Menampilkan nama Zahra sesuai racauan sang pemilik.

"Halo... Zahra! Maaf yang punya ponsel teler. Bisa tolong dijemput?! Saya kirim alamatnya. Sedari tadi masnya terus manggil nama mbak."

"Zahraa.."

"Zahraa. Why?"

"Sabar ya, Mas.. Mbak Zahranya lagi mau otw katanya Mas.. Mas biar saya yang jaga. Biasanya yang ganteng gini suka diangkut cewek-cewek kurang belaian di sini." ujar salah satu pegawai kelab. Lelaki yang usianya tak jauh dari Kahfi itu mendudukan diri, mengambil beberapa botol yang belum sempat Kahfi buka. Lumayan rejeki menemani orang teler.



The Bond  of Friendship [END - Innovel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang