DUA

1 0 0
                                    

Akhirnya sampai juga di pos perkemahan. Ternyata sudah ada yang membangun tenda dan membuat api unggun. Sepertinya sudah ada yang menyiapkan makanan. Sebuah keberuntungan sekali, sudah capek berjalan, dan cacing kremi di perut sudah berdemo meminta jatah makanan. Aku berjalan menghampiri mereka. mencomot makanan yang baru saja matang.

"Akhirnya kalian datang juga,"

"Akh... coba kalian datangnya nanti saja. Gue bakalan menang taruhan."

"Heh... sompret. Malah taruhan," aku melempar botol Aqua kosong ke cowok berambut gondrong.

Duduk ngedeprok di samping Tania tanpa melepas tas di punggung. Aku mengumpat di dalam hati, ternyata yang mendaki kali ini banyak yang membawa pacarnya masing-masing. Tapi setidaknya nasib menjombloku tidak sendiri. Ada beberapa teman kampus yang terlihat sendiri.

"Peng, loe enggak bangun tenda?"

"Nitip donk Kak,"

"Enak aja," Kak Fatah pergi menjauh.

Aku memberikan pandangan puppy-eyes ke Karin. Meminta bantuan untuk bisa membujuk pacarnya itu. Lagian Karin akan satu tenda denganku. Jadi tidak mungkin Kak Fatah akan menolak permintaan pacar cantiknya. Masa bodo, mau dibilang memanfaatkan. Badanku sudah capek banget, tidak mau bergerak.

Melihat Karin menghela nafas lalu berdiri menghampiri cowoknya. Sepertinya tidak berjalan mulus. Tapi tunggu sebentar. Akan kuhitung sampai tiga. Pasti Kak Fatah akan luluh.

"Donna, mana tenda kamu?"

Di dalam hati, aku sudah tertawa setan. Mendapatkan kemenangan.

Aku menyerahkan tasku, "ini, makasih ya," ucapku sambil tersenyum lebar.

Ternyata cowok itu bisa luluh juga sama pacar cantiknya. Aku kira dia bakal menolak dan memintanya untuk tidur satu tenda dengannya. Sambil tersenyum senang, pikiran licikku mulai mengelana untuk menjadikan tameng untuk menhadapi Kak Fatah.

"Don, loe kenapa? Senyum-senyum sendiri? Loe enggak kesambet kan?" tanya cewek berkupluk. Pundaknya di rangkul oleh cowoknya.

"Ah... enggak kok," jawabku cengengesan, "gue ke sana dulu ya," tunjukku ke arah danau.

"Jangan jauh-jauh perginya. Bentar lagi malam."

Sambil berdiri aku memberikan jempolku, "iya, bentar doank," Pantat kutepuk-tepuk untuk menyingkirkan butiran tanah dari celana cargo.

Melihat Karin membantu Kak Fatah mendirikan tenda kami. Terbesit rasa tidak enak terhadap mereka. Apa aku sudah keterlaluan tanpa membantu mereka. Tapi saat melihat cowok itu malah membuatku kesal. Langkahku lanjutkan menuju tepi danau.

Rasanya puas sekali melihat pemandangan asri pegunungan. Belum terkontaminasi oleh tangan-tangan jahil manusia. Udaranya juga begitu segar, seandainya udara di kota seperti ini. Aku tidak akan jauh-jauh ke sini.

Tapi kenapa bapak dan ibu melarangku mendaki ke gunung ini. Mereka melarang keras mendaki. Aneh sekali, baru kali ini aku dilarang mendaki. Biasanya mereka akan mengizinkan. Di saat aku bertanya alasannya, mereka tidak memberikan penjelasan yang memuaskan. Karena hal itu malah membuatku penasaran. Sampai aku berbuat nekat untuk bisa mendaki bersama yang lain.

Dengan modal menginap di rumah Karin, mereka membolehkan. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku dan Karin akan mendaki. Malam sebelum berangkat, aku menceritakan perihal keanehan bapak dan ibu pada Karin. Dia hampir saja membatalkan keberangkatan kita. Untungnya bujuk rayuku berhasil juga untuk meyakinkannya untuk tetap mendaki. Tentu saja dengan persyaratan. Bila terjadi sesuatu di pendakian, kita langsung turun ke bawah tanpa bantahan.

"Nayla."

Bukannya itu nama kecil ibu, pikirku. Aku memandang bingung ke seorang cowok berbadan tegap dan berwajah tampan.

"Maaf, saya kira kamu teman saya. Wajah kalian terlihat mirip. Sekali lagi maaf."

"Tidak, saya kenal nama itu. Walau sekarang nama itu sudah pasaran," ucapku, "kalau boleh tahu yang menggunakan nama itu seperti apa?" tanyaku sopan.

Sepertinya cowok itu tidak akan menceritakannya. Dia hanya terdiam, memandangiku.

"Tidak apa-apa kalau tidak mau menceritakannya."

"Dia gadis yang cantik sepertimu. Dari wajah dan penampilan pun sama sepertimu, dan juga..." terangnya.

Dari penjabarannya, aku sangat mengenal sekali sosok ini. Jangan-jangan yang dibicarakan itu ibu. Tapi bagaimana bisa. Ibu sudah lama tidak mendaki dan umurnya sudah tidak muda lagi. Kapan mereka saling mengenal, pikirku.

"Sepertinya sudah malam. Kamu kembalilah ke teman-temanmu."

Suara merdunya menyadarkanku, "oh iya," ucapku sambil tersenyum. Lalu aku meninggalkannya sendiri di sana.

Karena penasaran, aku berhenti dan melihatnya. Cowok itu sudah pergi, tapi arahnya bukan ke perkemahan. Namun ke arah pinggir hutan. Alisku mengerut bingung. Untuk apa dia ke sana.

Kegelapan pun melingkupi seluruh pegunungan, tapi rasa penasaranku terhadap cowok itu semakin besar. Aku berjalan mengikuti arah jalannya. Tepat di pinggir hutan, hanya ada kegelapan di sana. Kepalaku tengok-tengok mencari keberadaannya, namun nihil. Kecemasanku dan pikiran negative mulai muncul.

Aku tidak bisa berdiam diri di sini. Kalau terjadi sesuatu pada cowok itu, setidaknya aku bisa menolongnya. Kakiku mulai melangkah pelan memasuki hutan. Aku merutuki kebodohanku karena tidak menanyakan namanya.

"Hei!" teriakku memanggil.

Panggilanku tidak ada yang menyahut. Kupanggil sekali lagi, tapi tetap sama. Kebingungan mulai menghampiriku, Sebaiknya aku kembali dan meminta pertolongan yang lain. Kali saja dengan bertambahnya personil pencarian, cowok itu dapat ditemukan.

Saat ingin membalikkan badan, secara tiba-tiba sesosok makhluk muncul di depanku. Otomatis kedua mataku tertutup, tapi tidak dengan refleks tanganku. Tinjuku seperti membentur sesuatu yang berbulu. Makhluk apa tadi. Berbadan tinggi, berwarna hitam, dan juga berbulu. Tidak mungkin di gunung ini ada Yeti. Makhluk itu sudah punah. Aku mencoba mengintip dari balik bulu mata. Makhluk itu sudah terduduk sambil memegang pipinya. Anehnya dia mengeluarkan suara kesakitan.


--

TBC

Desa PavatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang