Disclaimer!! Cerita ini tersedia di Innovel / Dreame.
.
.
Zahra sekuat tenaga membopong tubuh Kahfi. Ia tak menyangka Kahfi akan menghabiskan waktunya untuk minum-minum. Untung saja tadi ada yang mengangkat panggilannya. Ia bisa menjemput dan membawa pulang Kahfi ke apartemen.
"Enggh..." Kahfi menggeliat saat Zahra menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. "Zahra.." racau Kahfi sembari memeringkan posisi. Kahfi seolah tengah mencari tubuh Zahra untuk ia peluk.
"Zahra..." tangannya lantas menggapai-gapai sisi ranjang. "Zahraa, hiks.." isak Kahfi merasa tak menemukan Zahra. Di dalam ketidaksadarannya pun Kahfi seolah rak rela jika Zahra menghilang diluar jangkauan.
Zahra memijit kepala. Nanti ia harus kuliah pagi dan Kahfi berulah. Membuat dirinya harus terjaga hampir subuh. Jika terus begini, rencana hidupnya akan terhambat satu-persatu.
"Panas..." Tak tega melihat kondisi Kahfi, Zahra menyalakan pendingin ruangan. Ia duduk disamping Kahfi. Membantu Kahfi yang terpejam untuk duduk.
"Lepas dulu kaosnya, Fi." ujar Zahra lalu menarik kaos Kahfi dari atas.
"Panas, Ra..." rengek Kahfi. laki-laki itu terus menggumankan rasa gerah dalam tubuhnya.
Kesal melihat Kahfi, Zahra melayangkan tabokan maut. Gadis itu terisak sembari memarahi Kahfi habis-habisan. Mendar itu tentu saja setengah kesadaran Kahfi langsung pulih.
"Ra.. Kenapa nangis, hmm?" Kahfi menarik kepala Zahra kedadanya. Mendararkan kecupan-kecupan seperti biasa. Berharap bisa menghentikan isakkan Zahra.
Bukan berhenti menangis, tangis Zahra justru semakin jadi. Gadis itu menyampaikan kekesalannya atas ulah Kahfi. Efek yang mungkin akan terjadi karena ia mati-matian menunggu Kahfi pulang.
Kahfi tentu saja langsung dilanda rasa bersalah. Ia tak menyangka jika Zahra akan setia menunggu kepulangannya. Belum lagi, Zahra yang murka melihat ia kembali dengan keadaan mabuk.
Kedua anak adam itu saling berpelukan tanpa kata. Hanya isakan Zahra dan elusan disepanjang punggung gadis itu yang Kahfi lalukan dengan harap mampu menghentikan tangis si gadis. Kahfi tak akan pernah paham, jika bukan hanya dirinya yang tersiksa. Lelaki itu menumpukan semua salah pada Zahra. Tak mau tahu jika sudut hati Zahra ikut tercabik oleh permintaan sang mamah.
Zahra bukan tak perduli. Ia teramat perduli pada Kahfi. Ucapan dimana Damayanti mempertanyakan kasih sayang gadis itu pada sang putra terus menyambangi setidak hembusan nafas Zahra. Bagaimana jika apa yang Damayanti katakan akan terjadi nanti?! Kalau Kahfi menjadi gila?! Kalau Kahfi akan hidup sendirian jika dirinya mendapatkan pendamping lebih dulu.
Melepaskan rengkuhan Kahfi, Zahra diam. Menatap lelaki itu tanpa ada satu patah katapun yang terlontar dari bibirnya. Jemari Zahra terangkat. Membelai lembut pipi hingga rahang Kahfi.
'Dia membutuhkan orang lain Zahra. Tante takut, kelak jika kamu jatuh cinta pada orang lain anak satu-satunya yang Tante punya akan gila. Setidaknya ijinkan Tante melindungi putra Tante dari keinginannya hanya memiliki kamu. Kamu nggak bisa jamin kan, tidak akan berpaling dari Kahfi kalau kamu menemukan orang yang kamu cintai?!'
Apakah ia akan meninggalkan Kahfi nantinya? Apakah Kahfi benar akan gila jika seandainya ia menemukan lelaki yang mampu membuatnya berdetak karena cinta?!
Zahra terlalu larut dalam bayang-bayang kalimat Damayanti. Ia bahkan tak sadar jika bibir kenyal Kahfi telah mendarat sempurna. Memanggut miliknya dengan lembut. Tak memberikan sedikitpun celah agar keduanya terlepas.
"Gue pengen lo, Ra.." Bisik Kahfi setelah ciumannya terlepas. Kahfi menyatukan kening mereka, dengan jemari yang terus saja membelai tengkuk Zahra.
Nyatanya tak pernah ada penolakan dari Zahra. Mereka kembali menyatukan diri. Saling mengecap banyak rasa dari indera perasa mereka. Melanjutkan malam hingga matahari malu-malu menyembul, seakan enggan mengganggu aktifitas antara pasangan yang kini bergelut membara di atas ranjang apartemen.
