Bab 2.1

6 6 0
                                    

Masa-masa mendekati ujian kenaikan kelas adalah yang paling menyiksa untuk ku, bukan karena aku bodoh. Aku termasuk siswa berprestasi di sekolah. Hanya saja, kalau lagi ujian, Jo selalu melarang ku untuk bertemu dengannya lama-lama. Dia selalu menyuruhku untuk belajar. Dia bilang agar nilai ku bisa sama bagus nya dengan dia. Tapi sebenarnya itu adalah hal yang mustahil, pasalnya dia selalu ranking 1, sedangkan aku hanya selalu nyaris masuk 10 besar. 

“Kenapa Ann?? Kok mukanya cemberut begitu??” Tanyanya. Aku menggelengkan kepala ku, “Gak mungkin gak apa apa. Orang mukanya kaya kertas lecek begitu. Kenapa??? Mama papa ribut lagi ya?” lanjutnya, dan aku mengangguk pelan “Aku gak mau pulang dulu yaaa.” Kata ku. 

“Tapi kan sebentar lagi mau ujian Ann” 

“Tapi kannnn percuma juga kalo aku belajar, sedangkan mama sama papa teriak teriakkan didepan…. Ya Joooo…. Jangan pulang dulu yaaaa” minta ku setengah merengek. Papa dan mama ku selalu saja bertengkar, jangankan masalah besar, masalah kecil sekalipun bisa menjadi ajang latihan lempar piring. 

Sebenarnya mereka pernah bercerai, karena papa pernah beberapa kali ketahuan selingkuh dengan wanita lain, dan itulah yang menyebabkan mama tidak pernah percaya lagi dengan apa yang papa katakan, walaupun papa berkata jujur, tetap saja dianggap mama hanya akal akalan papa. 

Dulu aku pernah bertanya sama mama, kenapa mama mau menerima papa kembali, jawaban yang mama berikan sangat singkat dan padat ‘karena mama masih cinta sama papa’. Padahal cinta itulah yang telah membuat dia menjadi sengsara seumur hidupnya. Padahal cinta itulah membuat dia menangis hampir setiap malam. Padahal cinta itulah yang membuat batinnya tersiksa. 

“Emmmm, Ya udahlah. Sekarang kamu mau kemana?” akhirnya dia mengabulkan keinginan ku yang terus merengek padanya. 

“Kemana aja deh, asal jangan langsung pulang” 

“Gak boleh kalo langsung pergi. Kita pulang dulu ke rumah, ganti baju terus pamitan sama orang rumah” dengan setengah enggan, ku anggukan kepalaku. Sebenarnya aku ragu, aku takut mama dan papaku tidak mengizinkan aku untuk keluar lagi. 

Sesampainya di rumah kulihat suasana sepi. Tak ada vokal sumbang yang terdengar hari ini. Yang terdengar hanya nyanyian Hetty Koes Endang. Itu berarti papaku sedang tidak ada di rumah. Karena kalau ada papaku, pasti yang terdengar suara Hetty yang bertolak pinggang, bukan Hetty Koes Endang yang berdendang. Aku langsung menuju kamarku dan berganti pakaian, lalu bilang ke mama kalau aku ingin pergi ke rumah temanku untuk belajar bersama. 

Aku menunggu Jo di depan sekolahku, setelah lima belas menit menanti akhirnya datang juga. Kami memutuskan pergi ke sebuah mall yang cukup terkenal di Jakarta. Taman Angsa adalah salah satu mall paling besar yang ada di Jakarta. 

Mall itu adalah satu satunya mal yang memiliki arena ice skating. Setelah puas keluar masuk dari satu toko ke toko yang lain, cacing di perut kami sudah tak dapat diajak kompromi. Mereka berteriak minta diberi makan, akhirnya kami makan di salah satu restoran siap saji ala Jepang. 

“Jo, Aku beliin hadiah nih” 

“Kan aku belum ulang tahun. Kok kamu kasih aku kado?” 

“Iya, aku kasih kamu hadiah, karena hari ini kamu udah mo ajak aku jalan-jalan” 

“Ohhhh gitu…” Dia mengambil kotak berwarna biru yang kukasihkan ke dia 

“Aku juga punya hadiah buat kamu Ann” katanya seraya memberikan kotak berwarna biru langit, warna kesukaanku. 

“Ini apa?” Tanyaku ketika dia memberikan kotak itu padaku. 

“Ini hadiah dariku, biar kamu gak sedih lagi”

“Kita buka sama-sama ya” kotak kotak itu kami buka bersama-sama. Dan begitu membukanya dia terlihat kaget sekali.

 “Kok hadiahnya bisa sama????” Tanyanya. Ternyata kami memilih hadiah yang sama. Sebuah cincin perak. 

“Wahhh bener bener jodoh nih… sini aku pakein ya.” Lanjutnya. Dia memakaikan cincin itu di jari manis ku. 

“Kamu mau janji satu hal gak Jo” Tanya ku 

“Janji apa??? Kalo aku bisa pasti aku janji” 

“Kamu bisa kan selalu ada didekatku?? Selalu datang kalau aku butuh???” Aku gak tahu kenapa, tiba tiba saja air mata mengalir dari mata ku 

“Iya aku janji. Aku janji akan selalu ngejagain kamu. Udah dong jangan nangis. Kamu tuch jelek tau kalo nangis. Aku lebih suka melihat kamu tersenyum dan tertawa” 

“Kenapa ???”

“Karena kamu cantik kalo tertawa, dan senyum kamu itu adalah hal yang paling indah untukku. Makanya jangan nangis ya??” Aku hanya mengangguk pelan. 

Yahhh, bisa dibilang mungkin hanya kami anak SMP yang terlalu berfikiran seperti orang dewasa. Itu bukan karena kemauan kami, tapi karena keadaanlah yang memaksa kami berfikir seperti orang dewasa. 

Kehidupan yang seharusnya kami isi dengan canda dan tawa seperti anak anak seumur kami pada umumnya, kami isi dengan berfikir dan berfikir, sampai akhirnya beginilah kami, tua sebelum waktunya. Keadaanlah yang selalu mendesak kami memahami kehidupan yang sebenarnya. 

Terkadang aku iri melihat teman teman yang memiliki keluarga yang harmonis, melihat teman teman ku yang selalu bisa tertawa dengan lepas tanpa beban. Iri melihat teman teman yang selalu ingin buru buru pulang karena harus pergi dengan orang tua mereka. Sementara aku??? aku tidak punya keluarga yang harmonis, papa dan mama ku hanya tahu bagaimana memaki satu sama lain dengan benar atau hanya tahu bagaimana cara melempar piring yang baik. 

Sebenarnya keadaan keluarga Jo lebih baik dibanding keluargaku. Papa dan mamanya jarang bertengkar, malah kalau aku bilang, keluarga Jo keluarga yang harmonis. Tapi entahlah, Karena setiap aku tanya soal keluarganya atau soal masalahnya, dia hanya bilang kalau dia sama denganku dan kalau kudesak soal itu, dia hanya berkata “Tunggulah sampai waktunya, nanti kamu akan tau sendiri”.

Yang jelas, kami selalu membawa beban dipundak kami. Itulah keadaan yang membuat kami percaya bahwa hidup itu tidak seindah komik yang kami baca.

Yang TertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang