SATU

6 0 0
                                    

Badanku membungkuk, tangan kutopang di lutut untuk menahan beban tas carier di punggungku, dan nafasku mulai ngos-ngosan. Aku sungguh menyesal telah mengiyakan ajakan dari sahabat tersayangku sepanjang masa. Kukira pendakian kali ini akan sama seperti sebelumnya, tapi itu hanyalah angan belaka. Di tambah lagi dengan kehadiran pacar brengsek dari sahabatku itu.

"Woi! Tepos buruan. Keburu malem nih," teriak Kak Fatah.

Lihat! belum apa-apa sudah body shamming. Sahabatku, Karin. di awal mereka berpacaran, aku menolak keras hubungan mereka. Aku sudah memperingati tentang predikat yang di sandang di jidat mulus Kak Fatah sebagai bad boy, tapi juga playboy. Memang dasar sahabatku itu tidak kuat iman. Dia termakan rayuan gombal seniornya itu. Kalau diperhatikan, memang Kak Fatah itu lumayan ganteng, tapi kalau membicarakan kelakuannya. Sangat jauh sekali.

Berbeda sekali dengan Karin, dia gadis yang manis, baik, ramah, dan suka menolong. Sangat bertolak belakang sekali dengan Kak Fatah. Aku sangat tidak rela sekali Karin berpacaran dengannya. Setidaknya sahabatku bisa mendapatkan cowok yang lebih baik dari Kak Fatah.

"Kok loe bisa sih jadian sama tuh kunyuk?"

"Don, cinta itu tidak mengenal tempat, waktu, wajah, dan sikap seseorang. Cinta pasti akan datang dimana pun dia mau. Kak Fatah tidak seperti yang dibicarakan banyak orang. Dia cowok yang gentle dan juga baik," tutur Karin.

"Cuih... prêt... gue enggak percaya."

Karin tersenyum, "nanti kamu juga akan merasakannya."

Mengingat itu, aku hanya berharap cowok yang akan menjadi pacarku kelak akan sesuai dengan kriteria idamanku.

"Eh, begeng. Bengong aja. Cepetan," Kak Fatah sudah berada di sampingku.

"Dasar cowok gila. Istirahat bentar kek."

"Loe tuh tiap jalan 10 menit minta istirahat mulu tauk."

"Bodo... emang gue pikirin."

"Udah... udah... jangan berantem," Karin menengahi, "Kakak duluan aja sama teman-teman. Biar aku temani Donna."

Aku tersenyum dan mengangguk menyetujui usulan Karin. Sahabatku memang paling kece, tidak pernah meninggalkanku sendirian di kala kecapaian.

"Mana bisa Yang. Kamu harus ikut sama aku sampai atas. Udah biarin Donna sendiri aja. Paling nanti dia bisa bareng sama pendaki lain," protes Kak Fatah.

Kedua tangan berkacak pinggang dan menatap kesal. Ingin sekali aku menggelindingnya sampai ke bawah.

"Jangan gitu Kak. Aku yang memaksa Donna untuk ikut. Sudah sana," Karin mendorong tubuh Kak Fatah menjauh.

Sepeninggal Kak Fatah, tinggal kami berdua. Aku menurunkan tas carier ke tanah. Tanganku memijat pelan pundak untuk menghilangkan pegal. Padahal beban yang dibawa tidak seperti lainnya. Aku mengambil satu biscuit dari tangan Karin. Hutan di pegunungan ini masih begitu asri. Terdengar beberapa kicauan burung.

Ini pertama kalinya aku mendaki gunung yang begitu sulit untuk di tempuh. Kebanyakan gunung yang di dakinya selalu mudah. Tidak begitu memakan energy. Ingin sekali menyerah dan meminta Karin untuk turun saja. Tapi demi harga diri, aku harus bisa menaklukkan gunung ini.

"Loh, kamu tidak ikut yang lain?" tanya Karin. Melihat Kak Fatah menghampiri mereka.

"Aku mana tega ninggalin kamu. Apalagi sama nih bocah krempeng. Bisa-bisa batal sampai puncak," Kak Fatah duduk di samping Karin dan mencomot biscuit.

"Tuh... liat. Cowok loe selalu cari gara-gara," aduku ke Karin.

Jari telunjuk sudah menjulur ke Kak Fatah.

"Pingin banget gue gelindingin sampe bawah," ucapku pelan sambil memalingkan muka.

Sepertinya Karin mendengar omonganku. Dia seperti menahan senyum sambil memakan biscuit. Dilema masih menjomblo melihat sahabatnya sedang berpacaran. Serasa dunia hanya milik berdua. Sedangkan aku hanya bisa menggigit biscuit.

"Lihat! Bukannya dia sudah di bilang in oleh kakek untuk tidak kembali daki gunung ini."

"benar... benar... untuk apa dia ke sini. Jangan... jangan... akan melakukan itu."

Suara apa itu, mataku mencari ke sekeliling tapi aku tidak menemukan asal dari suara itu. Padahal kita hanya bertiga sekarang. Dan suara itu bukan berasal dari Karin dan Kak Fatah yang sedang mengobrol sekarang. Suara obrolan itu terasa jelas sekali di telinga.

Secara tiba-tiba aku merasakan punggungku seperti ada yang memerhatikan. Kutengokkan kepala ke arah belakang, tapi tidak ada siapa pun. Tidak mungkin larangan yang telah kulanggar ayah dan bunda terjadi sekarang. Dari beberapa cerita seram mengenai gunung ini pernah kudengarkan dari teman kampus. Dari sudut mata, sekelebat bayangan melintas dengan cepat. Aku langsung menegakkan dudukku menjadi tegak dan sekujur tubuhku mulai merinding.

"Cus lah, kita lanjut," ajakku.

"Akhirnya... krempeng mau gerak juga."

"Hush... kamu tuh ya," Karin melerai.

Semua sampah dan bahan makanan yang tadi dikeluarkan dibereskan. Tidak boleh ada sampah yang tertinggal di gunung. Untuk menjaga kebersihan gunung dan tanggung jawab sebagai pendaki.

Kak Fatah berjalan di depan, sedangkan aku berada di bagian paling belakang. Perasaan itu masih ada, tapi aku berpura-pura untuk biasa saja. Aku memandang jalan tracing yang menanjak. Membuatku menghela nafas. Aku berusaha menyemangati diri sendiri untuk bisa menaklukkan gunung ini. Pemandangan di puncak akan sebagai hadiah dari perjuanganku.

"Kak, di sini enggak ada elevator apa?" tanyaku.

Kak Fatah tertawa, "Loe kira di sini mall."

"Biar cepet sampe gitu. Capek banget," nafasku mulai ngos-ngosan. Padahal baru berjalan sebentar.

"Bener juga. Loe udah berapa lama nggak muncak?"

"Kayaknya lumayan," jawabku sambil membenarkan letak tas carrier.

"Gue pringatin ya. Udah nggak ada kata istirahat lagi. Udah jam segini, bentar lagi gelap."

Kedua bola mata kuputar, jengah dengan perintahnya. Untuk kali saja, aku akan menuruti kata-katanya. Memang kuakui kita terlalu lama beristirahat tadi. Tidak sengaja dari sudut mata, aku melihat sesuatu di balik pohon. Wujudnya tinggi sekali dan berwarna hitam.

"Kak, gue di depan ya," menyusul ke depan.

"Kamu kenapa Don? Wajahmu pucat gitu?" tanya Karin.

Kepala menggeleng, "enggak apa-apa. Yuk, buruan. Biar cepet sampe," kakiku terus melangkah cepat tanpa menengok kiri kanan.


--

TBC

Desa PavatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang