Sore itu setelah menghabiskan waktu di Corso Umberto, semua peserta rombongan itu kembali ke hotel untuk beristirahat. Namun berbeda dengan Off dan Gun yang masih menghabiskan waktu bersama di pinggir pantai sambil menikmati pemandangan Isola Bella di malam hari. Sedangkan Tay dan Jane, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tay sibuk mengatur keuangan sedangkan Jane sedang sibuk mengabsen belanjaannya selama di Corso Umberto sore tadi.
Off dan Gun kini sedang duduk di atas pasir putih dengan dua pasang sepatu yang kini ada disamping kanan dan kiri mereka. Air laut yang terbawa arus sesekali menyentuh ujung-ujung kaki yang tak terbalut apapun itu. Angin berhembus lembut menerpa rambut mereka. Membawa sensasi hawa dingin yang menyenangkan.
"Gun..." panggil Off lirih.
"Hmm..." gumam Gun.
"Kurasa, saat paket tour ini berakhir aku akan merasa sangat hampa."
"Apa? Kenapa?"
"Aku akan kehilangan sebagian dari diriku."
"Kau ini bicara apa, Off."
"Aku juga tidak tau." Off merebahkan tubuhnya di atas pasir. Ia menutup matanya membayangkan jika paket tour ini berakhir maka Gun akan pulang ke Thailand dan mereka mungkin tak akan bertemu lagi.
"Kau sedang memikirkan sesuatu?" Tanya Gun yang kini menolehkan kepalanya ke arah Off dan melihat Off yang sedang merebahkan diri dengan rambut yang berantakan karena diterpa angin.
"Aku hanya membayangkan. Bagaimana kalau saat paket tour ini berakhir, kau pulang ke Thailand, lalu aku merindukanmu?"
"Kau bisa menghubungiku kapan saja, Off."
"Andai ada lebih banyak waktu yang bisa kuhabiskan bersamamu."
"Off, kau ini kenapa?"
Off kini kembali duduk. Ia menatap lekat ke mata Gun yang memandangnya dengan penuh tanda tanya. Ia meraih tangan hangat yang mungil itu berusaha menyampaikan perasaan yang selama beberapa waktu ini terus mengusiknya.
"Gun, aku tau ini terlalu cepat. Tapi, apa kau akan percaya kalau aku bilang aku mencintaimu?"
"Off, kita kan baru saja saling kenal? Bagaimana mungkin kau mencintaiku? Apalagi aku ini, sama sepertimu."
"Aku tau, tapi..." Off tak melanjutkan kalimatnya. Ia rasa lebih baik ia urungkan saja niatnya untuk mengungkapkan perasaannya itu. "Ah, sudahlah." Off melepaskan genggaman tangannya pada Gun, meraih sepatunya lalu beranjak pergi dari tempat itu. Meninggalkan si mungil dalam keadaan bingung.
Off kembali ke kamarnya dengan wajah frustasi. Membuka dan menutup pintu kamarnya dengan setengah menghentak. Kemudian merebahkan diri di atas ranjang hangatnya secara kasar lalu menenggelamkan kepalanya di antara bantal-bantal. Beberapa kali ia juga mengacak-acak rambutnya seperti orang gila. Membuat Tay yang sejak tadi berkutat dengan laptopnya kini mengalihkan pandangannya pada Off.
"Kau ini kenapa?"
"Aku merasa bodoh, Tay." Gumam Off yang masih menyembunyikan kepalanya dibalik bantal.
"Bukankah sejak awal memang seperti itu? Apa kau baru menyadarinya?"
"Sial, kau benar-benar sahabat yang tidak berguna." Umpat Off yang kemudian membuat Tay terkekeh.
"Jadi, apa yang terjadi? Ceritakan padaku." Tay kini menutup laptopnya dan fokus pada sahabatnya yang nampak seperti bayi yang sedang merajuk. Off kini duduk di atas ranjangnya dan tak lagi bersembunyi di balik bantalnya.
"Apa menurutmu terlalu cepat bagiku untuk menganggap perasaanku pada Gun ini adalah cinta?"
"Kau tau Off, cinta itu bisa datang kapan saja, dan kepada siapa saja. Saat perasaan itu datang, walau kau berusaha menolaknya setengah mati sekalipun, kau tak akan bisa. Kau pernah dengar tentang cinta pandangan pertama?"
"Kau benar. Tapi, perasaan itu datang bukan pada pandangan pertama, tapi pandangan kedua. Tapi Gun tak akan percaya kalau aku mencintainya. Apalagi, dia sama seperti kita. Dia bahkan sempat bilang bahwa dia menyukai Jane, jadi pasti dia normal, tidak sepertiku."
"Kau seperti bukan Off Jumpol yang kukenal saja. Off yang kukenal biasanya sangat percaya diri dan susah jatuh cinta. Tapi akhirnya, sekarang kau seperti cacing kepanasan karena seorang pria mungil seperti Gun."
"Dia sangat imut, Tay. Astaga aku sangat menyukainya."
"Kalau begitu nyatakanlah. Sebelum paket tour ini berakhir dan kau kehilangan kesempatanmu."
"Sudah." Ucap Off lirih.
"APA??" Tay kini berdiri dari tempat duduknya karena saking kagetnya. "Lalu bagaimana?"
"Dia tak percaya kalau aku mencintainya. Lalu aku sangat frustasi dan meninggalkannya di tepi pantai begitu saja."
"Aku tak menyangka kau sebodoh itu, Off. Harusnya kau buktikan padanya kalau kau mencintainya. Bukan malah meninggalkannya begitu. Hancur sudah reputasimu dihadapannya, pria payah."
Entah kenapa semua kalimat Tay itu terasa sangat menusuk bagi Off. Namun ia tak bisa menyangkalnya. Ia benar-benar merasa seperti seorang pengecut saat ini. Pria yang payah persis seperti yang dikatakan oleh Tay.
Dengan sedikit keberanian yang tersisa dalam dirinya, Off kini berdiri. Ia bertekad untuk kembali menemui Gun.
"Baiklah, akan kubuktikan bahwa aku mencintainya." Ucap Off mantap yang diiringi tepuk tangan dari Tay. Kemudian ia meninggalkan kamarnya menuju kamar Jane dan Gun.
Dengan sedikit ragu, Off mengetuk pintu kamar Jane dan Gun. Berharap Gun yang membukanya lalu mereka bisa pergi keluar bersama. Namun, harapan hanya sekedar harapan karena ternyata yang membuka pintu kamar itu adalah Jane.
"Oh! P'Off? Ada apa?"
"Gun mana?"
"Ku kira kau bersamanya? Ia belum kembali sejak tadi."
"Ah, kemana dia. Ya sudah, terimakasih." Off kini pergi meninggalkan kamar Gun dan Jane. Ia bertanya-tanya, kira-kira dimana Gun saat ini.
Akhirnya Off memutuskan untuk kembali ke tempat terakhir mereka bertemu tadi yaitu di tepi pantai. Berharap Gun mungkin masih disana menunggunya, atau sekedar menikmati angin dan pemandangan Isola Bella. Dan benar saja, sosok mungil itu masih di sana. Merebahkan diri di atas pasir yang dingin.
"Gun..." panggil Off lirih.
"Off, kau membali kesini?" Gun segera bangun dari posisinya dan Off kini duduk di sampingnya.
Sekali lagi, Off meraih tangan mungil Gun. Sedikit ada keraguan dalam dirinya namun ia berusaha menghilangkannya dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Gun hanya tersenyum melihat tingkah Off. Hatinya melunak melihat Off yang tampak ragu tapi berusaha sebisa mungkin menghilangkan keraguannya.
"Gun..." panggil Off lagi.
"Ya?" Jawab Gun
"Aku mencintaimu." Kalimat itu akhirnya keluar dari mulutnya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Ia berusaha menahan nafasnya menunggu sebuah kata atau kalimat keluar dari mulut Gun sebagai respon dari ungkapan cintanya.
"Terimakasih, Off."
"Kau mempercayainya kan? Bahwa aku mencintaimu?" Tanya Off yang kemudian dijawab dengan sebuah anggukan oleh Gun.
"Tadi aku sudah memikirkannya. Aku sadar, cinta datang tanpa mengenal waktu, Off. Bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Tapi, bagiku ini terlalu cepat."
"Asal kau mempercayainya, aku sudah sangat lega. Bagaimana kalau, kita coba dulu? Trial selama beberapa hari hingga tour ini berakhir. Lalu berikan jawabanmu di hari terakhir tour ini. Kau mau kan?"
"Trial apa?" Gun terkekeh mendengar sebuah istilah yang keluar dari mulut Off.
"Iya, trial. Kita coba jalani saja. Aku akan buktikan padamu bahwa aku benar mencintaimu. Dan akan kubuat kau mencintaiku juga." Ucap Off penuh semangat. Entah darimana datangnya namun kepercayaan dirinya kini telah kembali.
Gun tersenyum sambil menganggukan kepalanya yang kemudian dihadiahi sebuah pelukan oleh Off. Ia tak tau bagaimana perasaannya terhadap Off. Tapi jika ia pikir-pikir, Off selalu bisa membuatnya bahagia. Sehingga dengan sangat perlahan, ia membalas pelukan Off. Membuat Off kini tersenyum lega. Setidaknya ada harapan baginya untuk mendapatkan hati si mungil itu.
• Journey to The End of The World •
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to The End of The World [OFFGUN]
Fanfic[COMPLETED] "Aku akan menunggumu di ujung dunia." "Aku tidak akan datang." "Aku tidak peduli." Jika takdir telah menentukan bahwa kau milikku, aku yakin kita bisa berjumpa lagi. Bahkan jika itu di ujung dunia sekalipun. Casts: Off Jumpol Gun Atthaph...