Kahfi mengerang hebat. Pengalaman pertama dengan wanita yang ia inginkan sukses menjadi penutup kalut. Kali ini ia tak akan membiarkan siapa pun merebut Zahra. Tubuhnya ambruk, menimpa Zahra yang seolah masih tersihir oleh waktu. Percintaan hebat telah mereka lalui. Desahan Zahra menyebut namanya adalah syair lagu terindah yang pernah Kahfi dengar seumur hidup.
"Kamu menakjubkan." bisik Kahfi. Ia masih setia mengecupi cuping-cuping Zahra. Tak memperdulikan alarm ponsel Zahra yang terus saja menggema.
Kamu?!
Entah apa yang merenggut lisan Kahfi sehingga mengubah kalimat panggil yang biasanya kekinian.
"Apa.. Apa yang udah kita lakuin, Fi?!" Bibir Zahra bergetar. Air mata saling berlomba jatuh dipipi putih wanita yang kegadisannya Kahfi ambil.
Kahfi tak menyesal. Alih-alih merasa bersalah, lelaki itu justru kembaki bergerak. Menyadarkan Zahra tentang artib kegiatan yang mereka lakukan untuk menjemput terbitnya sang raja cahaya. Kahfi terus mengayuh, mendendangkan segala pemujaan. Menyakinkan Zahra jika apa yang tengah mereka lakukan adalah bentuk terindah dari manisnya hubungan cinta.
Lima belas menit kemudian, Kahfi kembali ambruk. Setelah berulang kali ia benamkan semua harapnya pada tubuh indah Zahra. Tak akan Kahfi biarkan Zahra lenyap, meski si nyonya besar terus menjejalkan perjodohan. Selamanya mereka akan terus bersama. Mengarungi mimpi-mimpi besar untuk saling tak terpisahkan.
Zahra membersihkan dirinya. Setelah ini ia tak tahu harus melakukan apa. Kabur dari Kahfi jelas tidak akan mungkin bisa terjadi. Lelaki itu sempat mengutarakan kemarahan setelah pengusiran yang beberapa detik lalu ia lakukan. Kahfi tak akan mau pergi. Kahfi telah menjeritkan kepemilikan setelah malam hebat yang mereka lalui bersama.
"Kamu masih mau marah? Setelah kita lakuin ini atas dasar sama-sama mau?!" bengis Kahfi sembari menatap Zahra yang masih berbalutkan handuk.
"Keluar!" bentak, Zahra. Semua yang terjadi memang bukan sepenuhnya salah Kahfi. Tapi apa yang mereka lakukan jelas bukan tindakan terhormat. Terlebih lelaki itu akan ditunangkan oleh ibunya.
"Ra, kenapa kamu serumit ini. Aku tinggal bilang sama mamah. Clear! Mamah pasti akan nikahin kita, Ra."
Zahra menggelengkan kepala. Andai semudah itu! Zahra tak akan mengumpat setelah sadar dari biusan indah Kahfi.
"Nggak semudah itu Kahfi.. Tante, Tante udah ngelamar Aini! Mamah, Papah kamu udah nentuin tanggal tunangan kamu sama Aini! Aini! Gadis yang dia bawa ke salon!" jerit Zahra membuat ke dua mata Kahfi membesar sempurna.
Zahra ambruk. Di atas lantai ia terisak menyesali kebodohannya. Bagaimana ia bisa tersihir hingga digiring Kahfi pada lembah dosa. Laki-laki itu milik gadis lain, meski lisannya menolak. Zahra tak mungkin tega menyakiti wanita yang telah ia anggap sebagai ibu ke dua.
"Aku akan bilang ke mamah!" putus Kahfi lalu bangkit.
Zahra terlalu mengenal Kahfi. Laki-laki itu pasti akan mengamuk hebat. Memaki siapa saja yang membuat dirinya marah. Ia segera bangkit, menahan laju Kahfi.
"No! No! Kamu harus tunangan sama Aini! Gimana nanti kalau aku nemuin laki-laki yang aku cinta! Gimana nanti kalau kamu gila setelah aku nemuin pasangan hidup!" racau Zahra.
"Aku udah gila! Aku udah gila denger andaian nggak bermutu kamu!" jerit Kahfi murka. Kedua matanya memanas. Bahkan setelah apa yang mereka lalui semalam, Zahra masih memimpikan sosok lain dalam hidup wanita itu.
Hidup benar-benar sial!
![](https://img.wattpad.com/cover/257175635-288-k11210.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bond of Friendship [END - Innovel]
Roman d'amourWarning!!! Cerita ini diunggah sebagai bahan promosi Zahra dan Kahfi. Dua manusia yang tak pernah terpisahkan. Keduanya selalu bersama bahkan sejak taman kanak-kanak. Dimana ada Zahra, disana pasti ada Kahfi yang selalu mendampingi. Kebersamaan mere...