02

46 4 66
                                    

Suasana kembali hening. Terdengar suara guntur dari atas sana. Tak lama terdengar suara peluru yang ditembakkan. Suaranya seperti suara pada senapan. Annie dan yang lainnya seperti terkejut, menatap bertanya kearah langit-langit. Mereka mulai panik.

"Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Apa yang sedang mereka rencanakan?"

•••

Keadaan didalam bunker terasa mencekam. Bunyi senapan menembak itu masih terdengar dengan jelas. Sampai pada akhirnya, sesuatu jatuh membentur tanah. Suara senapan itu tak terdengar lagi.

Mereka masih menatap was-was ke langit-langit. Sekiranya suasana mulai lebih tenang, beberapa dari mereka menghela nafas lega.

"Aku akan mengeceknya. Tiffany, Zara, Nasya dan Felicia ikut aku. Natania berikan aku senjata terbaik," perintah Evan. Pemilik nama-nama yang disebut olehnya tadi pun mengangguk. Mereka pun mempersiapkan barang keperluan mereka. Dan Natania pergi ke suatu lorong untuk mengambil benerapa senjata yang ia buat.

Tak lama, Natania kembali dan melemparkan sebuah pedang panjang kepada Evan. Dengan tangkas, Evan menangkapnya tepat di pegangan pedangnya.

"Apa kau tidak punya senjata yang lebih keren seperti senapan dan semacamnya?" Evan membolak-balikkan pedangnya, menatapnya dengan penuh intimidasi. Seolah-olah menilai pedang itu setiap inchinya.

"Dengar, aku ini pembuat senjata-senjata yang tak berpeluru. Jadi, aku tidak punya dan tidak membuat senapan," Natania bersedekap dan menatap Evan dengan tatapan muaknya.

Malas menanggapi Natania, Evan mengajak ke empat kawannya itu untuk bergegas keluar bunker.

"Hei, bocah!" Seru Natania.

Ketiga perempuan yang berada di tempat yang sama dengan Natania pun menoleh. Mereka menatap Natania dengan pandangan bertanya. Natania menepuk dahinya, tak percaya bahwa teman-temannya yang lebih seperti keluarga ini ternyata bodoh.

"Astaga! Aku memanggil bocah, kalian dengar itu? Apa kalian berdua merasa muda seperti bocah?" sindir Natania sembari menunjuk dua orang yang dimaksudkannya, Reva dan Annie. Sekarang Rose lah yang menatap Natania dengan pandangan bertanya.

"Apa kelebihanmu?" tanya Natania tanpa basa-basi. Pertanyaan tersebut sontak membuat Rose semakin bingung. Keadaan berubah canggung.

"Apa tidak terlalu cepat bertanya mengenai hal itu sekarang, Nat?" Reva berusaha menghentikan Natania untuk bertanya hal itu.

Natania menatap Reva seolah bertanya 'kenapa' kepadanya. "Lalu kapan kita akan bertanya padanya?"

Reva terlihat berfikir. Ia mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya. Lalu berkata, "mungkin besok pagi saat semua berkumpul untuk sarapan...?" dengan ragu-ragu.

"Baiklah," Natania menghembuskan nafasnya kasar.

•••

Sementara itu, di lain tempat...

Evan dan keempat gadis itu baru saja keluar dari bunker. Keadaan hutan pada malam hari sangatlah gelap. Jadi untuk memberi penerangan, Evan mencipratkan api dari tangannya ke ranting pohon yang telah jatuh.

Pandangan mereka semakin jelas. Tak jauh dari tempat mereka berpijak, mereka melihat mayat seekor rusa tergeletak di tanah. Darah menggenang disekitarnya. Tubuh rusa itu penuh lubang dimana-mana, seolah baru saja ditembaki.

Pandangan beragam dilayangkan kepada mayat rusa yang mengenaskan tersebut. Berapa dari mereka menatap mayat rusa dengan pndangan terkejut. Sedangkan Nasya sudah ingin menangis melihat keadaan mayat rusa tersebut, sebelum akhirnya Evan bersuara, "kuatkan dirimu, Nasya."

OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang