05

25 5 54
                                    

So, before we start, i just want y'all to note that yang paragraf di italic berarti flashback woqe?

- - -

Kematian Reva meninggalkan luka di dalam hati masing-masing. Suasana di bunker sudah tak sehangat dulu. Mereka lebih sering memicing pada satu sama lain, seolah-olah menaruh curiga bahwa salah satu dari mereka adalah orang yang membunuh Reva. Namun seperti yang kalian ketahui, satu-satunya orang yang patut dicurigai adalah Rose. Karena ia bersama Reva sebelumnya.

Hari pun sudah berganti, namun mereka semua masih dalam masa berkabung walau sudah dua hari terlewat dari hari kematian Reva. Evan sempat mengamuk beberapa waktu sebelum pemakaman Reva.

——

Tubuh Reva terkulai kaku di tanah. Evan berteriak pilu sekencang-kencangnya. Air matanya sudah membasahi kedua pipinya. Kemudian ia berhenti berteriak, namun geraman penuh emosinya masih terdengar. Ia menatap nyalang ke arah Zara. Yang ditatap kini sedang menutup kedua mata Reva. Ketika Zara mendongakkan kepalanya, pandangannya bertemu dengan Evan.

Pandangan penuh gurat emosi dari Evan begitu menakutkan di matanya. Namun raut wajah Zara berbanding terbalik dengan perasaan takutnya saat ini. Air mukanya tidak menandakan adanya emosi apapun, hanya datar. Dan raut wajahnya itulah yang membuat Evan semakin naik pitam, entah mengapa.

Tangan Evan terkepal keras di kanan kiri tubuhnya. Ia bangkit, berjalan ke arah Zara.

Bugh

Sebuah kepalan tangan mendarat keras di pipi Zara. Ia syok. Sang pemilik tangan, Evan, pun syok. Semua orang yang berada di ruangan tersebut pun juga sangat terkejut melihatnya. Mata Zara membulat sempurna. Ini bukan Evan yang ia kenal, bukan Evan yang selama ini ia harapkan sebagai kekasihnya, bukan juga Evan yang selama ini sudah berperan sebagai sosok kakak laki-laki bagi ia dan teman-temannya.

Dapat terlihat bahwa pandangan Evan berubah menjadi pandangan penuh rasa bersalah untuk sesaat, sebelum emosinya kembali menguasai dirinya.

"KAU MEMBUNUHNYA! KAU DAN RACUN SIALANMU ITU!" Teriak Evan dengan amarahnya yang mendominasi. Zara semakin syok dibuatnya. 'Bukan, aku bukan pembunuh, aku hanya berusaha membantu, ramuanku tidak membunuh Reva, tidak,' pikir Zara. Ia mengangkat kepalanya dengan penuh kepercayaan diri.

"AKU TIDAK MEMBUNUHNYA, BRENGSEK! DAN JANGAN SEBUT RAMUAN-RAMUANKU RACUN!" Balas Zara dengan kesal.

"KAU MEMANGGILKU APA?!" Tangan Evan kini terangkat. Bersiap-siap untuk memukul gadis di hadapannya itu kembali. Zara, yang sudah pasrah, hanya dapat memejamkan matanya, menunggu pukulan tersebut datang.

Namun pukulan tersebut tak kunjung mendarat di pipi Zara. Ia pun mulai membuka kelopak matanya kembali. Ternyata Felicia yang menahan tangan Evan yang kini tergantung di udara. "Evan, sadar, Zara tidak bersalah. Dan lagi, Zara seorang perempuan, Van. Kau tidak seharusnya memukul perempuan," ujar Felicia dengan nada tenang yang tak biasa ia gunakan.

Alis Zara mengkerut. "Memang aku perempuan, TETAPI AKU TIDAK LEMAH. AKU TIDAK BUTUH BANTUANMU! BIARKAN SAJA EVAN MEMUKULKU!" Ia kesal. Zara sangat tak suka apabila dikatai lemah. Walau ucapan Felicia barusan tidak mengatakan bahwa ia lemah atau bagaimana, namun tetap saja, baginya itu adalah penghinaan.

Ia berjalan dengan menghentakkan kakinya kesal ke arah pintu. Natania yang melihat Zara berjalan keluar pun izin kepada Tiffany untuk menyusulnya barangkali Zara membutuhkan teman curhat. Setelah kepergian Zara dan Natania, keadaan kembali sunyi di ruangan tersebut. Tangan Felicia masih menggenggam erat pergelangan tangan Evan, yang tak lama akhirnya dihempaskan sendiri oleh sang pemilik pergelangan tangan.

OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang