Bab 1.2

10 8 0
                                    

Cerita punya cerita, akhirnya aku pacaran sama dia dan seperti janjinya, setiap hari dia datang kesekolahku untuk menjemputku pulang bersama. Dan semakin hari kami pun semakin bertambah mesra. Tidak seperti sebelumnya, mungkin karena Jo masih menganggap aku hanya sebagai temannya saja, demikian juga halnya dengan ku. 

Dulu aku tidak berani terlalu bermanja-manja sama dia, tapi sekaranggggg??? Hahaha. Jangan ditanya lagiii. Yang ada aku selalu bergelayutan ditangannya. Kalo kata teman-temanku, terutama Vivian, aku seperti seekor monyet yang sedang bergelayutan pada tubuh tuannya.

“Si Jo sama si Daniel belum dateng sich. Aduhhhh lama amat sich?” Tanya Vivian setengah kesal. Sejak masuk SMP, aku punya lebih banyak teman dibandingkan di SD, tapi aku hanya dekat dengan Vivian. 

Vivian atau biasa dipanggil vivi, seorang gadis yang cantik. Dengan rambut panjangnya yang selalu terurai, dan wajah tirus yang dihiasi mata nan indah dan bibir kecil yang selalu tersenyum, membuat dia menjadi yang tercantik disekolahku. Jadi untukku, sungguh lucu kalau melihat dia cemberut seperti sekarang ini, karena dia terlihat seperti tikus.

“Ntar lagi kali Vi. Emang napa sich? Buru-buru amat?”

“Waduh Kiii, lu sich bener-bener temen kurang ajar yee, masa loe lupa sich Ki???” Tanyanya setengah marah. 

Aku terdiam, berusaha mengingat-ingat lagi. Tapi tetap saja aku tidak ingat. Akhirnya aku hanya dapat nyengir kaya kuda. Vivian sudah hafal dengan reaksi bloonku itu. Dengan menghela nafas dan setengah tidak sabar diberkata padaku “Hari ini gue lombaaaaaa Kiiiiiiiiiiiii”

“Ya ampunnnn Viii, gue lupa. duhhh sorry soryyy gue bener-bener gak inget kalo ini hari tanggal 8”

Vivian memang pernah memberi tahuku tentang perlombaan cerdas cermat yang diikutinya. Dia bersama dua orang temanku yang lain dikirim untuk mewakili sekolah dalam ajang lomba debat Sejakarta Pusat, karena Vivian berada diposisi ketiga dalam daftar anak terpandai disekolahku.

“Makanya gaullllll. Jangan ngurusin Volly yang gak fungsi guna kaya gitu mulu.”

“Wewwww. apa hubunganya sama gak gaul?”

“Biar tau sekarang tanggal berapa and ada kejadian apa”

“Iye bawel, tadikan gue dach bilang sorry. Lagian siapa yang gak gaul?”

“Iye, gaul loe cuma sama cowok doank. Sama cewek kaga. Giliran orang ngobrol, lu malah molor”

“Ehhhh yang gak fungsi guna tuh yang mana? Dari pada gue gaul sama tuh cewe cewe yang obrolannya ngejelekin orang doank, mendingan gue molorrrrr or volly-an. Nambah dosa gue aja ngegibahin orang.” Kataku setengah kesal.

“Eheehhheeeehhhh, sapa bilang ya kita cuma ngejelek-jelekin orang doankkkkk. Kita juga ngebahas pelajaran tauuuu” balasnya tak mau kalah.

“Ahhhh udah dechhh, sekarang loe mo ngoceh disini apa dipodium? Kalo loe mo ngoceh disini mendingan gw pulanggggggg. Kaga bakalan menang gw debat ma calon juara lomba”

“Debat kalah, kalo adu jotos aja lu baru menang.”

“Itu loe tau” jawabku ringan sambil berlenggang jalan, karena kalau tidak ku tinggal jalan, maka perdebatan diantara kami ngak akan selesai.

Vivian tahu kalau aku memang tidak suka atau tidak bisa adu mulut dengan orang, dari pada aku adu mulut mendingan aku adu jotos. Aku sendiri sering bingung kenapa bisa begitu. Padahal aku termasuk cerewet. Tapi kalo disuruh berantem adu mulut, pasti aku diam, apalagi kalau lawanku perempuan. Aku pasti ngak akan menang.

Beberapa waktu yang lalu aku ribut dengan kakak kelasku, cewek, karena dia cemburu padaku. Dia bilang padaku agar aku ngak cari muka sama cowok-cowok kelas 2 atau kelas 3. Dia bilang agar aku ngak usah kecentilan dan lain sebagainya. “Udah jelek tau diri sedikit” Begitulah katanya. 

Padahal aku tidak ada maksud sama sekali untuk ngedeketin kakak kelasku, tapi karena memang aku tamboy dan selalu main sama anak-anak cowok, dan anak-anak cowok yang seangkatan denganku selalu main bola dengan kakak kelasku, ya otomatissssss, aku juga jadi ikutan main dengan mereka.

Berbeda dengan teman-teman ku yang lain, mereka membalas dampratan kakak kelasku dengan ikutan ngoceh-ngoceh ngak mau kalah. Sewaktu kakak kelasku, yang ngedamprat ku itu ngoceh-ngoceh, aku ngak ngebales sepatah kata pun. 

Setelah kakak kelasku itu selesai ngocehnya, aku tanya sama dia “Udah kelar ngocehnya?”

“Ini anak kurang ajar banget sich!!!! Ngak tau diri banget. Eh bego, loe ngerti ngak yang gue ngomongin tadi?!!!!” tanyanya semakin sewot.

“Udah kelar belum ngocehnya?” tanyaku lagi. 

“Kalo udah kelar, pulang sana. Trus loe ngaca. Loe sama gue cakepan siapa??? Punya kacakan??” lanjutku dengan nada datar sambil beranjak jalan.

“Sialannnnnn loeeee!!!!!” Teriaknya ketika aku balik badan. Dan pada saat yang bersamaan, dia menarik tas sekolahku, maka reflekslah tinjuku mendarat di mukanya. 

Alhasil, masuk dech namaku dalam daftar guru Bp dan orang tuaku diminta datang kesekolah. Mamaku yang datang menghadap. Selain orang tuaku, orang tua kakak kelasku dan beberapa orang anak kelas 3, yang dianggap netral, yang melihat itu pun dipanggil keruangan guru Bpku. Untuk menceritakkan kejadian itu. 

Tadinya aku fikir, mamaku bakalan mencak-mencak padaku didepan guruku atau dirumah setelahnya, tapi ternyata dia diam saja. Malahan setelah dirumah dia bilang padaku sambil tertawa kecil “Kalo emang kaya begitu kejadiannya, emang perlu dihajar tuh orang” sontak aku langsung melongo kaya orang bodoh mendengar kata-kata mamaku itu.

Jadi begitulah ceritanya kenapa Vivian bisa bilang kaya gitu. 

Wupsss Vivian. Back topik to Vivian. Dia tampil dengan gemilang, tanpa cacat, walau pun wajahnya sempat memerah panas karena mendengar lawan debatnya berkata “Sekolah dengan biaya mahal sudah pasti mendapat materi pelajaran yang lebih baik dari pada sekolah dengan biaya murah”. Bukan Vivian namanya kalau dia ngak bisa ngebalikin kata kata lawan debatnya 

“Kalau menurut saya. Tidak semua sekolah mahal itu punya kualitas pendidikan yang baik. karena sekolah yang berkualitas itu tidak hanya memberikan pelajaran tentang ilmu pasti, tapi juga ilmu agama dan moral. Sehingga siswa-siswanya tidak selalu menilai segala sesuatunya dengan uang, karena uang tidak dapat membeli segalanya” kata-katanya itu langsung disambut tepuk tangan meriah dan decak kagum dari penonton. Bukan main bangganya pihak sekolahku, sampai-sampai kejadian itu dibicarakan oleh semua guru hampir setiap hari disemua kelas. Terlebih lagi, ketika hasil penjurian diumumkan beberapa hari kemudian, dan sekolahku dinobatkan sebagai pemenangnya.

Yang TertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang