06

22 5 41
                                    

"Baiklah, anak muda, berceritalah."

Rose menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar amat kencang. Ia mencoba untuk tidak gemetar ketika ia menceritakan kesaksiannya akan kejadian yang merenggut nyawa Reva.

"Saat itu, kami dikepung. Aku tidak bisa melihat jelas wajah beberapa dari mereka karena mereka memakai tudung jubah. Tapi aku mengenali wajah-wajah yang dapat ku lihat. Salah satunya pria tadi, Sebastian."

Suara kursi yang bergesekkan dengan lantai berasal dari Natania. Gadis itu kini berdiri dengan kedua telapak tangannya ia tekankan di atas meja. "Apa kau menuduh Sebastian ambil peran atas kematian Reva? Jangan sembarangan! Ia orang baik, sialan!" Natania berkata dengan nada tinggi.

"Natania, duduk." Annie memperingati. Namun Natania justru dengan tidak beretikanya menunjuk-nunjuk Rose, "tidak, aku tidak akan duduk diam mendengar iblis kecil ini me—"

"Natania!" Seru Zara. Ia menggapai tangan Natania yang menunjuk Rose, menariknya paksa untuk turun. "Duduk," kemudian ia semakin menarik lengan Natania ke bawah hingga akhirnya Natania pun kembali duduk. Natania merasa seperti anjing peliharaan sekarang.

Annie menyuruh Rose untuk melanjutkan ceritanya.

"Kami diserang tanpa alasan yang jelas. Sebastian-mu memang tidak ikut menyerang kami. Ia bersama orang-orang tak bertudung lainnya, mereka hanya memerhatikan kami bertarung tanpa berbicara atau melakukan sesuatu untuk menolong kami. Hanya diam, dan melihat." Setelah kalimat terakhirnya, kondisi Rose terlihat semakin membaik. Ia sudah tidak lagi memandang gugup kepada mereka.

Sekiranya Rose sudah berhenti bercerita, hampir semua orang yang berada di sana mengangkat tangan mereka. Memang itulah kebiasaan yang mereka terapkan saat sedang berdiskusi di meja makan serba guna ini.

Karena banyaknya orang yang mengacungkan tangan, maka Annie, sebagai yang tertua, menunjuk Nasya untuk berbicara pertama. Nasya melontarkan sebuah pertanyaan kepada Rose, "orang-orang yang tak bertudung, apakah mereka laki-laki, perempuan, atau keduanya?".

"Keduanya. Jika aku tak salah hitung, ada tiga lelaki dan satu perempuan yang tak bertudung. Sedang yang bertudung sekitar delapan orang atau lebih," jawab Rose.

"Apa kau mengenali salah satunya? Selain Sebastian, maksudku."

Rose menggeleng dan memberikan tatapan bersalahnya. Namun setelahnya ia berkata, "tetapi kita bisa bertanya kepada Sebastian, ia berada di sana bersama mereka. Setidaknya ia mengenali salah satu dari mereka."

Kemudian hening. Masing-masing mata memandang Natania, seolah meminta izin. Natania membalas tatapan mereka dengan pandangan seolah mengatakan, 'kenapa memandangku seperti itu?'. Ia jenuh. Mesti berapa kali dirinya harus mengatakan bahwa ia dan Sebastian hanya bersahabat, bahkan sudah menganggap satu sama lain sebagai adik kakak. Lagipula ia tahu, teman dekatnya menyukai Sebastian. Walau ia tak pernah diberi tahu, tapi ia sudah hafal betul setiap tingkah laku teman yang selalu hidup bersamanya itu.

"Aku penasaran, kenapa pula kau ingin ke atas saat itu? Maksudku, bahan makanan sudah dikumpulkan oleh si kembar, dan kau belum lama berada di sini jadi kurasa tak mungkin kau memiliki suatu urusan di atas," tutur Tiffany panjang lebar.

Rose terdiam sesaat, "sebelumnya aku ingin meminta maaf kepada Zara, memang akulah yang mencuri ramuan mu—"

Sang penyihir bangkit dari kursi dengan amarah yang menggebu-gebu. Ia membantingkan tangannya ke meja dengan cukup keras, "sudah kubilang, ia pencuri!!! Aish, sialan, astaga, ya ampun, jaga ucapanmu, Zara!"  Gadis bersurai violet sebahu tersebut menampar-nampar pipinya pelan di akhir kalimatnya. Kemudian ia kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan kasar, sehingga menimbulkan bunyi thump lumayan keras.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang